Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang ditentukan oleh 20% pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya (hard skill), dan 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Dan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak. Betapa penting pendidikan karakter tersebut.
Namun sampai hari ini, kita masih memiliki PR yang sangat besar karena ternyata pendidikan karakter pada anak (didik) kita masih jauh dari kata sukses. Sedih sekali, anak didik kita masih banyak yang terlibat tawuran, free sex, narkoba yang kesemuanya bermuara pada gaya hidup liberal, permisif dan hedonis. Miris! Padahal, program pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah sudah diupayakan sedemikian rupa agar generasi kita bisa menjadi generasi yang baik, lahir dan batin. Lalu, bagaimana kita menyikapi keadaan ini? Bagaimana mental anak didik kita kedepannya? Apa yang harus kita upayakan sebagai orangtua?
*Pilar Pendidikan Karakter, Cukupkah?*
Karakter adalah nilai-nilai yang unik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.
Ada enam pilar pendidikan berkarakter, yaitu:
1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal – melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman dan negara.
2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.
3. Responsibility (Tanggungjawab)
Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.
4. Fairness (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan.
5. Caring (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang membutuhkan.
6. Citizenship (Kewarganegaraan)
Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat, menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan, menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.
Menurut penulis, keenam pilar pendidikan berkarakter (atau bisa kita sebut dengan akhlak) adalah cerminan dari keimanan anak. Dengan kata lain, karakter atau akhlak adalah perwujudan iman seseorang. Jika imannya kuat dan lurus, maka akhlak dan perilaku anak akan baik. Sebaliknya, jika imannya rapuh maka perilaku atau karakter anak akan seperti kita lihat saat ini, berkubang dalam kemaksiatan.
Maka kita bisa simpulkan, bahwa pendidikan berkarakter tak akan pernah berhasil tanpa peran agama dalam menguatkan keimanan anak. Tak cukup pendidikan karakter tanpa pemahaman agama yang baik, yang kaffah, yang total, yang menyeluruh sejak anak usia dini. Pendidikan karakter tanpa disertai penguatan akidah akan mandul.
*Islam Membangun Karakter Anak Seutuhnya*
Islam memiliki konsep yang utuh dalam membangun kepribadian anak. Kepribadian (syakhsiyah) terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).
Pola pikir (aqliyah) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan diyakini seseorang. Seseorang yang beraqliyah islamiyah akan memikirkan dan memutuskan sesuatu berdasarkan akidah Islam. Demikian juga sebaliknya.
Sedangkan pola sikap (nafsiyah) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-adhawiyah (kebutuhan jasmani). Jika seseorang memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya berdasarkan akidah Islam, maka nafsiyahnya dinamakan nafsiyah Islamiyah. Begitupun sebaliknya.
Syakhsiyahnya bersifat khas dan unik jika kaidah yang digunakan untuk aqliyah dan nafsiyah seseorang jenisnya sama, siapa pun dia. Ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai asas bagi aqliyah dan nafsiyahnya, maka syakhshiyahnya merupakan syakhshiyah Islamiyah. Namun, jika tidak demikian, berarti syakhshiyahnya adalah syakhshiyah yang lain.
Dalam membangun karakter anak, jika akidah yang mendasarinya bukan Islam (sekular-hedonis) seperti saat ini maka tidak heran jika yang terbentuk adalah akhlak yang bejat, foya-foya, tak memikirkan halal-haram, merusak, ingin menang sendiri dan sejenisnya. Peran akidah Islam sangat penting dan utama.
Diperlukan peran besar dari orangtua dan lingkungan dalam membangun karakter anak. Orangtua mendidik anak dengan akidah Islam sejak usia dini. Dan lingkungan sekitar berperan mengontrol dan memberikan input positif kedalam pemikiran anak. Sinkronisasi semua ini tetap membutuhkan peran negara dalam menciptakan iklim pendidikan yang kondusif dan mengeluarkan kebijakan negara yang melindungi generasi dari pornografi-pornoaksi, pergaulan bebas dan semacamnya. []
EL Fitrianty (penulis buku serial “Balita Cerdas”)