Breaking News

Menanamkan Kesan Pertama Agar Anak Taat Beragama

Spread the love
Oleh: Wati Umi Diwanti*
Si bungsu tiba-tiba mengambil sayur mentah (lalapan) yang ada di meja makan. “Enak itu Bang, coba deh!” Kata abinya. Dan si Abang (panggilan buat si bungsu 3,5th) pun langsung melahap sayur itu. Si abi langsung bertepuk tangan. “Wah abang hebat, pinter makan sayur. Sehat, sehat!”
Saya jadi ingat betapa susahnya saya berusaha menyukai sayur. Apalagi yang mentahan. Bersyukur sekali karena anak-anak tidak seperti saya. Mereka lumayan akrab dengan sayuran termasuk yang mentahan. Si anak tengah malah suka makan pegagan mentahan kalo Uminya lagi tidak sempat masak sayur.
Akhirnya saya mencoba merenungi, apa sebabnya anak-anak dan saya pun sekarang bisa suka sayuran. Bahkan pare dan daun pepaya pun saya sudah suka sekarang. Dulu? Jangan tanya. Jangankan daunnya, buah pepayanya saja saya tidak begitu suka.
Mahung. Pahit. Ga enak. Seingat saya, itulah kata-kata yang sering saya dengar saat kecil jika berhadapan dengan lalapan. Jangankan untuk menikmatinya, sekedar mencoba pun saya ngeri.
Ternyata kesan pertama itu memang dahsyat. Bisa jadi penentu sikap orang berikutnya. Hasilnya bisa positif bisa juga negatif. Misalnya tentang sayur tadi. Saya jagi alergi karena kesan yang saya dapat dari lingkungan membuat ngeri. Sebaliknya saat kesan yang didapat anak saya sayur begitu nikmat. Merekapun jadi minat dan lama-lama jadi penikmat.
Maka berhati-hatilah memberi kesan pada anak-anak. Misalnya kita ingin anak gemar baca, maka promosi tentang baca itu memang harus mengawali. “Orang banyak baca itu pinter lho Nak, banyak ilmunya, Allah angkat derajat orang-orang berilmu, dst.”
Beda jika belum apa-apa saat anak-anak mulai pegang buku. “Awas bukunya sobek!” Awal mereka coba baca-baca dengan berbagai gaya. “Hei bacanya jangan deket-deket gitu, jangan tiduran, nanti matamu bisa minus.” Wow bisa macet ditengah jalan semangat bacanya.
Begitu juga kalau kita ingin anak-anak mencintai kewajiban dari Allah. Semisal sholat, mengkaji Islam, terlebih berdakwah. Hati-hati menanamkan kesan terhadap semua aktivitas itu ke anak.
Jika kita sering menampakkan kerepotan kita. Apalagi keluhan kita saat menjalankan amanah-amanah tersebut jangan heran jika mereka enggan melakukannya.
“Duh, udah jam segini belum kelar-kelar kerjaan, udah masuk waktu shalat lagi.”
“Yang pinter dong, Umi capek tau, habis pulang dari ngaji, mana jauh bener tempatnya.”
“Maaf ya saya ga bisa ikut dakwah dulu, nunggu suasana aman dulu.”
Hati-hati. Kalimat dan ekspresi kita akan ditangkap anak-anak kita. Anak akan mengindra bahwa datangnya waktu shalat itu hanya menambah kerepotan. Bahwa ngaji itu melelahkan. Bahwa dakwah itu hanya saat kondisi aman dan nyaman.
Jika sudah begitu, apalagi jika tak segera kita sadari dan terjadi setiap hari-hari. Tak heran jika merekapun berat melakukan berbagai kewajiban yang Allah taklifkan. Mereka enggan meski lisan kita meminta berulang-ulang. Hingga urat leher menjadi kencang.
Jangan sampai memberikan kesan ketidaknyamanan saat melakukan berbagai kewajiban. Sebaliknya, tunjukan kegembiraan dan kebanggaan meski dalam kelelahan. Jikapun suatu saat kita terkalahkan oleh rasa lelah. Lalu emosi menguasai, ekspresi tak terkendali. Tak masalah, karena kita bukan malaikat. Segeralah akui kekhilafan. Jangan sungkan meski pada bocah yang masih ingusan.
Komunikasikan, bahwa kita punya impian. Ingin bersama mereka mencari ridho Tuhan. Bahwa disitulah letak kebahagiaan. Saat semua kewajiban tertunaikan. Dan Kesedihan adalah saat melalaikan kewajiban. Apalagi jika sampai melakoni larangan.
Gambarkan betapa mengerikannya murka Allah pada mereka yang ingkar dan melalaikan kewajiban. Sebaliknya indah dan nikmatnya kesudahan orang-orang bertakwa. Terlebih para pengemban risalah Islam.
Semisal kisah Sumayyah, yang keteguhannya dalam dakwah bersama Rasulullah membuatnya syahid. Rasul mengabarinya bahwa Allah telah menyiapkan syurga untuknya. Maka lelehan timah yang mematikannya bisa ia hadapi dengan senyuman. Karena Syurga telah berada dipelupuk matanya. Masya Allah, indahnya istiqomah dalam dakwah.
Satu hal tak boleh ketinggalan. Hadirkan mereka menyaksikan gerak dan lelahnya perjalanan taat kita. Berusahalah selalu menunjukan rasa bahagia menjalaninya. Jangan malah berkeluh kesah, apalagi menjadikan kehadiran mereka sebagai alasan pelalaian. Semua akan mereka indra. Kemungkinan besar mereka akan berlaku sama.
Suasanakan agar anak hanya mengindra bahwa bahagia itu saat melakukan segala yang Allah minta. Sebaliknya, kesedihan saat ada yang belum tertunaikan. Insya Allah mereka akan cinta dan bangga menjalankan segala ketetapan Tuhannya. Bahkan mereka akan berjuang jika masih ada ketetapan yang belum bisa tertunaikan. Dengan cinta dan bangga semata mengharap ridha TuhanNya. Insya Allah.
*Pengasuh MQ.Khodijah Al-Kubro, Revowriter Kalsel, Ibu dari 3 Anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published.