Oleh: Wati Umi Diwanti
(Pengasuh MQ.Khadijah Al-Kubro, Kalsel.)
Saat berkunjung ke salah seorang tokoh masyarakat, ada satu kisah menarik. Yakni pengalaman beliau saat berkunjung ke salah satu kota di negeri ini. Untuk memudahkan berbagai agenda di kota itu beliau dan rekan-rekan menggunakan jasa driver alias supir.
Supir bukan sembarang supir, dia melayani sepenuh hati. Mengantar kemanapun yang dimau rombongan tanpa menambahkan tarif yang sudah disepakati.
Istimewanya lagi, sang supir juga seorang bisnisman, ia punya usaha kuliner di kota itu. Saat rombongan makan di warung miliknya, dia menolak bayaran.
“Gak apa-apa, anggap saja ini jamuan saya. Lain waktu jika perlu apa-apa silakan hubungi saya.” Dengan senyum ikhlas terkembang.
Luar biasa bukan? Hati siapa yang tak terkesima?
Bahkan saat jam sholat, supir sigap. “Mau ke Mesjid mana Pak, Bu?”
Karena semua pendatang, maka menyerahkan pilihan mesjid pada sang supir.
“Silahkan Bapak, Ibu, ini mesjid terbaik di kota ini.” Driver mempersilakan rombongan.
“Tapi, Mohon maaf saya tidak ikut sholat.”
Speechless. Semuanya terkaget, baru sadar kalo si Bapak supir yang super itu, yang sudah terlanjur mendapat tempat khusus di hati para rombongan, ternyata non muslim.
“Nah, luar biasa banget kan mereka itu.” Kata si Ibu Tokoh membuyarkan angan saya yang tengah larut dengan cerita Beliau.
“Mereka tidak mengutamakan cari untung dalam kerja dan bisnisnya. Tapi bagaimana menggapai tujuan ‘mulia’ dibaliknya. Pekerjaan, bisnis dan apa saja mereka kerahkan untuk ‘dakwah’.” Ibu tokoh melanjutkan.
Hei! Bagaimana dengan kita, umat Islam?! Yang jelas-jelas Allah Swt. sudah menjanjikan ganjaran posisi terbaik bagi para penyeru kebenaran. Para penyeru manusia pada agama-Nya.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri?” (QS.Fusshilat:33)
Sudahkah kita menjadikan seluruh sisi hidup kita mengarah pada dakwah. Saat memilih pekerjaan misalnya. Sudahkan kita pikirkan, akankan pekerjaan ini menambah keleluasaan atau malah menyempitkan langkah dakwah kita.
Saat akan sewa atau beli rumah juga, adakah dakwah jadi pertimbangannya. Bisakah rumah dan lingkungannya itu menjadikan lahan dakwah kita bertambah. Atau malah beresiko membuat kita goyah. Tentu setelah sebelumnya memastikan ke-syar’i-an akad-akadnya.
Bahkan saat mencari atau menerima jodoh pun, harusnya dakwahlah sebagai wazannya. Apakah dengannya dakwah melejit atau menyempit. Dengan bersamanya akankah akan meringankan atau malah memberatkan langkah dakwah.
Jika dakwah belum menjadi pertimbangan utama kita. Belum menjadi arah dan tujuan tiap amal perbuatan kita. Apalagi jika perkara mendasar, seperti ketaatan pribadi saja belum kita perhitungkan. Maka wajar jika kemenangan Islam belum Allah Swt. berikan.
Jika masalah riba, pakaian mini dan pergaulan bebas saja masih sulit kita tinggalkan. Bagaimana pertolongan Allah Swt. kita terima? Sedari dulu, tak pernah Islam menang karena jumlah. Karena hakikat kemenangan adalah dari sisi Allah Swt. Hadiah dari ketaatan sempurna hamba-hamba-Nya.
Jika kita benar-benar menghajatkan kemenangan Islam. Mengharapkan pertolongan-Nya dalam mengalahkan musuh-musuh Islam. Selain doa kita langitkan, amal perbuatan pun harus kita sucikan. Dakwah harus kita utamakan, jadikan ia arah utama kehidupan.
Satu hal lagi, setelah seluruh sisi hidup kita terarah pada dakwah. Pastikan arah dakwahnya pun benar. Mengikuti rute dakwah yang pernah dilalui Rasulullah Saw.
Dakwah melanjutkan kehidupan Islam. Yakni seruan kepada umat untuk sama-sama berusaha menegakkan kembali seluruh aturan Islam secara keseluruhan. Sebagaimana yang diteladankan Nabi.
Hal itu perlu institusi negara sebagai pelaksananya. Hanya saja mencapainya pun harus sesuai apa yang telah Nabi contohkan. Hanya lewat pemikiran, tanpa kekerasan dan tidak sendirian. Berjamaah!
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imron: 104).
Semoga, kita termasuk orang-orang yang beruntung. Yakni orang-orang yang beriman dan melakukan kebaikan, beramar makruf nahiy munkar semata Lillah. Bukan sekedar mengharap Imbalan dunia, lebih dari itu tentu kita citakan Surga. Jika seseorang yang tidak mengimani Allah Swt. saja mampu berbuat “baik”, terlebih lagi bagi kita yang mendekap Iman. Harus lebih bisa! Wallahua’lam.