Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
#MuslimahTimes — Banyaknya buruh migran di luar negeri adalah salah satu dari imbas sulitnya mencapai taraf kesejahteraan di tanah air. Kesejahteraan jauh panggang dari api. Lapangan pekerjaan sulit ditemukan.Jika ada gajinya pas-pasan untuk bertahan hidup setiap bulan.Jika mau membuat usaha modalnya besar dan saingan multikorporasi banyak.Akhirnya bekerja keluar negeri adalah sebuah pilihan.Iming-iming bisa sejahtera dari hasil merantau menjadi semangat yang kuat untuk nekat ke negara tetangga.
Padahal, keputusan menjadi pekerja di negara orang dengan informasi dan pengetahuan yang terbatas kerap pula menimbulkan permasalahan.Terlebih jika keterbatasan itu berkaitan dengan masalah hukum, maka nyawa bisa menjadi taruhannya.Terlebih pada negara yang memberlakukan hukuman mati.Yang terbaru adalah kasus kasus Tuti Tursilawati.Setelah menjalani proses hukum selama sekitar tujuh tahun, pekerja migran asal Majalengka, Jawa Barat ini akhirnya menghadapi eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.Malangnya eksekusi mati terhadap Tuti di Kota Ta’if, tanpa notifikasi atau pemberitahuan resmi kepada perwakilan Pemerintah Indonesia, baik pihak KBRI di Riyadh maupun KJRI di Jeddah (tribunnews.com, 01/11/2018).
Kasus Tuti bukan yang pertama, sebelumnya beberapa TKI juga dihukum mati di luar negeri. Dikutip dari laman cnnindonesia.com (19/03/2018), setidaknya 167 TKI terancam hukuman mati, dimana paling banyak terdapat di Malaysia.
Sungguh, demikian kerasnya perjuangan mengadu nasib di negeri orang. Namun jumlah buruh migran bukannya berkurang justru makin banyak tiap tahunnya. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyebut jumlah TKI berdasarkan data yang dihimpun oleh World Bank ada sekitar 9 juta per akhir 2017. 55 persennya ada di Malaysia, 13 persen di Saudi Arabia, 10 persen di China atau Taipei, dan di negara-negara lain (kompas.com).
Fenomena ini menunjukkan bahwa di zaman kapitalisme yang menuntut segala-galanya didukung uang, resiko di negeri orang akhirnya terkalahkan demi meraih uang banyak.Artinya cita-cita sejahtera menjadi dambaan setiap pekerja.Namun sayangnya, lagi-lagi kesejahteraan sangat mahal di negeri ini.padahalIndonesia sebenarnya memiliki modal sangat besar untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tujuh turunan sekalipun. Sumber daya alam melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll.
Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik.Kebijakan ekonomi liberal kapitalistik menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing.Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep utang luar negeri telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing, berkubang dalam hutang ribawi.Sehingga berbagai persoalan tak kunjung dapat diatasi.Persoalan pada TKW di atas hanyalah sebagian kecil dari dampak kebijakan bernuansa kapitalis ini. Padahal dalam Islam, semua kekayaan negara harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tidak boleh dijual ke asing atau dimiliki oleh individu, sebagaimana sabda Rasulullah: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api, dan harganya haram”. [HR. Imam Ibnu Majah]
Pengiriman TKI khususnya TKW tidak perlu dilakukan ketika sumber daya alam negara dikelola dengan benar sesuai syariat Allah.Dengan demikian perempuan tidak dipaksa bekerja demi menghidupi keluarganya. Kesejahteraan secara sederhana diartikan sebagai terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal.Potensi utama adalah yang berkaitan dengan hajat hidup seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan pendidikan termasuk agama sebagai tuntunan hidup serta pemenuhan kebutuhan pelengkap.
Kesejahteraan biasanya disetarakan dengan kata keamanan, ketentraman, kesenangan hidup dan kemakmuran.Islam dengan sistem ekonomi Islamnya berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok dengan mekanisme tidak langsung yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.Sedangkan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan) dipenuhi dengan mekanisme langsung yakni penyediaan fasilitas secara langsung oleh negara.
Islam telah membebankan tanggungjawab mewujudkannya kesejahteraan pada tiga pihak. Pertama, individu. Dalam konteks keluarga, Islam telah membebankan tanggungjawab ini kepada setiap kepala keluarga yakni para suami dengan memerintahkan mereka untuk bekerja (‘amil) mencari nafkah. (bisa dilihat pada QS Al-Baqarah 233, Al-Mulk 15, Al-Jumuah 10 dan Al-Jaatsiyah 12). Terkait hal ini Rasulullah SAW mengatakan: “Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap keridhaan Allah, maka baginya shadaqah.” (HR Bukhari). Dan “Cukuplah seorang muslim berdosa bila tidak mencurahkan kekuatan (menafkahi) tanggungannya.” (HR Muslim).
Maknanya Islam memandang bahwa para istri dan anak-anak tidak diwajibkan mencari nafkah sendiri.Ketika kepala keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga, kewajiban akan jatuh pada ahli waris dan kerabat terdekatnya. Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya sementara ia mampu, maka negara berhak memaksanya untuk memberi nafkah yang menjadi kewajibannya.
Kedua, masyarakat. Islam telah mengajarkan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Ajaran ini akan menjadi tenaga penggerak munculnya kepekaan dan solidaritas sosial atas dasar iman. Terlebih Islam melaknat orang-orang yang individualis, tak peduli nasib anak yatim dan fakir miskin, yang bisa tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan.
Ketiga, negara.Dalam pandangan Islam, negara berkewajiban memastikan setiap individu dan masyarakat bisa memenuhi tanggungjawabnya dalam memenuhi kesejahteraan. Yakni dengan jalan menyediakan berbagai sarana dan prasarana berikut kondisi yang kondusif bagi keberlangsungan berusaha, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, bantuan modal dan lain-lain, termasuk penegakan hukum yang bersih dan konsisten di tengah-tengah masyarakat. Bagi orang atau kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sekalipun mereka telah berusaha maksimal, negara wajib menanggung kehidupan mereka dengan harta Baitul Mal.
Terkait dengan kebutuhan pokok berupa jasa seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, pemenuhannya mutlak tanggungjawab negara.Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk ‘pelayanan umum’ dan kemaslahatan hidup terpenting.Negara berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat di mana seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal. Adapun mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi para pelanggar. Sementara jaminan kesehatan dilaksanakan dengan cara menyediakan berbagai fasilitas, baik berupa tenaga medis, rumah sakit maupun aspek-aspek penunjang lain yang bisa meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dan bisa diakses secara mudah, bebas biaya atau murah. Demikian pula dengan pendidikan, negara melaksanakan sistem pendidikan berdasarkan paradigma yang lurus bertujuan meningkatkan kualitas SDM umat hingga menjadi umat terbaik, umat harapan masa depan. Jadi segala aspek yang menunjang, seperti penyediaan tenaga pengajar berkualitas, sarana prasarana dan lain-lainnya menjadi tanggungjawab penuh negara.
Semua fungsi negara ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin serta para khalifah sesudahnya.Hingga pada masa itu seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa merasakan kesejahteraan hidup yang tidak ada tandingannya.Maka, mencontoh sistem Islam ini dan berusaha menerapkannya, kesejahteraan bukan lagi impian, dan niscaya buruh migran beserta segala permasalahannya dapat ditekan.
===================
Sumber Foto : SINDOnews