Oleh: Hamsina Halik (Anggota Komunitas Revowriter)
Sesak dada dan miris hati melihat generasi saat ini. Rasa malu tak ada lagi dalam diri mereka. Moral tak
lagi menjadi bagian yang terpenting dalam berkehidupan. Generasi digital, milenial atau generasi Z yang
mayoritas muslim, semuanya jauh dari nilai-nilai luhur keagamaanya. Islam tapi tak nampak sebagai Muslim. Kedangkalan akidah telah menggerogoti mereka. Serangan budaya dan pemikiran barat telah memenuhi memori otak mereka.
Dikabarkan seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi berbasis Islam di Mamuju, ditemukan dalam
keadaan sudah tak bernyawa. Gantung diri dibawah kolong rumahnya. Sebagaimana yang dilansir oleh
makassar.tribunnews.com, “Gadis di Dusun Ganno, Desa Saletto, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat ditemukan tewas gantung diri menggunakan tali tambang, Selasa (24/4/2018) subuh”.
Sebelum meninggal, korban sempat menulis surat wasiat yang isinya bahwa bahwa ia meminta maaf kepada kedua orangtuanya karena tidak sanggup untuk menyelesaikan kuliah dan masih ada persoalan yang lain. Tak disebutkan apa persoalan lain tersebut. Sungguh sangat disayangkan, mungkin saja karena
adanya tekanan psikologis membuatnya mengakhiri hidupnya. Jauhnya dari sentuhan akidah Islam yang kokoh, membuatnya hilang akal. Berpikir dangkal.
Lain lagi dengan kasus seorang bocah SD. Videonya sempat viral beberapa hari lalu. Di video tersebut ada dua bocah SD pria dan wanita yang berbuat tidak senonoh, salah satunya berciuman. Parahnya, ada cukup banyak siswa-siswi lain yang melihat. Banyak yang tertawa-tawa melihat, bahkan menyoraki.
(Detik.com). Satu bukti lagi buat kita, bocah yang terpapar konten pornoaksi dan pornografi, yang bebas
diakses. Tontonan yang tak mendidik. Pengajaran agama yang tak memadai, tak mampu menghasilkan generasi yang berakhlak dan beradab. Ingat, anak adalah peniru ulung. Maka, tak memungkinkan mereka berprilaku seperti ini jika tak ada ‘teladan’.
/Pendidikan Sekuler Menjauhkan Generasi dari Fitrahnya/
Kapitalisme dengan akidah sekularisme -pemisahan agama dari kehidupan- telah berhasil membuat generasi jauh dari nilai-nilai Islam. Materialisme sebagai asasnya, tak mampu membangun karakter yang berbudi pekerti, berkepribadian Islam. Lebih mengedepankan asas manfaat, tak peduli generasi rusak atau tidak. Itu tak masalah selama bisa menghasilkan manfaat sebanyak-banyaknya.
Maka, tak heran jika generasi saat ini berprilaku serba bebas. Masih bocah sudah mengenal gaul bebas,
pacaran, berprilaku layaknya orang dewasa. Bertindak semaunya. Ketika punya masalah bingung cara
penyelesaiannya. Tak jarang, banyak yang rela memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena tak sanggup
menahan malu atau beban psikologis.
Kemajuan sains dan teknologi (sainstek) dalam sistem pendidikan sekuler-materialistik adalah sesuatu yang penting. Melahirkan generasi yang menguasai sainstek melalui pendidikan umum, bisa diwujudkan namun tak mampu membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqafah Islam. Buta agama dan rapuh kepribadiannya. Jauh dari fitrahnya sebagai seorang muslim. itulah out put dari pendidikan
sekular.
/Fokus pada Pembentukan Karakter/
Jika, dalam pendidikan sekuler terbukti gagal dalam membangun generasi, membentuk kepribadian Islam, maka berbeda halnya dengan sistem pendidikan Islam. Islam memandang bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara dan negara wajib memfasilitasi pendidikan secara
gratis untuk rakyatnya.
Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk karakter yang berkepribadian Islam. Yaitu mewujudkan pola pikir dan pola sikap yang islami, sesuai fitrah manusia. Ditanamkan sejak kecil melalui penguasaan tsaqafah Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi berikut ilmu terapan tepat guna yang akan akan
diberikan kepada peserta didik.
Jika kita kembali melihat sejarah Islam, dalam sirah Nabi SAW, sebagaimana yang digambarkan oleh Al Baghdadi (1996) terkait bagaimana peran negara Islam dalam menyediakan fasilitas pendidikan untuk rakyatnya, diantaranya: memberikan pelayanan pendidikan secara gratis, cuma-cuma, tak dipungut biaya. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan. Sistem pendidikan bebas biaya pun dilakukan oleh para sahabat (ijma), termasuk pemberian gaji yang sangat memuaskan kepada para pengajar yang diambil dari baitul mal. Contohnya, Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Munthasir di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap
siswa menerima beasiswa sebesar satu dinar (4.25 gram emas). Kehidupan kesehatan mereka dijamin
sepenuhnya. Fasilitas seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan permandian tersedia lengkap di
sana.
Jadi, tak mengherankan jika dalam sistem pendidikan Islam mampu melahirkan generasi yang tak hanya
cerdas dalam agama tapi juga cerdas dalam bidang lainnya, termasuk sains dan teknologi. Sukses dunia, akhirat pun demikian. Sebut saja; Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang ahli dalam bidang fiqh, Imam Bukhari dan Imam Muslim yang ahli dalam bidang Hadist, Al Battani seorang ahli astronomi, Ibnu Sina seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, Ibnu Batutah adalah
seorang pengembara sekaligus ahli geografi, Al Khawarizmi adalah seorang ahli matematika dan masih banyak lagi, tak mampu disebut satu per satu.
Maka, tidakkah kita rindu dengan sistem pendidikan Islam?
Wallahu a’lam.