Oleh: Kurnia Asih Agostin
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam sedang bertamu ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba datang seorang Arab Badui (orang gurun) menemui Abu Bakar ra. Ia langsung mencela Abu Bakar ra. dengan makian kata-kata kotor keluar dari mulutnya. Saat itu Abu Bakar ra. sama sekali tidak menghiraukannya. Ia terus melanjutkan perbincangannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam.
Melihat hal ini Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam-pun tersenyum. Kemudian orang Arab Badui tersebut kembali memaki Abu Bakar dan kali ini makian dan hinaannya semakin kasar. Namun dengan keimanan yang kokoh serta kesabarannya, Abu Bakar ra. masih tetap membiarkan orang tersebut dan tidak sedikit pun membalas caciannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam-pun kembali tersenyum menyaksikannya. Dan itu semua semakin membuat orang Arab Badui tersebut marah. Untuk ketiga kalinya, dia mencerca Abu Bakar dengan celaan yang lebih menyakitkan dari sebelum nya. Kali ini selaku manusia biasa yang memiliki hawa nafsu akhirnya Abu Bakar ra. tidak dapat menahan amarahnya, Ia membalas makian orang Arab Badui tersebut dengan makian pula. Seketika itu terjadilah perang mulut di antara mereka. Melihat hal tersebut Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam beranjak dari tempat duduknya, Ia lalu meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapkan salam.
Melihat hal ini selaku tuan rumah Abu Bakar tersadar dan menjadi bingung. Dikejarnya Rasulullah yang sudah sampai halaman rumah beliau. Kemudian Abu Bakar berkata “Wahai Rasulullah janganlah biarkan aku dalam kebingungan yang sangat. Jika aku berbuat kesalahan, jelaskanlah kesalahanku!”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam menjawab, “Sewaktu ada seorang Arab Badui datang dengan membawa kemarahan serta fitnahan lalu mencelamu, kulihat engkau tenang, diam dan tidak membalas. Dan aku pun tersenyum karena ribuan para malaikat disekeliling mu mendoakan dan memohonkan ampun untukmu kepada Allah SWT. Begitu pun yang kedua kali ketika orang tersebut mencelamu dan engkau tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya. Oleh sebab itu, aku pun kembali tersenyum. Namun ketika kali ketiga dia mencelamu dan engkau menanggapinya, engkau membalasnya, maka seluruh malaikat seketika itu pergi meninggalkanmu. Dan saat itu hadirlah setan duduk di sebelahmu dan menggodamu.
Oleh karena itu aku tidak ingin berdekatan dengan kamu Dan aku tidak ingin berdekatan dengan syaithan pula dan akupun tidak memberikan salam kepadanya.” Setelah itu menangislah Abu Bakar ra.ketika diberitahu tentang hal tersebut.
Kisah di atas memberi kita pelajaran bahwa diam ketika di hina dan di caci bukanlah sebuah kelemahan. Menahan diri dari hawa nafsu dan amarah itulah sesungguhnya kekuatan yang sebenarnya dan sebuah kemenangan yang besar.
Di riwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Shallallahu’alaihi wa salam mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).
Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridai.” (HR. Ahmad).
Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala hanya akan menghisab perbuatan yang telah kita lakukan, bukan perbuatan orang lain kepada kita. Maka selayaknyalah kita berhati hati ketika bereaksi atas perbuatan orang lain kepada kita. Karena di saat itulah Allah Subhanahu wata’ala akan melihat dan mencatatnya. Menjadi sebuah catatan kebaikankah atau catatan keburukankah perbuatan tersebut untuk kita.
Dan Allah Subhanahu wata’ala-pun berfirman: “Maka bersabarlah engkau dengan kesabaran yang baik.” (QS. Al-Ma’arij : 5)
Wallahua’lam***