Breaking News

MENELUSURI JEJAK KAPITALISME DI SEKTOR PARIWISATA

Spread the love

OLEH : RYRIEN PRIMA

 

// PENDAHULUAN //

Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhitungkan dalam produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Pariwisata di Indonesia digalakkan oleh negara dengan pertimbangan hukum :

Pertama bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pertimbangan kedua adalah bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pertimbangan ketiga adalah bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional, dan pertimbangan keempat adalah bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia difungsikan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; serta mempererat persahabatan antarbangsa.

 

// PARIWISATA SEBAGAI TULANG PUNGGUNG PENDAPATAN NASIONAL //

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, pariwisata dan industri merupakan bagian dari prioritas pembangunan dalam sudut pandang dimensi sektor unggulan, bersama-sama dengan kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, serta kemaritiman dan kelautan. Dalam hal ini, pengembangan pariwisata nasional bertumpu pada modal potensi keindahan alam dan keanekaragaman budaya yang unik. Dengan menggunakan data dasar tahun 2014, target sampai dengan akhir tahun 2019 dapat diuraikan sebagai berikut :

No Uraian 2014 (baseline) 2019 (Target Capaian) Bertambah / (Berkurang)
1 Kontribusi terhadap PDB Nasional (%) 4,2% 8% 3,8%
2 Wisatawan manca negara (orang) 9 juta 20 juta 11 juta
3 Wisatawan Nusantara (kunjungan) 250 juta 275 juta 25 juta
4 Devisa (trilliun rupiah) 120 260 140
Sumber : RPJMN Tahun 2015-2019

Target ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Pariwisata, Arief Yahya, bahwa sektor pariwisata mampu menjadi kontributor terbesar terhadap PDB pada tahun 2019, menggusur sektor migas yang sumbangannya terus menurun. Pada saat itu, Indonesia akan dikunjungi oleh 20 juta wisatawan manca negara (wisman) dengan devisa sekitar Rp 280 triliun. Penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata mencapai 12,6 juta orang dan indeks daya saing pariwisata Indonesia bakal berada di peringkat ke-30 dunia. Saat ini, kontribusi pariwisata ke PDB sudah mencapai US$ 13-14 miliar, sedangkan peran migas hanya US$ 18 miliar dan terus menuru  (beritasatu.com).

Secara internasional pun, pariwisata Indonesia telah bergabung dengan badan dunia di bawah PBB yaitu UNWTO (United Nation World Tourism Organization) atau Organisasi Pariwisata Dunia. Berdasarkan data yang dilansir oleh UNWTO tahun 2011, turis asing yang berwisata ke Indonesia tercatat sebanyak 27,7 juta jiwa. Jumlah ini secara dunia menjadi peringkat ke-9 dari 10 negara terbesar yang dikunjungi oleh wisatawan mancanegara (Perancis, AS, Tiongkok, Spanyol, Italia, Turki, Britania Raya, Jerman, Indonesia dan Singapura). Berdasarkan penilaian dari Trip Advisor tahun 2017, Bali (Indonesia) merupakan destinasi pertama terbaik di dunia, sedangkan tahun 2018 ini, Indonesia (Bali) menduduki posisi keempat setelah, Paris, London dan Roma. Tidak kalah menarik, Pada tahun 2018 ini, Indonesia ternyata menjadi negara destinasi ramah muslim terbaik kedua di dunia versi Global Muslim Travel Index (GMTI).

Di sisi lain, pemerintah berupaya menggenjot pariwisata melalui serangkaian kebijakan, diantaranya :

1. Kebijakan bebas visa, melalui Peraturan Presiden RI Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan yang diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Bebas Visa Kunjungan. Kebijakan ini dididasarkan atas pertimbangan : pertama bahwa dalam rangka meningkatkan hubungan negara Republik Indonesia dengan negara lain, perlu diberikan kemudahan bagi orang asing warga negara dari negara, pemerintah wilayah administratif khusus suatu negara, dan entitas tertentu untuk masuk ke wilayah Republik Indonesia yang dilaksanakan dalam bentuk pembebasan dari kewajiban memiliki visa kunjungan dengan memperhatikan asas timbal balik dan manfaat.

