Oleh : Dian F Hsb
#MuslimahTimes –– Geliat kaum pelangi bak empat musim di tanah Eropa. Silih berganti kita mendengar sepak terjang LGBT yang menuai pro kontra di linimasa. Upaya logis sampai tak masuk akal pun ditempuh guna melanggengkan apa yang mereka sebut sebagai hak asasi manusia dan rasa cinta. Bagaimana sepasang homoseksual membina keluarga ? Orang-orang pun bertanya, bagaimana mereka membangun keluarga yang secara biologis didasarkan atas hubungan laki-laki dan perempuan dalam rangka melanjutkan keturunan? Beberapa waktu lalu, Jeremy Teti sebagai figur yang mendukung gerakan LGBT sempat mendengungkan kemungkinan pasangan sejenis bisa membina keluarga layaknya keluarga normal. Konsep titip janin dengan praktik ibu pengganti sempat mengemuka pada waktu itu.
Secara medis, praktik ibu pengganti dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, ibu pengganti tradisional. Ibu pengganti diinseminasi sperma penyewa/sperma donor. Seorang pengganti tradisional merupakan ibu kandung dari bayi tersebut karena telurnya dipakai untuk dibuahi. Kedua, ibu pengganti gestasional, yang dilakukan lewat teknik fertilisasi in vitro (IVF). Telur ibu pengganti tidak digunakan, ia hanya meminjamkan rahim sehingga tak memiliki ikatan genetik dengan bayi. Sperma dan telur berasal dari penyewa maupun donor. (Tirto.id)
Ada yang menarik, bahwa dengan cara ini beberapa pasangan homoseksual di negara barat ‘berhasil’ membentuk keluarga yang harmonis. Opini yang berkembang mempromosikan bahwa pasangan sesama jenis tak kalah andal dalam membina anak-anak hasil titip janin atau anak adopsi mereka. Bukannya tanpa konsekuensi, titip janin ini seolah mengeliminasi kontak batin yang selazimnya terbentuk dalam hubungan anak dan ibu kandung. Bagaimana mungkin jasa penitipan rahim ini menyerahkan begitu saja anak yang dikandungnya, tanpa rasa cinta sedikit pun, setelah sembilan bulan lamanya. Itu belum termasuk bahwa dalam sistem keluarga pastinya membutuhkan dua figur sekaligus, ayah dan ibu. Kita berbicara tentang manusia dengan segala kemanusiaanya. Apakah kita mengira rahim para ibu adalah kendaraan yang layak ditumpangi?
Satu sisi, LGBT mendengungkan cinta sebagai tameng favorit mereka. Di sisi lain, kita baru saja mengebiri makna cinta dan kemanusiaan dengan solusi-solusi parsial yang ditawarkan ke tengah kehidupan manusia. Standar ganda tentulah berperan besar pada aspek ini. Argumentasi kaum agamawan menjadi bagian terdepan yang menolak visi misi homoseksualitas dengan segala bentuknya. “kami bersama Rasulullah Saw saat Hunain ditaklukkan, kemudian beliau berdiri dan bersabda: “tidak halal bagi yang beriman kepada Allah dan hari akhir air maninya dicampuri dengan air mani orang lain.” (HR. Abu Dawud dalam kitabnya bab Fii Wath’I Sibyaa,no. hadits: 2158). Dalil ini sering dipakai guna mengurai hukum sewa rahim dalam kaca mata islami. Sebagian ulama terkemuka dan institusi islami berbeda pendapat dalam beberapa hal. Namun ulama sepakat dalam pengharaman pencampuran mani dari pasangan yang tidak halal. Kerusakan lain yang mungkin terjadi dalam praktek sewa rahim adalah kemungkinan tercampurnya nasab. Sedangkan menjaga nasab merupakan perkara yang dzoruri (wajib). “perkara yang dapat menjerumuskan kepada keharaman maka hukumnya haram.” (Zakariya bin Ghulam Qodir Al-Bakistany, Min Ushul Al-Fiqh ‘Alaa Madzhabi Ahlu Al-Hadits,hlm: 162)
Pada akhirnya, bagaimana kita menilai fakta sangat tergantung ideologi apa tempat kita berpijak. Jika kebebasan bertingkah laku sudah kita tuhankan sejak awal, apa pun argumentasinya bakal mental. Institusi keluarga di era kekinian diambang keretakan, alih-alih kita bersiap untuk punah. Tanpa bermaksud mengumbar pesimisme, bersiaplah dengan kemungkinan terburuk. Wallahu’alam. []