Oleh : Tari Ummu Hamzah
“Cut Meutia bukan saja amat cantik parasnya, tapi juga memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di daerahnya, dengan “silueueu” (seluar) Aceh sutera berwarna hitam, dengan baju yang dikancingi perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat serta dihiasi “ulee ceumara” emas (sejenis perhiasan rambut), dengan gelang kakinya yang melingkari pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari yang memesonakan. Karenanya tidak heran pula jika sultan … jatuh hati kepadanya, akan tetapi pada suatu jarak yang jauh…” (Zentgraff, hal 151)
Cut Mutia adalah seorang perempuan muslimah nan elok parasnya. Hingga wartawan dari Belanda menggambarkan sosok seorang Cut Mutia, dalam bukunya yang berjudul Atjceh, adalah sosok yang begitu rupawan. Konon “Mutia” berarti mutiara.
Cut Mutia lahir lahir pada tahun 1870 di daerah Pirak, Aceh Utara. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak seorang ulubalang (pemimpin pemerintahan) daerah Pirak dan ibunya bernama Cut Jah. Ayahnya tidak hanya sebagai kepala pemerintahan saja, tapi beliau adalah ulama di wilayah Pirak.
Lahir dan besar di kalangan pemerintahan, rupanya tidak membuat Cut Mutia berpangku tangan dan menikmati kedudukan sebagai Putri dari penguasa. Malah sebaliknya, dia gigih dalam melawan Belanda. Kegigihannya melawan Belanda dia buktikan ketika beliau beranjak dewasa.
Kala itu Cut Mutia menikah dengan seorang pemuda bernama Teuku Syamsarif. Pernikahannya tidak berlangsung lama, sebab suaminya lebih senang bekerja dengan Belanda. Ketimbang harus berdiri bersama rakyat Aceh untuk melawan pemerintah Belanda. Jadi Cut Mutia memilih untuk berpisah dengan suaminya. Ia lebih memilih menjadi janda, dari pada harus bersanding dengan orang yang notabene adalah penghianat rakyat.
Setelah berpisah dengan suami pertamanya , Cut Mutia menikah lagi dengan Teuku Chik Muhammad, atau dikenal sebagai Teuku Chik Tunong. Suminya ini adalah saudara dari Teuku Syamsarif, yang merupakan suaminya terdahulu.
Rupanya gayung bersambut. Cut Mutia seolah menemukan belahan jiwanya. Suami kedua Cut Mutia juga sama gigihnya untuk melawan Belanda. Cinta mereka bertaut karena sama-sama ingin menumpas Belanda di bumi Aceh.
Bersama mereka merajut cinta ditengah-tengah peperangan dan penyerangan. Untuk memulai taktik gerilyanya, Cut Mutia diboyong sang suami untuk naik gunung. Awal mula perlawanan mereka dimulai pada tahun 1901. Sejarah mencatat bahwa Perlawanan dipimpin oleh suami Cut Mutia ini adalah perang Aceh ke empat. Yaitu perang gerilya.
Perlawanan ini juga untuk membantu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah , yang melawan Belanda hingga ke pelosok-pelosok daerah. Karena pada waktu itu pasukan maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Perang sengit terjadi antara pasukan yang dipimpin Teuku Chik Tunong dan pasukan Belanda. Perang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus 1902. Perang ini mengajukan mereka untuk masuk ke hutan rimba dan pegunungan. Sebab taktik Belanda adalah menangkap keluarga para gerilyawan. Termasuk menangkap keluarga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.
Keluarga sultan ditangkap dan diculik. Ini mengakibatkan Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah menyerah kepada Belanda Pada tanggal 5 Januari 1903. Ini menyebabkan Sultan harus turun gunung, dan menyerah di Lhokseumawe.
Teuku Tunong dan Cut Meutia kemudian berpindah-pindah tempat. Awalnya wilayah Keureutoe namun pindah ke wilayah Panton Labu. Namun karena insiden di daerah Meunasah Meurandeh Paya membuat suami Cut Meutia, ditangkap Belanda karena diduga terlibat dalam pembunuhan pasukan Belanda. Suaminya dieksekusi dengan cara ditembak mati di tepi pantai Lhokseumawe.
Sebelum meninggal suami Cut Mutia berwasiat kepada Pang Nangroe, agar menikahi Cut Mutia dan menjaga satu-satunya Anak mereka, yaitu Teuku Raja Sabi. Karena wasiat inilah Cut Mutia bersedia menikahi Pang Nangroe. Berdua tetep melanjutkan perlawanan dengan bergerilya ke gunung dan hutan.
Pada Tahun 1907 Cut Mutia dan suaminya Pang Nangroe, makin masif menyerang Belanda. Mereka menyerang pos pertahanan Belanda. Serta menguasai para pekerja kereta api. Hal yang sama mereka lakukan di wilayah Keude Bawang. Mereka juga menguasai jalur logistik dan kereta api. Ini membuat Belanda kualahan dalam menghadapi perlawanan Cut Mutia dan suaminya Pang Nangroe. Namun pada bulan september 1910, Pang Nangroe gugur setelah terkena tembakan dari Belanda di wilayah Paya Cicem
Hanya berselang 1 bulan setelah suaminya gugur, Belanda melakukan pengejaran intensi terhadap Cut Mutia. Namun tanggal 24 oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, Pasukan Belanda pertempuran sengit terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh Cut Meutia dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu Cut Meutia akhirnya gugur di Medan pertempuran.
Mutiara yang elok dan indah itu, itu akhirnya menemui batas perjuangannya. Dia bersinar disetiap Medan pertempuran. Mutiara yang tak pernah rapuh disetiap episode hidupnya. Jati dirinya sebagai muslimah, menjadi sosok teladan bagi bangsa.
Referensi :
https://www.biografiku.com/biografi-dan-profil-lengkap-cut-nyak-meutia-pahlawan-wanita-indonesia-dari-aceh/#forward