Pertimbangan kedua adalah dalam rangka memberikan manfaat yang lebih dalam peningkatan perekonomian pada umumnya dan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada khususnya, perlu menyesuaikan jumlah negara, pemerintah wilayah administratif khusus suatu negara, dan entitas tertentu yang diberikan fasilitas pembebasan dari kewajiban memiliki visa kunjungan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden ini, warga negara asing dari 169 negara-sekarang menjadi 174 negara- yang tersebar di benua Amerika, Eropa, Afrika, Australia dan Asia diberikan bebas visa kunjungan yang secara hukum dapat dipergunakan sebagai dasar ijin berkunjung dan ijin tinggal paling lama 30 hari dan tidak dapat diperpanjang.

2. Kebijakan kapal pesiar, melalui penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pemberian Kemudahan Bagi Wisatawan Dengan Menggunakan Kapal Pesiar (Cruiseship) Berbendera Asing. Dengan kebijakan ini, beberapa poin penting yang perlu dicatat adalah :

a. Kapal pesiar dapat berfungsi sebagai akomodasi (hotel terapung) dan dilangkapi dengan fasilitas penunjang wisata.
b. Kapal pesiar asing dapat mengangkut wisatawan keluar masuk perairan Indonesia.
c. Pelabuhan singgah untuk embarkasi dan debarkasi yang ditetapkan adalah Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, dan Benoa Bali.

Dengan adanya kebijakan ini, asas cabotage (sabotase) untuk cruise asing dicabut, sehingga kapal asing bisa mengangkut dan menurunkan penumpang di lima pelabuhan di Indonesia, dimana sebelumnya asas sabotase ini hanya memberikan hak beroperasi secara komersial di dalam satu negara kepada perusahaan angkutan dari negara itu sendiri secara eksklusif. Artinya, cruise yang boleh mengangkut dan menurunkan penumpang di Indonesia hanya yang berbendera Indonesia

3. Kebijakan Yacht (perahu pesiar), melalui Peraturan Presiden RI Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia. Inti diterbitkannya aturan ini adalah bahwa kapal wisata (yacht) asing beserta awak kapal dan/atau penumpang termasuk barang bawaan dan/ atau kendaraan yang akan memasuki wilayah perairan Indonesia dalam rangka kunjungan wisata diberikan kemudahan di bidang kepabeanan, keimigrasian, karantina, dan kepelabuhanan pada 18 pelabuhan di Indonesia.

Dengan adanya kebijakan ini, pada tahun 2010, telah ada sekitar 2000 yacht dan 400 kapal pesiar yang masuk ke Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya kemudahan yang sangat besar, terutama dalam hal pengurusan perijinan memasuki wilayah perairan Indonesia, yaitu Clearance Approval for Indonesian Territory (CAIT) yang awalnya memakan waktu selama dua minggu menjadi cukup 1 jam saja. Angka yang cukup fantastis, dengan peningkatan sebesar 100 persen.

Tidak tanggung-tanggung, untuk menjadi tulang punggung pendapatan negara, fasilitasi kebutuhan sarana-dan prasarana dipenuhi oleh pemerintah dengan mengundang seluruh pemangku kepentingan untuk ikut andil, terutama dalam menyiapkan infrastruktur pariwisata. Dilansir dari laman wartaekonomi, menginformasikan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, hingga tahun 2017, tercatat sebanyak 2.350 hotel berbintang di Indonesia yang menyediakan hampir 290 ribu kamar.

