Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku “Percikan Hikmah di Jalan Hijrah”)
MuslimahTimes– Begitu banyak orang yang kukenal, dulunya aktif dalam aktivitas dakwah, kini tak tampak bekas-bekas aktivis dalam kehidupan kesehariannya. Jika dulu sebagian besar waktunya habis di jalan dakwah, kini habis terkuras untuk urusan pribadi, keluarga, dan pekerjaan. Jika dulu jemarinya menari mengukir nasehat-nasehat kebenaran, mengkritisi kebijakan zalim penguasa, kini isi media sosialnya sebatas curhatan dan potret kebahagiaan ketika pelesir ke berbagai tempat.
Ya. Kondisi demikian nyata adanya. Begitulah hakikatnya berada di jalan dakwah, keistiqomahan kita senantiasa diuji. Apakah kita mampu bertahan meski derasnya godaan terus menghantam? Ataukah kita mundur lalu berbalik arah demi memilih berada di zona nyaman?
Sungguh, dakwah adalah aktivitas mulia. Jalannya para Nabi. Karena dakwah hakikatnya adalah menyeru manusia kepada Islam, kepada kebenaran yang datang dari Sang Maha Pencipta. Dan pujian Allah bagi para pengemban dakwah telah terukir nyata dalam ayat-ayat cintaNya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat: 33)
Juga terlukis dalam hadist Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah SAW berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt memberikan hidayah kepada seseorang dengan (da’wah)mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim & Ahmad).
Oleh Karena itu, kestiqomahan berada di jalan dakwah harus senantiasa kita jaga. Karena itulah sebaik-baiknya jalan. Dakwah membuat cinta kita kepada Allah selalu subur. Bagaimana tidak, berada di jalan dakwah menuntut kita menjadi ‘benar’ dan menyampaikan kebenaran. Dengan itulah kita selalu mengingat Allah.
Berada di jalan dakwah juga membuat kita senantiasa berada dalam lingkaran bersama dengan sahabat-sahabat yang salih. Maka, kita akan selalu terjaga dari berbuat maksiat, karena sahabat yang salih akan menjaga kita untuk tetap berada di jalur takwa. Adapun takwa membuat hidup kita mulia.
Ya, dakwah akan menjaga kita untuk terus bertakwa. Sebaliknya, mundur dari jalan dakwah dapat membuat kita mentoleransi kemaksiatan sedikit demi sedikit. Bukankah sering kita mendapati, mantan aktivis dakwah yang dulunya taat syariat, kini gemar maksiat? Dulu aurat tertutup rapat, kini mendadak tebar aurat. Dulu mati-matian menjauhi riba, kini malah menganggap hanya riba jalan untuk bahagia. Ironis!
Maka, jangan berpaling dari jalan para Nabi. Istiqomahlah di jalan dakwah seperti keistiqomahan Rasulullah saw menyebarkan risalah Islam meski berbagai ujian menghadang jalannya. Bukan hanya cercaan lisan, tapi juga siksaan fisik hingga pemboikotan selama 3 tahun lamanya. Namun beliau tidak sedikitpun terpikir untuk mundur, sebaliknya beliau semakin semangat dalam berdakwah. Mengapa? Sebab beliau meyakini dengan pasti bahwa dakwah adalah sebaik-baiknya amal.
Keistiqomahan dakwah juga terpotret pada sosok Mush’ab bin Umair. Demi berkontribusi secara totalitas di jalan dakwah, ia meninggalkan seluruh kemewahan hidupnya. Kecintaannya kepada Allah dan RasulNya jauh lebih besar daripada kecintaannya pada dunia. Masyallah…!
Dengan demikian sudah selayaknya kita meneladani mereka, sosok-sosok istimewa dalam sejarah peradaban manusia. Bertahanlah di jalan dakwah, seberat apapun yang dirasa. Karena balasan yang kita damba hanya dari Allah semata. Tidak sekarang, tapi nanti di kehidupan yang abadi. Biarkan kerasnya hidup di dunia menggerus segala kesenangan kita, asalnya kesempitan hidup di akhirat tidak kita dapatkan.
Imam Syafi’i rahimakumullah berpesan:
“Ketika engkau sudah berada di jalan yang benar menuju Allah, maka berlarilah. Jika sulit bagimu, maka berlari kecillah. Jika kamu lelah, maka berjalanlah. Jika itupun tidak mampu, merangkaklah. Namun, jangan pernah berbalik arah atau berhenti.”
[Fz]