Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
Penulis Buku
Dalam gendongan ayahnya, gadis kecil berusia 3 tahun itu menatap polos ke arah tubuh yang terbaring tanpa nyawa. Sementara semua orang yang hadir mengelilingi jasad itu, tak mampu membendung air mata.Pun sang ayah gadis kecil itu, berulang kali menyeka air matanya yang jatuh.
“Kok mama gak bangun-bangun?” tanya gadis kecil itu pelan. Kontan saja semua hati setiap orang terasa perih. Ekspresi mereka memancarkan duka. Termasuk aku yang kala itu duduk tepat di sisi kanan jenazah. Kulihat sang ayah semakin terisak sambil mendekap sang putri erat-erat. Tak ada yang pernah menyangka, bahwa sang ibu akan pergi secepat itu.
Padahal 2 minggu yang lalu, sang ibu masih sehat wal afiat. Menemani putrinya bermain ayunan di taman dekat rumahnya, bercanda, dan merenda masa depan bersamanya.
Dia adalah tetanggaku. Rumahku hanya berselang 5 rumah dari rumahnya. Usianya masih sangat muda, 26 tahun. Tiada yang menyangka jika kemudian secara tiba-tiba ia merasakan sesak nafas di sore itu. Dalam kondisi mengandung anak ke 2nya yang baru 6 bulan, ia dilarikan ke RS. Kejutan maha dahsyat pun menghentak keluarganya saat dokter memvonis bahwa ginjalnya sudah rusak dan paru-parunya berlubang. Masya Allah!
Akhirnya diputuskan bayi di dalam kandungannya harus dikeluarkan saat itu juga. Karena dokter akan melakukan tindakan kepada sang ibu. Akhirnya dilakukanlah operasi ceasar. Namun sayang, hidup sang bayi laki-laki mungil hanya 3 hari saja.
Singkat cerita, kondisi sang ibu kian menurun. Setelah 9x cuci darah selama 2 minggu di RS, ternyata Allah memanggilnya untuk ‘pulang’.
Semua terpukul. Wanita cantik yang dikenal pendiam itu harus berpulang secepat itu. Tanpa tanda adanya sakit parah sebelumnya.
Sungguh ada pelajaran di balik kematian. Bahwa kematian itu adalah semua kepastian. Tak dapat dimajukan maupun dimundurkan waktunya jika Allah telah menetapkan.
Tidak ada alasan bagi kita untuk benunda-nunda berbuat kebaikan dan mencari-cari alasan untuk taat. Sebab, sejatinya setiap diri di hadapkan pada ajal. Ajal inilah yang akan menjadi pemutus segala kenikmatan hidup di dunia. Pemutus segala amal shalih.
Saat nyawa telah terpisah dari jasad, tiada lagi yang mampu kita upayakan sebagai wujud takwa kepada Rabb kita. Yang ada hanyalah sebuah perhitungan atas apa yang telah kita lakukan di dunia. Memohon ampunan tiada lagi berguna.
Kemewahan hidup, kecantikan paras, jabatan tinggi, keluarga dan sahabat-sahabat semuanya tak mampu menolong. Hanya amal shalih yang kita bawa.
Benarlah adanya bahwa kita harus selalu bersiap menyamput kesudahan yang tiba-tiba. Berbekal lah sebelum datang batas waktu itu. Bukan kah setiap muslim seharusnya menyerahkan jiwanya, hidupnya, dan matinya kepada Allah saja? Maka pasrahlah dalam segala yang Allah tetapkan atas kita. Insyallah kita akan mengecap lezatnya hidup dan khusnul khatimah di akhirnya.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya“.(TQS.Al-Imran:145)
Adapun mengingat kematian akan melembutkan hati. Menjadikan kita enggan berbuat maksiat meski sedikit. Bahkan Rasulullah saw memuji orang-orang yang senantiasa mengingat kematian sebagai orang yang cerdas.
Dari Umar ra. berkata kepada Rasulullah SAW, “Siapakah orang yang paling pandai diantara manusia dan yang paling mulia wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian diantara mereka dan yang lebih keras persiapannya bagi kematian, meraka ialah orang-orang yang pandai. Mereka pergi dengan kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat“. (HR. Ibnu Majah).