 

// PARIWISATA DAN PELUANG DAMPAK NEGATIF YANG DITIMBULKAN (PANDANGAN PESIMIS) //

Banyak definisi terkait obyek wisata, namun secara umum, obyek pariwisata terdiri atas wisata alam (berbasis daya tarik alam), kultural (berbasis daya tarik budaya dan seni), recuperational (berbasis pengobatan), komersial (berbasis busnis dan perdagangan), olahraga (berbasis olahraga), politik, sosial dan agama, dengan obyek yang paling dominan adalah alam. Indonesia sendiri memang memiliki banyak sekali obyek wisata alam. Wikipedia sendiri merangkum sekitar 962 tempat wisata di Indonesia, belum lagi yang tidak tercatat. Sebagai tulang punggung pendapatan negara, tak dapat dipungkiri dan tak dapat ditutupi bahwa di balik keindahan pesona yang membalut pariwisata, secara kasat mata banyak dampak negatif yang ditimbulkan, diantaranya :

1. Adanya potensi kebocoran pendapatan yang cukup besar (economical leakage)
Di Gunung Kidul misalnya, kebocoran retribusi hampir mencapai 30% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Pacitan, banyak kebocoran terjadi akibat tingginya pungli, sehingga pendapatan dari pariwisata tidak masuk ke kas daerah.

2. Adanya kerusakan lingkungan dan sampah
Di Puncak, misalnya, telah terjadi alih fungsi secara besar-besaran dari fungsi sebagai daerah tangkapan air menjadi kawasan vila dan bangunan-bangunan tempat tinggal lainnya. Hal ini memicu bencana longsor dan erosi. Di sisi lain, tingkat kemacetan yang tinggi di kawasan Puncak, mendorong peningkatan emisi karbon dioksida sehingga mengakibatkan pencemaran udara.

Sampah juga menjadi momok dalam pariwisata. Saras Dewi dalam travelingbisnis tanggal 9 Februari 2018 menyatakan bahwa Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung Bali mendeklarasikan keadaan darurat sampah di sepanjang 6 kilometer garis pantai yang mencakup pantai populer seperti Jimbaran, Kuta, dan Seminyak. Sementara, menurut Melati Wijsen, Co Founder of Bye Bye Plastic Bags & Satu Pulau Satu Suara, sampah laut merupakan masalah serius yang tengah dihadapi Indonesia yang disebut sebagai negara kedua terbesar di dunia yang berkontribusi pada sampah yang masuk ke laut. Sampah laut di Indonesia diperkiraan mencapai 1,3 juta ton per tahun.

3. Adanya permasalahan sosial
Tingginya aktivitas pariwisata di suatu tempat berdampak pada aspek sosial. Di Puncak misalnya, banyak masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan karena lahan pertanian telah berubah fungsi. Disamping itu, banyak bermunculan tempat mesum akibat permintaan dan penawaran pariwisata birahi (bisnis seks), disamping kawin kontrak, minuman keras, dan pergaulan bebas.

4. Adanya kesenjangan ekonomi
Secara fakta, di lokasi pariwisata, masyarakat yang tinggal di wilayah pariwisata tidak memiliki daya saing secara ekonomi. Seperti contoh di kawasan Puncak, sebagian besar vila dan hotel adalah milik pengusaha yang notabene bukan masyarakat setempat. Masyarakat pun hanya bisa menjadi penjaga vila, dan akses untuk bekerja sebagai pegawai hotel atau restoran atau lokasi pariwisata pun sangat minim.
Muara dari seluruh dampak negatif tersebut adalah bencana, yang secara umum dibagi pada 3 (tiga) hal utama, yaitu :
1. Bencana alam
2. Bencana sosial dan kultural
3. Bencana ekonomi

// BENTUK KAPITALISME PARIWISATA DI INDONESIA //

Negara-negara yang menerapkan prinsip kapitalisme (tak terkecuali Indonesia) melaksanakan konsep pariwisata negara berdasarkan atas pandangan teori-teori kapitalisme. Beberapa prinsip kapitalisme dalam pariwisata dapat diuraikan antara lain :

