Oleh Evi Rakhmawati
(Pegiat Revowriter)
Pemandangan siang itu sungguh miris, sekelompok orang menyulut jago merah untuk melahap kain hitam di hadapannya. Lambat laun kain hitam bertuliskan kalimat tauhid itu berubah menjadi abu. Pemandangan itu tentu menyisakan rasa perih yang tak tetperi bagi setiap muslim yang beriman.
Bagaimana tidak perih rasanya, terlepas bendera itu sering digunakan oleh salah satu ormas dalam aksinya, tulisan yang terpatri di sana tetaplah laa ilaaha illallah muhammadun rasulullah. Lafazh itu bukan milik satu ormas saja. Lafazh itu milik seluruh kaum muslimin. Tiada Tuhan selain Allah Muhammad adalah utusan Allah, begitulah yang tertulis di bendera tersebut.
Bukankah kalimat itu adalah bagian utama dari syahadat kita, muslim? Mengapa ada muslim yang membenci selembar kain bertuliskan kalimat suci ini? Padahal, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam sendiri memuliakan bendera tersebut. Pun, para sahabat yang mendapat jatah menggenggam bendera ini di medan laga, rela menumpahkan darahnya. Menumbalkan anggota tubuhnya demi menjaga bendera yang mulia ini. Lantas, atas dasar apa sekelompok orang itu melakukan pembakaran terhadap bendera Tauhid yang mulia ini?
Sungguh hal yang tidak masuk akal ketika mengklaim bahwa bendera yang mengesakan Allah ini adalah bendera ormas tertentu. Faktanya yang tertulis pada bendera tersebut bukanlah nama ormas yang sering memakainya tetapi kalimat Tauhid. Apalagi kita berbicara tentang sebuah bendera suci di mana Rasulallah Shallallahu’alaihi wa salam pun menggunakannya. Maka sangat lucu jika mengatakan itu bendera ormas lalu dengan seenaknya membakar tanpa ada penghormatan sedikitpun pada lafazh syahadat tersebut. Nastagfirullah!
Bagaimana generasi muslim ajaib seperti ini bisa muncul? Itu yang harus kita renungi setiap kali kita melihat fakta bahwa ada seorang muslim yang menghina simbol agamanya. Faktanya orang-orang seperti ini terus bermunculan tanpa ada yang mencegah. Bahkan ada muslim yang dulunya bangga dengan agamanya kini ikut mengolok-olok Islam. Sayapun teringat pada sebuah hadits yang berbunyi,
بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih (sebelum datangnya) fitnah-fitnah bagaikan malam yang gelap gulita, seseorang dalam keadaan beriman di pagi hari dan menjadi kafir di sore hari, atau di sore hari dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Benarlah yang disampaikan oleh hadits tersebut. Kini dapat kita lihat orang yang paginya masih beriman, sorenya menjadi kafir. Kemarin muslim yang katanya punya ilmu, besoknya mengolok-olok Islam. Bahkan ada pula yang merasa saking berilmunya sampai ingin mengubah syari’at Islam, dicocokkan dengan tradisi setempat atau paham-paham kekinian. Na’udzu billah min dzalik! semoga Allah masih menggenggam hati kita untuk meniti jalan yang lurus hingga kita mati.
Bila kita menarik benang merah dari beberapa kasus penistaan agama yang berdekatan membuat kita sampai pada satu kesimpulan yaitu tidak adanya penjagaan aqidah kaum muslimin yang dilakukan oleh negara. Negara? Ya, negara. Karena negara memiliki wewenang untuk membuat aturan dan memberikan sanksi bagi pelaku penista agama. Sayang, Sikap tegas seperti ini belum terlihat dari negara yang kita cintai ini.
Sebaliknya, negara justru terlihat sebagai penjaga sekularisme. Wajar jika kemudian tidak ada penjagaan terhadap aqidah kaum muslimin. Karena dalam sekularisme, kebebasan secara mutlak adalah yang dituhankan. Nastagfirullah!
Hendak sampai kapan kita bertahan pada sistem yang jauh dari keimanan macam ini? Sudah saatnya syari’at Islam menaungi kehidupan kita. Hanya negara yang berorientasi akhiratlah yang mampu menjaga aqidah generasi muslim, menghentikan rintih sang hitam putih, arroya dan alliwa dari persekusi. Itulah khilafah, sistem agung yang diridai Allah Subhanahu wata’ala dan telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam.
Allahu a’lam