Oleh: Wulan Citra Dewi, S.Pd.
#MuslimahTimes — Setelah gonjang-ganjing isu tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) menyeruak, pemerintah akhirnya menunjukkan ketegasan sikap. Bukan bantahan atas desas-desus yang beredar, pernyataan tegas pemerintah justru membenarkan gonjang-ganjing yang mencemaskan masyarakat selama ini. Ya, pemerintah membuka gerbang selebar-lebarnya bagi TKA di tengah problem ekonomi dan pengangguran di dalam negeri yang kian tinggi.
Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Maret 2018 dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 29 Maret 2018. Perpres ini akan berlaku setelah tiga bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Perpres ini menggantikan Perpres sebelumnya yang dibuat pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Yakni Perpres Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. (KOMPAS.COM 5/4/18)
Menurut pemerintah, Perpres ini diharapkan mampu mempermudah TKA masuk ke Indonesia yang berujung pada peningkatan investasi dan perbaikan nasional. Hal ini tentu berdampak pada kebijakan yang melingkupinya. Misalnya saja, ada pengecualian pada kepemilikan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dalam kasus yang berkaitan dengan investasi ini.
Seharusnya, jika mengacu pada isi Perpres, maka setiap pemberi kerja TKA harus memiliki RPTKA yang disahkan menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun kemudian, hal tersebut tidak berlaku jika TKA yang akan diberi kerja adalah:
Pemegang saham yang menjabat anggota direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA
Pegawai diplomatik dan konsuler pada perwakilan negara asing
TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.
Dari sini terlihat jelas, bahwa agenda dibalik lahirnya Perpres ini adalah dalam rangka menguntungkan pihak asing. Aroma neoliberal begitu menyengat, tidak dapat ditutupi. Keberpihakan pemerintah begitu berat kepada asing daripada ke rakyatnya sendiri. Pertanyaannya, benarkah kondisi nasional akan membaik dengan berbondong-bondongnya investor di bangsa ini?
Paradigma Menyesatkan Neoliberalisme
Selama ini publik senantiasa dicekoki dengan paradigma keliru tentang kondisi nasional bangsa. Opini yang diaruskan, selalu saja menyebut bahwa negeri ini pailit. Baik dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) ataupun sumber pendapatannya. Kemudian, seolah tidak ada jalan lain kecuali dengan menjalin kerjasama kepada pihak asing. Hal ini selanjutnya menjadi dalil bagi pemerintah untuk berhutang pada luar negeri. Tak ketinggalan, penguasa juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi para investor asing untuk mengeksploitasi beragam kekayaan negeri ini. Bahkan bukan hanya investor asing yang diberi kebebasan, pekerja asing pun memperoleh keleluasaan. Jelas, paradigma semacam ini sangat menyesatkan!
Terkait kondisi SDM yang dimiliki oleh Indonesia, benarkah tidak ada yang berkompeten sehingga harus memprioritaskan TKA? Terlalu naif jika kita katakan tidak ada SDM berkompeten di negeri ini. Faktanya, perguruan tinggi ternama di Bangsa ini setiap tahunnya melahirkan ribuan sarjanawan dari berbagai disiplin ilmu. Belum lagi putra-putri bangsa yang menempuh pendidikan di luar negeri karena prestasi. Tidak sedikit jumlahnya. Maka mustahil, aset berupa SDM tersebut tidak ada yang mampu membangun bangsa ini. Barangkali bukan SDMnya yang tidak mampu, akan tetapi penguasanya yang tidak mau memberdayakan anak bangsa sendiri.
Kenapa bisa terjadi demikian? Lagi-lagi kembali pada paradigma menyesatkan ala neoliberalisme yang terlahir dari kapitalisme. Bahwa segala sesuatunya harus menghasilkan pundi-pundi duniawi. Jika anak negeri yang berdaya, barangkali tidak akan ada uang saweran yang bisa masuk ke kantong pribadi. Kalaupun ada, bisa jadi tak sebesar dengan apa yang Asing janjikan. Atau, malah uang negara yang harus keluar untuk membiayai riset dan pengadaan peralatan. Maka tak heran, karya anak bangsa banyak dikriminalkan. Dicari-cari kesalahannya agar tidak dapat dikembangkan. Pesawat N250 gawean B.J. Habibie, contohnya.