1. Kapitalisme pariwisata memandang bahwa manusia harus memiliki kebebasan individu (Hak Asasi Manusia). Oleh karena itu, ia berhak dan bebas untuk memenuhi keinginannya berekreasi dan menikmati keindahan alam yang ada. Dalam pariwisata pun, setiap orang yang terlibat dalam bisnis pariwisata bebas untuk meminta dan menawarkan produk-produk/fasilitas penunjang pariwisata yang ditengarai dapat meningkatkan minat berwisata, seperti seks, minuman keras, perjudian, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, dalam rangka memenuhi kebutuhan kepariwisataan, Pemerintah membolehkan pengadaan dan perdagangan minuman beralkohol, baik dengan cara memproduksi atau mengimpor dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Impor, Pengedaran Dan Penjualan, Dan Perizinan Minuman Beralkohol, dimana dalam salah satu ketentuannya menyebutkan perdagangan minuman beralkohol dapat dilakukan di Hotel, Restoran dan Bar termasuk Pub dan Klab Malam dalam bidang Pariwisata.

Perdagangan ini diijinkan dengan ketentuan penjual Langsung Minuman Beralkohol (Hotel Berbintang 3, 4, dan 5, Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Selaka, Bar termasuk Pub dan Klab Malam, serta Tempat tertentu lainnya) dan Pengecer Minuman Beralkohol golongan A, B dan C tempat lainnya, wajib menyampaikan laporan realisasi pengadaan dan penjualan Minuman Beralkohol golongan A, B dan C kepada Gubernur DKI Jakarta cq. Kepala Dinas Provinsi atau Bupati/Walikota cq. Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan : 1. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan; 2. Direktur Jenderal Pariwisata; 3. Direktur Jenderal Pajak, Departemen Keuangan; 4. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan; 5. Badan Pengawasan Obat dan Makanan;dan 6. Gubernur cq. Kepala Dinas Provinsi setempat.

2. Kapitalisme pariwisata menjunjung tinggi prinsip ekonomi, yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui penguasaan kepemilikan modal. Oleh karena itu, ditemukan di lokasi-lokasi pariwisata adanya pengelolaan pariwisata yang didominasi oleh modal asing. Hal ini diperkuat dengan regulasi negara yang tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2016, tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Hal penting yang menjadi catatan adalah bahwa negara mengijinkan kepemilikan modal asing untuk sektor pariwisata sebagai berikut :

a. Angkutan Orang dengan Moda Darat Tidak Dalam Trayek (Taksi, Angkutan Pariwisata, Angkutan Tujuan Tertentu, Angkutan Kawasan Tertentu) sebesar maksimal 49 persen.

b. Pelatihan Keija (memberi, .memperoleh, menihgkatkan, mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja antara lain meliputi bidang kejuruan telmik dan engineering, tata niaga, bahasa, pariwisata, manajemen, teknologi informasi, seni dan pertanian yang diarahkan untuk membekali angkatan kera memasuki dunia kerja) sebesar maksimal 67 persen.

c. Museum Swasta, Peninggalan Sejarah yang dikelola oleh Swasta, Biro Perjalanan Swasta, Hotel Bintang Satu, Hotel Bintang Dua, Hotel Non Bintang, Jasa Akomodasi Lainnya (Motel), Jasa Impresariat Seni, Karaoke dan Pengusaha Obyek Wisata Alam di luar Kawasan Konservasi, sebesar maksimal 67 persen.

d. Jasa Boga/Catering, Billiard, Bowling, Lapangan Golf, Jasa Konvensi, Pameran dan Perjalanan Wisata (MICE), dan Motel, sebesar maksimal 70 persen.

e. Restoran, Bar, Cafe, dan Gelanggang Olahraga (Renang,Sepakbola,Tenis Lapangan,Sport Center), sebesar maksimal 100 persen.

3. Kapitalisme pariwisata terwujud dalam regulasi negara, dimana dalam paham kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator, dan peran negara secara teknis harus diminimkan. Sebaliknya peran individu harus dimaksimalkan melalui regulasi yang memuluskan berperannya individu. Di Indonesia hal ini terlihat jelas dalam aturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya adalah yang telah diuraikan sebelumnya.

