Oleh: Japti Ardiani
(Pemerhati Politik dan Umat, Komunitas Revowriter)
Pertemuan akbar Tahunan untuk IMF-Bank Dunia telah selesai di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018 minggu lalu. Padahal negeri ini sedang digoncang bencana, khususnya di Lombok dan Sulawesi Tengah. Anggaran yang dibuat untuk penyambutan acara tersebut pun sungguh fantastis nilainya yang menyentuh angka Rp. 855,5 miliar dan itupun sudah dialokasikan jauh-jauh hari. Dan tak kalah fantastisnya, Pemerintah mengaku tidak menghabiskan dana tersebut dan sudah berhasil menekan biaya anggaran menjadi Rp. 566,9 milyar (radarbogor.id, 16/10/2018). Suasa kemeriahan dan gemerlapnya acara tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di wilayah yang sedang terkena musibah. Mereka para korban harus susah payah untuk mendapatkan jamuan makan yang layak untuk dikonsumsi, belum lagi mereka harus rela merasakan dinginnya suasana yang menusuk-nusuk kulit mereka karena rumah yang untuk mereka berteduh harus rata dengan tanah akibat koyakan tsunami dan goncangan gempa.
Mau mengelak atau tidak, itulah kondisi nyata negeri ini. Belum lagi selain membahas delapan topik utama yang akan diperbincangkan, ternyata dalam pertemuan dengan jamuan mewah tersebut, Bank Dunia berkomitmen memberikan utang kepada Pemerintah Indonesia untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekrontruksi bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah. Chief Executife Officier Bank Dunia, Kristalina Georgieva menyebutkan bahwa total hutang yang diberikan untuk pembiayaan tersebut sebesar 1 miliar US Dollar atau setara dengan Rp. 15 triliun (kurs Rp. 15.000,00) (detik.com, 14/10/2018). Dengan pemberian tambahan utang tersebut itu akan menambah catatan utang Indonesia. Semakin menguat alias semakin menumpuk dan belum lagi beban bunga yang harus dibayarkan kepada Bank Dunia tersebut.
Utang Menumpuk, Rakyat Terpuruk
Memang dalam sekilas pemberian utang tersebut seolah-olah membantu negeri ini untuk memperbaiki kondisi yang terjadi saat ini. Akan tetapi apakah itu solusi satu-satunya? Dan apakah dengan cara tersebut akan memakmurkan dan membahagiakan rakyat Indonesia?. Dan ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “tidak”, iya itu benar bahwa itu bukan solusi satu-satunya dan bukan cara membuat rakyat ini terutama para korban yang terkena bencana tersebut menjadi sejahtera atau aman. Akan tetapi itu semakin menambah suramnya nasib negerigeri ini dan menambah deretan permasalahn yang sudah ada.
Akan tetapi ternyata ada juga yang beranggapan bahwa tidak masalah uutang semakin besar selama masih bisa bayar. Padahal makin besarnya utang luar Negeri maka pembayaran utang, baik pokok dan bunganya, juga akan semakin tinggi. Pasalnya mayoritas utang luar negeri adalah dalam dolar, apabila nilai kurs dolar semakin tinggi dan rupiah sangatlah melemah secara pasti membuat kebutuhan mata uang asing khususnya dolar akan semakin besar. Dan kejadian tersebut akan membawa berbagai dampak terhadap perekonomian dan kehidupan rakyat secara umum. Apabila rakyat sudah kehilangan daya belinya maka secara pasti itu akan membuat semakin terpuruknya ekonomi Indonesia dan penghasilan negeri ini pun juga akan berkurang. Sehingga kalau terjadi seperti itu, bagaimana kita akan membayar utang-uutang tersebut bahkan untuk membayar bunganya saja pun kita akan kesulitan.
Sehingga resiko terbesarnya adalah gagal dalam membayar uutang, bila kejadian di atas tadi terjadi. Zimbabwe adalah contoh Negara yang mengenaskan, karena gagal membayar utang kepada Negara Cina sebagai penghapusannya maka mata uang Zimbabwe harus berganti dengan mata uang Cina yaitu yuan. Dan dipastikan juga ekonomi yang dijalankan akhirnya Cina lah yang berkuasa untuk mengoperasikanya, dalam artinya secara tidak langsung Cina menduduki Negara Zimbabwe untuk selamanya. Apakah kita mau kalau Negara ini akan bernasib seperti Zimbabwe atau negeri-negeri lainnya yang hancur karena terlilit utang?. Kalau itu terjadi, bagaimana nasib rakyat Indonesia? Apakah akan menjadi budak di dalam Negara sendiri? Tentu pastinya kita tidak menginginkan hal itu bukan?
Islam Harapan Utama
Perlu kita ketahui terlebih dahulu, bahwasanya selain bisa membangkrutkan negeri ini, tentu saja seluruh utang luar negeri tersebut disertai bunga alias riba yang diharamkan oleh Islam . Sesuai firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS: Al Baqarah: 278). Bila kita membaca kutipan ayat tersebut sudah dipastikan keharaman atas riba dan segala aktivitas yang berkaitan dengan riba. Pasalnya hutang disertai riba itu akan memunculkan resiko terbesar yaitu datangnya azab Allah SWT. Rasul SAW bersabda: “Jika zina dan riba telah tersebar luas disuatu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)”
Di dalam ayat tersebut sudah jelas-jelas nyata bahwasanya dengan aktivitas dimana itu mengandung unsur yang dibenci oleh Allah pastinya akan mengundang muka Allah juga. Selain itu, perekonomian yang dibangun diatas pondasi riba tidak akan pernah stabil bahkan akan masuk dalam krisis yang berulang. Akibatnya kesejahteraan dan kemakmuran yang merata dan yang harus dinikmati oleh rakyat saat ini akan sangat jauh dari capaian.
Alhasil, utang dalam negeri maupun hutang dalam negeri itu harus segera di akhiri. Dan perekonomian juga harus dijauhkan dari sistem riba dimana sudah jelas riba akan hanya membawa malapetaka saja. Dan besegera mengatus sistem ekonomi menggunakan sistem Islam yang sesuai syariat Islam. Karena hanya dengan kembali pada Syariat Islam keberkahan, kemakmuran, dan kesejahteraan akan segera dilimpahkan kepada bangsa ini. Akan tetapi kemakmuran abadi tidak akan tercapai apabila sistem ekonomi Islam dilaksanakan tanpa diikuti sistem penataan yang lain baik dalam pendidikan, kesehatan dan aturan yang lainnya. Insya Allah dengan di ikuti atau diterapkannya aturan pemerintahan secara keseluruhan dengan Islam, akan menjadikan Negara kita Indonesia lebih baik dan kemulian pasti akan terhamparkan.