Terlebih lagi jika bicara soal pendapatan negara. Rasanya sungguh terlalu jika dikatakan negeri ini tidak memiliki sumber pendapatan lain kecuali hutang dan investasi dari luar negeri. Opini semacam ini adalah kekejian yang nyata. Sesat dan menyesatkan. Sehingga menimbulkan gagal paham di berbagai kalangan. Terutama masyarakat awam yang tidak tahu-menahu perihal kebijakan.
Realitanya, Negeri kita adalah zamrud khatulistiwa yang membentangkan kekayaan alam dari ujung Timur hingga Baratnya. Sumber Daya Alam (SDA) berupa perkebunan, pertanian, perlautan, perhutanan maupun pertambangan luas terbentang. Sebaliknya, negara asing yang memberikan hutang kepada bangsa kita justru gersang, minim dari kekayaan alam. Lalu kenapa bangsa ini berhutang kepada Negara yang tidak memiliki apa-apa dibandingkan negeri kita?!
Paradigma sesat neoliberalisme, lagi-lagi sebagai jawaban. Ya, sifat rakus bawaan kapitalisme telah menjangkiti para penguasa negeri. Hasrat memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok partai, menjadikan mata hati tertutup tanpa celah sedikitpun. SDA yang seharusnya dikelola negara untuk kemudian digunakan sebagai kesejahteraan rakyat, justru dilelang kepada investor asing. Alhasil, tidak ada lagi kekayaan alam yang tersisa sebagai sumber pendapatan negara. Maka hutanglah yang menjadi solusinya. Kemudian pajak yang dibebankan kepada rakyatlah yang dijadikan harapan untuk membayar hutang. Ketika hutang membengkak, maka pajak pun turut dihentak. Tidak ada pilihan, rakyatlah yang harus siap ditumbalkan. Keterlaluan!
Mengakhiri Sesat Pikir Neoliberalisme
Tidak dapat dipungkiri, berbagai sektor dari segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini berada di genggaman Barat. Hal ini wajar, mengingat memang Baratlah yang saat ini berada dipuncak kekuasaan peradaban dunia. Namun demikian, tentu sikap seorang muslim yang beriman tidak mungkin diam. Tidak ada ceritanya, pasrah pada kedzaliman ketika keimanan kokoh terpancang. Sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sahabat-sahabat Beliau dan para pendahulu kita, yakni terus berjuang demi tegaknya keadilan di bawah naungan Islam.
Kesesatan paradigma neoliberalisme yang masif dipropagandakan harus kita sumbat. Persatuan umat adalah kuncinya. Berbagai kalangan harus bersatu untuk melawan ide-ide sesat ala liberal dengan ide-ide Islam yang cemerlang. Aktivitas Amar makruf nahiy munkar tidak boleh kita lalaikan. Menyeru seluruh umat manusia untuk mengenal dan akrab dengan keagungan dan kemuliaan Islam. Kemudian membongkar dan menunjukkan kepada umat tentang kebusukan ide-ide liberal yang selama ini disembunyikan. Ya, orang yang beriman dan berilmu tidak boleh diam, kita harus berbuat. Agar kejahilan tidak kian berkarat.
Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan dan perrtolongan bagi kita untuk menjadi hamba yang bertakwa. Semoga pula, Allah Swt. memilih kita sebagai hamba-Nya yang layak untuk menumbangkan fase mulkan jabariyah ini dan meridai kita sebagai hamba yang menyongsong terwujudnya bisyaroh Rasulullah Saw. “ … Tsumma takunu khilafatan ‘ala minhaji nubuah …” (HR. Ahmad)
Khatimah
Persoalan Perpres TKA ini hanyalah salah satu cabang masalah yang tunas akibat akar masalah yang tetap bercokol. Akar masalahnya tentu kita ketahui bersama, yakni berlakunya aturan ala manusia yang meniadakan aturan Sang Pencipta. Adanya Perpres ini juga semakin menunjukkan bahwa neoliberalisme itu nyata dan kian merajalela. Maka, teranglah bagi kita apa yang semestinya menjadi fokus bersama. Neoliberalisme beserta turunannya adalah induk semang yang harus kita musnahkan.
Tidak ada cara lain bagi kita untuk melawan hegemoni ini kecuali tetap berada di jalan dakwah yang telah Rasulullah Saw. contohkan. Menapaki setiap jejak yang Ia tinggalkan dengan penuh kesabaran. Secara kasat mata mungkin begitu berat dan melelahkan. Namun cukuplah janji Allah Swt. sebagai penguat keyakinan untuk tetap berada dalam perjuangan ini.
”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah,niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (TQS. Muhammad:7)
Wallahua’lam.
===================================
Sumber Foto : Harian Nasional