“Jangan cari nafkah! Berat. Kamu tak akan kuat. Biar aku saja.” Ini baru gombalan yang layak diapresiasi. Gombalan seorang suami pada sang istri. Tentu bukan sekadar untuk menyenangkan hati melainkan tanda sorang lelaki sejati. Yang sadar betul di pundaknyalah tanggung jawab nafkah anak dan istri.
Apalagi jika berlanjut. “Cukup bagiku anak kita kau rawat. Raihlah ilmu untuk mencerdaskan umat. Jika ada rezeki lebih, akan kupersembahkan seorang khadimat. Untuk Allah dan agama ini mari kita sama-sama berkhidmat.” Ini baru so sweet. Dunia akhirat!
Pertanyaannya bisakan bahagia macam ini diraih dari gombalan lelaki yang belum menghalalkan hubungannya dengan kita? Semanis apapun rayuannya dijamin suatu hari akan berbuah petaka. Jikalau di dunia baik-baik saja, bisa jadi Allah akan genapkan semua balasannya di neraka. Karena jelas gombalan pada yang belum halal adalah bagian zina.
“Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhasrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).
Fakta pun berbicara. Banyak keluarga tak sampai seumur jagung sudah bubar jalan. Padahal saat pacaran romantisnya nggak ketulungan. Kenapa bisa? Karena bahan bakar bahtera rumah tangga tak sekadar manis kata. Perlu tanggung jawab, saling mengerti dan sabar dalam menerima kurang lebihnya pasangan. Yang semua akan tuntas terlihat setelah pernikahan. Dalam hal ini pemahaman (agama) seseorang sangat menentukan.
Pemahaman tentang hakikat berumah tangga. Tujuan hidup bersama. Tak sekadar memenuhi naluri semata. Ada pahala yang ingin kita panen bersama. Dengan menikah ladang pahala kita sempurna. Panennya akan maksimal jika digarap bersama.
Karenanya penting menetapkan kriteria calon pasangan berdasar panduan agama. Bahwa cantik atau ganteng boleh menjadi alasan. Kaya dan terpandang pun boleh menjadi pertimbangan. Hanya saja pemahaman agama harus diutamakan.
Pasangan yang berilmu dan beriman pasti akan menyenangkan. Karena ia tahu ada keridaan Rabbnya dari setiap rayuan dan pemenuhan kewajiban. Saat istri taat dan senantiasa memberikan senyuman. Sebaliknya saat suami penyayang dan pengertian. Allah pun memandang mereka dengan kasih sayangNya. Maka ketentraman hakiki menyelimuti.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Ar rum : 21)
Kesadaran tentang hubungan suci ini tentu tak akan lahir dari beredarnya film-film ala kapitalis macam Dilan. Melainkan melalui sistem pendidikan. Baik pendidikan formal, informal maupun nonformal. Semua harus punya satu landasan dan satu tujuan.
Hal itu perlu satu aturan yang diterapkan bersamaan. Baik skala rumah, masyarakat dan negara. Aturan yang dijamin tak akan menimbulkan perselisihan. Aturan yang datang dari Yang Maha Tahu. Aturan Islam!
Hanya saja untuk menerapkannya dalam lingkup masyarakat, salah satunya untuk pengaturan media. Tidak bisa dilakukan oleh orang tua atau guru saja. Perlu peran negara. Menjadikan media sebagai penunjang pembentukan pemahaman. Salah satunya tentang siapa sebenarnya lelaki idaman menurut Islam. Bukan malah melarutkan remaja dalam kriteria lelaki idaman semu macam Dilan.[]
*Pengasuh MQ. Khadijah Al.Qubro, Revowriter Kalsel (Martapura)