Oleh: Wati Umi Diwanti*
Di salah satu grup yang sedang mempersiapkan belajar tahsin. Sesaat setelah jadwal diumumkan dengan beberapa pilihan. Kemudian peserta diminta memilih salah satu atau beberapa jadwal. Ada yang kebingungan menentukan jadwal.
Ada yang jawab. “Insya Allah saya ikut di jadwal yang tidak pasti, jika tidak sibuk saya hadir”. “Iya monggo.” Jawabku. Tak lama setelah itu bliau sendiri menuliskan, “Kalau ada pasar murah gas 3 kg, sibuk ga sibuk pasti bisa.” Beliau tambahkan dengan emoticon ‘kecewa’. Pada diri sendiri maksudnya.
Iya juga sih. Sering mungkin kejadian seperti ini. “Maaf saya belum bisa kajian rutin seperti Mbak, seminggu sekali.” Tapi tiba-tiba kita bisa memutuskan untuk menerima tawaran kerja yang mengharuskan kita hadir bukan seminggu sekali tapi tiap hari. Bahkan bukan 2 jam tapi seharian.
Kadang saat jadwal pengajian kita tiba-tiba kurang sehat dan minta izin. Tak lama setelah itu masih dalam kondisi yang sama ada konsumen order barang dagangan kita dalam jumlah lumayan besar dan minta diantarkan. Segala daya pun kita upayakan, pesanan siap diantarkan.
Karena gas 3 Kg dan orderan konsumen adalah kebutuhan yang riil kita rasakan, kita perlu sekali dengannya. Sibuk nggak sibuk, meriang nggak meriang akan diperjuangkan. Kalau belajar, mengaji, bisa lain kali. Betapa ambigunya kita.
Seandainya setiap habis selesai belajar, mengaji atau amal saleh lainnya tiba-tiba dompet kita dipenuhi oleh si merah yang menggoda, atau akan membuat badan kita langsing tiba-tiba (karena kebanyakan emak-emak sangat perlu dengan yang namanya langsing), mungkin sekuat tenaga kita akan selalu berupaya hadir dan tak mau tertinggal majelis ilmu.
Saat ada acara dakwah yang mengharuskan kita pergi jauh. “Maaf saya ga bisa meninggalkan anak-anak, di rumah nggak ada yang jaga”. Saat ada dinas luar dari kantor ke luar kota bahkan luar pulau siap berangkat, urusan anak beres teratasi.
Seberapa kita merasa perlu, sejauh itulah adrenalin di tubuh kita akan bereaksi. Sejauh itu pula maksimalisasi ikhtiyar diri. Amal-amal saleh ini lebih sering kita anggap sebagai kewajiban semata, bukan kebutuhan. Sedangkan materi, penampilan (putih, langsing, cantik) tersetting sebagai kebutuhan.
Kewajiban itu serasa beban. Ada kendala sedikit saja tubuh kita bisa hilang kekuatan. Banyak alasan untuk bisa meninggalkan. Sementara untuk kebutuhan, segala jalan kita lakukan. Hampir tak ada alasan yang memberatkan.
Begitu pula saat kesempatan berinfak menyapa di hadapan kita, kita keluarkan dengan penuh perhitungan. “Kalau diinfakkan sekian, sisanya cukup nggak ya sampai tanggal muda?” Saat ada pelatihan bisnis atau diskon besar produk rumah tangga. “Wah kesempatan nih!”
Begitulah saat uang Rp. 50.000 kita masukkan celengan infak berasa besar sekali jumlahnya. Namun berasa kecil sekali saat mengeluarkannya di kasir mall. Yaah begitulah kebanyakan kita.
Karena perhitungan kita didominasi pada yang zahir (nampak, red) saja, materi. Sementara balasan-balasan amal, menuntut ilmu, infak, dakwah sama sekali tak terindera hasilnya. Bahkan kadang konsekuensinya justu mengurangi materi kita di dunia.
Dan perasaan semacam ini mendominasi kehidupan manusia saat ini. Karena sejak lahir kita berada di lingkungan kapitalis. Tolak ukur sesuatu adalah manfaat, bukan syariat. Di mana materi digambarkan akan memberikan jaminan kebahagiaan. Fakta seolah membenarkan.
Pemikiran materialistis lebih dominan mendorong kita berbuat sesuatu yang menghasilkan materi semata. Padahal pahala dan surga yang tak tampak itulah yang lebih baik untuk diupayakan. Jangan sampai ambigu kita merugikan masa depan kehidupan akhirat kita.
Allah Swt. berfirman, “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedangkan apa yang di sisi Allâh itu lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak mau memahaminya?” (QS. Al-Qhashas: 60) [el]
*Pengasuh MQ. Khadijah Al-Qubro, Revowriter Kalsel (Martapura)