EL Fitrianty (penulis buku serial “Balita Cerdas” Al-Azhar for Kids)
Kekerasan Akibat Pornografi
“Kerusakan otak akibat pornografi seperti kerusakan pada mobil saat tabrakan keras,” ungkap ibu Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati. Jamak kita ketahui, dampak
buruk pornografi terhadap anak sangat besar. Pornografi juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah kasus kekerasan oleh anak atau terhadap anak dari tahun ke tahun.
Hasil penelitian Kementrian Sosial tentang kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan 41 persennya terjadi karena terpapar pornografi (antaranews.com, 30/11/2017).
Data KPAI juga menyebutkan dalam 7 tahun terakhir, ditemukan sebanyak 26.954 kasus anak dan diantaranya sebanyak 2.358 kasus akibat pornografi dan cyber crime, baik sebagai korban
maupun pelaku (okezone.com, 21/11/2017). Selain itu, masih dari data-data yang dikumpulkan oleh KPAI, kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak terhadap anak mengalami
peningkatan secara kualitatif dan kuantitatif. Dalam kurun waktu 2011 hingga 2016 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak mencapai 1.965 atau sekitar 30% dari total
keseluruhan kasus (business-law.binus.ac.id, 29/08/2017).
Sungguh, ini sangat memprihatinkan kita, khususnya para orangtua. Dari fakta diatas, kita bisa melihat bahwa efek pornografi itu memiliki dampak luar biasa. Anak bukan saja menjadi objek (korban) kekerasan pelecehan seksual, tapi juga sebagai subjek (pelaku)
pelecehan seksual gara-gara tayangan pornografi.
Salah Kaprah Soal Seks
Munculnya pornografi (dan pornoaksi) merupakan konsekuensi logis akibat memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam bertingkah laku. Batasannya: asalkan tidak merugikan orang lain, an sich. Maka yang namanya zina, kumpul kebo, free sex ataupun ganti-ganti pasangan (heteroseks dan atau homoseks) dianggap sebagai hal yang lumrah. Teori Sigmeun Freud yang mempropagandakan kebebasan seks
menjadi pendukung maraknya pornografi. Ia menyatakan bahwa manusia menjalankan aktivitas
dengan motivasi libido dan naluri seks yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kematian.
Sungguh, sebuah tesis yang keliru!
Padahal sejatinya, naluri seks yang tidak terpenuhi hanyalah akan menyebabkan
kegelisahan, karena rangsangan naluri ini dari luar tubuh. Oleh karena itu, bangkitnya naluri seks dapat dikendalikan sepenuhnya, ditunda, dialihkan pada aktivitas lain yang menyibukkan atau dipenuhi sesuai aturan yang benar, bukan dibiarkan liar begitu saja. Ini berbeda dengan
kebutuhan jasmani seperti makan atau minum. Kebutuhan jasmani ini harus dipenuhi karena rangsangannya dari dalam tubuh dan jika tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kematian.
Pendidikan Seks bagi Anak
Pendidikan seks bagi anak harus menyatu (integral) dengan pendidikan keimanan, kepribadian dan pendidikan tentang hakikat manusia (hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wa ta’ala). Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu (baca: sekular)
akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri, bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam konsep Islam, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam memberikan pendidikan seks bagi anak-anak kita agar tidak semakin banyak anak yang terpapar pornografi:
1. Seksualitas adalah anugerah Allah Subhanahu wa ta’ala agar manusia dapat mengemban misi hidupnya tanpa mengalami kepunahan.
2. Seks hanya dipenuhi dengan jalan pernikahan.
3. Sejak dini anak dihindarkan dari tayangan atau informasi yang berbau pornografi dan pornoaksi.
4. Membiasakan izin masuk kamar orang tua sejak usia dini.
5. Memberikan informasi yang tepat sesuai perkembangan anak (termasuk sesuai usia anak) tentang proses reproduksi dan kesehatan reproduksi.
6. Menanamkan unsur keimanan kepada anak dalam setiap jawaban yang kita berikan untuk pertanyaan mereka.
7. Memahamkan anak tentang konsep pendidikan dan pergaulan Islam secara kafah.
Selain itu semua, masyarakat harus berperan mendidik dengan tidak merusak hasil pendidikan dalam rumah, masyarakat peduli terhadap anak-anak dan remaja. Yang paling penting adalah negara menjamin regulasi komprehensif agar sistem sosial berjalan sebagai
bentuk perlindungan terhadap masuk dan beredarnya konten porno kedalam wilayah kekuasaannya, bukan sebaliknya melindungi segelintir pelaku maksiat yang mendulang keuntungan dari rusaknya generasi muda dengan sengaja memproduksi tayangan porno.
Tak Cukup Sekadar Sanksi
Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang muncul hingga detik ini tidak cukup diatasi dengan penangkapan dan pemberian sanksi bagi pelaku, namun perlu diatasi akar munculnya kejahatan dan maraknya penyimpangan.
Pornografi sebagai salah satu pintu motif tindak kejahatan terhadap anak juga harusnya dibasmi. Gaya hidup serba bebas di semua lini kehidupan saat ini menjadi akar permasalahan munculnya banyak tindak kekerasan terhadap anak. Peran agama dikebiri dalam kancah kehidupan sosial dan malah dianggap sebagai penyulut konflik berbau SARA.
Keimanan dan ketakwaan yang harusnya menjadi sumber utama
pembentuk kepribadian anak masih dijadikan sebatas ilmu di buku-buku pelajaran, tak berbekas dalam perilaku anak. Muncullah pola sikap sekular pada diri anak. Benarlah idiom Salat yes, maksiat jalan (tanpa disadari).
Selain itu, upaya preventif dengan membentuk Satgas Perlindungan Anak mulai dari tingkat RT/RW, pembentukan Sistem Informasi Perlindungan Anak (SIPA), atau Kota Layak Anak (KLA) rasanya belumlah cukup. Sebab, banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak
justru dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga sendiri. Ini memang masalah yang pelik, karena pelakunya sulit teridentifikasi. Harus ada upaya simultan dari semua kalangan, mulai
dari pendidikan agama di keluarga, kontrol sosial yang baik dari lingkungan masyarakat sekitar, terlebih diperlukan peran negara dalam menerapkan sebuah sistem jitu untuk menangkal
masuknya pornografi dan gaya hidup bebas ala Barat sampai ke akarnya, bukan malah membiarkannya.
Mengatasi kasus pornografi tidak cukup dengan melihatnya dari satu aspek/ bidang saja yaitu aspek sosial, namun terkait dan berkelindan dengan bidang ekonomi, politik, hukum dan
pemerintahan. Keterkaitan ini juga yang menyebabkan kasus pornografi tidak “selesai” sampai detik ini. Mengatasinya dari dalam sistem yang ada (baca: sekular kapitalisme) bak berputar-
putar dalam “lingkaran setan”. Sistem sekular kapitalisme saat ini justru melanggengkan pornografi. Maka perlu kita berpikir “out of the box”, mencari solusi dari luar “lingkaran setan”.
Maka jika ada yang menawarkan sistem Islam kafah untuk mengatasi kasus-kasus pornografi yang merebak, kenapa kita tidak mencobanya? []