4. Kapitalisme pariwisata merupakan bentuk penjajahan dan eksploitasi sumberdaya, dimana di wilayah yang terdapat obyek pariwisata, dikuasai oleh pemodal kuat yang notabene merupakan pemodal asing. Mereka diberikan keleluasaan oleh negara untuk mengeksploitasi kekayaan negara untuk menjadi keuntungan mereka. Di sisi lain, negara hanya mendapatkan secuil penerimaan dari pajak yang belum tentu dapat dikembalikan kepada rakyat.

 

// ISLAM DAN PARIWISATA //

Secara hakiki Allah telah menciptakan dunia dan seisinya untuk dimanfaatkan oleh seluruh makhluknya. Hal ini tercantum dalam beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya :

1. QS. Ali Imran : 190
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

2. QS. Al An’am :75
Artinya : Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.

3. QS. Yusuf : 105
Artinya : dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.

Aktivitas berwisata merupakan perwujudan dan Ghorizah Tadayyun dan gharizah baqa’. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan agar setiap muslim senantiasa melewati hari-harinya dengan merenungi ciptaan Allah yang ada di bumi. Namun, dalam rangka memenuhi tuntutan ghorizah ini, Islam membatasi seorang muslim, bahkan negara dengan rambu-rambu sebagai berikut :

1. Larangan membuat kerusakan di muka bumi.
Sebagaimana firman Allah dalam terjemahan Al-Qur’an surat Ar-Ruum : 41 yang berbunyi: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

2. Larangan bermaksiat ketika berwisata dan menyediakan tempat wisata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi –shohih dilihat dari jalur lain-).

Di sisi lain, Islam juga melarang bentuk-bentuk pariwisata yang menyertakan perbuatan melanggar syariat lainnya seperti perzinahan, perjudian, penyediaan minuman keras, dan ikhtilat, serta menampakkan aurat di tempat umum. Sebagaimana dalil berikut :

a. QS. Al-Israa : 32, yang artinya : dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.

b. QS. Al-Maidah : 90 yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

c. QS. An-Nuur : 30-31 yang artinya : Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

3. Negara wajib memperhatikan jenis-jenis kepemilikan
Dalam Islam, kepemilikan terbagi atas individu, negara dan umum. Negara dilarang untuk memberikan hak pengelolaan kepemilikan umum kepada seseorang atau kelompok tertentu, sebagimana yang terjadi dalam pengelolaan kepariwisataan di Indonesia.

4. Negara tidak diperkenankan untuk memberikan kemudahan kepada warga asing (bukan warga negara) untuk masuk ke dalam negara kecuali Islam memperbolehkan.
Dalam hal ini, Islam mewajibkan untuk melakukan penjagaan dengan ketat disetiap perbatasan wilayah, baik darat, laut, maupun udara. Serta negara wajib mengetatkan pemberian visa bagi penduduk asing.

 

// PENUTUP //

Bagi sebagian orang, kemudahan untuk mendapatkan penghasilan dengan cepat tanpa jerih payah yang besar merupakan kunci kesuksesan, sebagaimana pandangan kapitalisme. Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak kaum muslimin, terutama pemilik kebijakan tanpa sadar mengadopsi konsep tersebut dan menerapkannya di sektor pariwisata, karena pariwisata dianggap merupakan pilihan yang paling logis dan mudah untuk mendatangkan pundi-pundi uang bagi negara dan pada akhirnya menyejahterakan masyarakat.

Pelaku pariwisata (masyarakat) tidak perlu berpendidikan tinggi, namun dapat mengakses peluang pendapatan melalui berusaha dan mengakses sektor pariwisata. Terlepas bahwa ada fakta yang membuktikan bahwa pariwisata memang dapat menyejahterakan masyarakat atau tidak, namun Islam mengharuskan seorang muslim untuk senantiasa berpegang teguh terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban setiap orang karena kebijakan yang dibuatnya. Untuk itu, berhati-hatilah dengan apa yang kita perbuat, karena kesalahan dalam menentukan kebijakan akan berdampak pada bertambahnya catatan dosa kita di lauhil mahfuz.

Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published.