Oleh: Al IhyaYunusPutri, S.Sos.
(AnggotaMuslimah Jambi Menulis)
Menjadi seorang guru adalah salah satu profesi yang banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data pendidikan 2016/2017 yang dikeluarkan BPS menunjukkan jumlah guru di Indonesia sekitar 3,1 juta. Namun, masih ratusan ribu diantaranya yang berstatus guru honorer. Karena sama seperti yang diketahui bahwa menjadi guru adalah profesi yang mulia.
Tepat pada tanggal 25 November 2018 adalah peringatan Hari Guru Nasional, yang mana memang diperingati setiap tahunnya. Diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari upacara, pemberian hadiah, lomba tingkat guru, penghargaan dan lain sebagainya. Guru bak menjadi raja sehari.
Namun di balik itu semua kita tak bisa menafikkan nasib guru hari ini. Gaji yang tak mencukupi, belum lagi perlakuan siswa terhadap guru yang terkadang mengiris hati. Tak lagi dihormati bahkan sampai dicaci maki.
Kita juga melihat dan mendengar kabar bahwa tepat pada tanggal 30 Oktober 2018 lalu, guru honorer yang diklaim berjumlah 70.000 melakukan demo menuntut hak mereka agar dipenuhi di Istana, bahkan mereka sampai menginap di jalanan seberang istana karena pihak istana tidak menanggapi aksi mereka. “Kami rela tidur di depan istana, bayar sewa bus jadi lebih mahal hanya karena ingin mendapat jawaban dari Jokowi” kata Titi Purwaningsih selaku Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I). Akhirnya setelah bermalam perwakilan massa diterima oleh perwakilan Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada Rabu sore. Pihak Titi menolak untuk melanjutkan mediasi karena menurut mereka hal itu percuma tidak ada solusi. Para guru terpaksa membubarkan aksi tanpa membawa hasil (sumber:nasional.kompas.com).
Masalah guru honorer bukanlah masalah baru di Indonesia, keseriusan pemerintah dalam menangani terkait guru honorer memang belum menemukan kata tuntas. Pengabdian yang dilakukan bertahun-tahun tak mendapat apresiasi yang setimpal. Sulitnya mendapat pekerjaan menjadi salah satu penyebab mereka memilih menjadi honorer di sekolah dengan harapan dapat diangkat menjadi PNS oleh pemerintah. Padahal seperti yang diketahui bahwa gaji yang didapa toleh guru honorer dapat dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup yang kian mahal.
Nasib Guru dalam Sistem Kapitalisme
Selain untuk mengabdikan diri dalam mencerdaskan anak bangsa, memberikan didikan yang bermanfaat, menjadi guru tentu yang diharapkan adalah mendapat imbalan atau gaji yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam sistem hari ini dengan kebutuhan hidup yang dapat dikatakan serba mahal membuat masyarakat harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup. Berharap menjadi PNS dan digaji oleh Negara tentu menjadi salah satu keinginan yang ingin dicapai oleh kebanyakan orang termasuk para guru honorer.
“Guruku sayang, guruku malang.”seperti itulah kiranya ungkapan yang tepat untuk nasib guru dalam sistem kapitalisme hari ini. Mereka tak ada tempat untuk mengadu, tak ada yang memberikan jaminan serta solusi tuntas terhadap polemik guru honorer yang jumlahnya kian hari semakin banyak. Ujung-ujungnya mereka hanya bisa berharap akan ada kebijakan dari pemerintah yang bisa menjamin nasib mereka. Padahal memang sudah menjadi kewajiban negara menjamin kehidupan rakyatnya, menyediakan lapangan pekerjaan adalah salah satu tugas yang harus diemban oleh negara. Tetapi hari ini justru berbalik, rakyat harus mengais sendiri demi bertahan hidup dan mencari sesuap nasi.
Tak hanya nasib guru honorer, guru yang sudah menjadi PNS pun kerap menghadapi masalah-masalah yang membuat sakit kepala. Sistem penidikan yang cenderung berubah-ubah, membuat guru harus bisa menyesuaikan dengan kemampuan mereka. Dapat dilihat, didengar dan dirasakan juga bahwa murid sebagai generasi penerus bangsa kini sudah semakin kehilangan jati dirinya . Kian maraknya kasus yang terjadi antara murid dan guru, mulai dari narkoba, pencabulan, kekerasan dan lain sebagainya. Realitas kebijakan terkait guru pun dirasa kian rumit sehingga menyulitkan mereka untuk menjalankan tupoksinya sebagai pendidik generasi penerus bangsa.
Guru Sejahtera dalam Naungan Islam
Dalam sistem Islam, sistem pendidikan yang diberlakukan adalah berdasarkan akidah Islam. Guru tidak hanya bertugas mentrasfer ilmu tapi juga mendidik dan menjamin setiap muridnya mendapatkan ajaran yang sesuai dengan yang ditargetkan. Dalam Islam guru dijamin kesejahteraanya, menjadi guru bukanlah hal yang mudah sehingga harus diapresiasi dan diberikan imbalan setimpal dengan apa yang telah mereka lakukan.
Pada masa Umar bin Khattab, beliau menetapkan gaji guru sebanyak 15 Dinar. Dinar merupakan mata uang yang terbuat dari bahan logam mulia emas. Satu Dinar setara dengan 4,25 gram emas. 1 Dinar sama dengan 2.258.000 Rupiah, artinya 15×2.258.000 yakni sebanyak 33.870.000 Rupiah. Jika dibandingkan dengan hari ini gaji guru di negeri ini kisaran 2 juta, guru honorehanya digaji 300 Ribu, sangat jauh berbeda dengan jumlah yang diatas.
Di dalam Islam, tugas negara adalah menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya, termasuk guru yang mana guru adalah profesi mulia pendidik generasi. Sehingga sudah seharusnya kita sadar bahwa berharap pada sistem hari ini tak akan ada ujungnya, telah lama Indonesia merdeka telah lama kita menanti, sumber daya alam banyak tapi bukan rakyat yang menikmati. Sudah saatnya kita kembali kepada Islam, menerapkan dalam segala lini kehidupan termasuk sistem pendidikan.
Wallahu’alam.