Oleh : Neng RSN
“ Itu balasan Allah soalnya dia tuh sombong jadi orang. Roda kehidupan selalu berputar, yang kaya bisa jadi miskin, yang miskin bisa jadi kaya. Yaa, contohnya dia, tadinya kaya sekarang nggak punya apa-apa.”
Itulah sepenggal ucapan tetanggaku yang mengomentari tetangga lainnya yang sedang ditimpa musibah. Ucapannya mengingatkanku akan tausiyah ustadzah Masyitoh, guruku, dulu. Tausiyah tentang penyakit hati “dengki atau hasad”.
Dengki atau hasad adalah membenci nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada orang lain, dengan keinginan agar nikmat yang didapat orang tersebut segera hilang atau terhapus. Hasad seperti inilah yang tercela di hadapan Allah.
Senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang sebagai contohnya. Pengidapnya biasanya akan mencelakai orang lain dengan lisan, tulisan, ataupun perbuatan. Penyakit ini ibarat kanker yang menggerogoti jiwa pengidapnya. Hidupnya gelisah, tidak tenang. Pikirannya dipenuhi dengan hal-hal negatif dan selalu merasa tersaingi. Akibatnya tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Allah berikan lantaran sibuk pada nikmat orang lain yang lebih besar.
Sebesar apapun nikmat yang ada, ia tidak akan pernah merasa cukup. Sebab selalu membandingkan nikmat orang lain yang lebih besar daripada apa yang ia terima.
Jelas penyakit ini sangat berbahaya. Bukan saja dirasakan saat hidup namun ketika di Yaumil akhir nanti. Penyakit ini akan menjerumuskan pelakunya ke dalam azab yang sangat pedih. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi Saw, dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah Saw bersabda :
“ Jauhilah dirimu dari hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.” [HR. Abu Dawud]
Akan tetapi ada pula kecemburuan yang diperbolehkan, yaitu apabila senang melihat orang senang dan susah melihat orang susah. Inilah penawarnya. Para ulama menyebutnya dengan ghibthoh yang artinya menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:“Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur-an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur-an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur-an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur-an) seperti yang diamalkannya. Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari).
Jadi, hal yang pantas dicemburui, bahkan kecemburuan tersebut dipuji dalam Islam adalah cemburu dengan orang yang memiliki kelebihan namun senantiasa dipergunakan di jalan Allah. Karena kecemburuan ini dapat menjadi motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama. Allah SWT berfirman:
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (QS al-Baqarah: 148).
Wallâhu a’lam bi shawab