Oleh: RatnaMufidah, SE
Â
#MuslimahTImes — Kondisi nilai mata uang rupiah terus mengalami penurunan sejak beberapa bulan yang lalu. Hingga Kamis 6 Desember 2018, Rupiah dibuka di level Rp 14.482 per USD. Ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini terus berlangsung hingga kini. Salah satunya adalah kebijakan moneter luar negeri Amerika Serikat yang ingin menaikkan suku bunga acuan.
Menurut peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, melemahnya nilai tukar rupiah, tentu berdampak terhadap, pertama, aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Kedua, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah. Lantaran, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal.
Kalau dolarnya mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan, maka pengaruh profit ke pengusaha juga dapat semakin rendah. Risiko berikutnya adalah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Risiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging) akan naik.
Terakhir, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari, karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM. “Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non-subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akan terus dilakukan,” ucap Bhima.
Imbas dari semuanya itu tentu saja adalah beban APBN yang meningkat. Meski pada sektor pendapatan ekspor juga meningkat, namun pada faktanya peningkatan tersebut tidak sebanding dengan defisit APBN.
Demikianlah serangkaian lingkaran setan persoalan sistemik yang melili tperekonomian Bangsa ini. Bagaimana tidak, semua persoalan di atas bermuara pada berlakunya sistem ekonomi kapitalis yang saat ini dominan di terapkan hampir di seluruh dunia.
Namun sayangnya, kesadaran akan persoalan sistemik-ideologis ini masih belum disadari pemerintah sepenuhnya. Hal ini bisa dilihat pada apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kenaikan dollar terhadap Rupiah, masih sebatas merespon dengan kebijakan-kebijakan yang masih dalam tataran sistem kapitalis.
Seperti yang dituturkan Menteri Perdagangan, Enggartiasta Lukita, merespon kenaikan dollar ini dengan menekan angka impor, memotong pajak, meningkatkan ekspor. Dalam masa fluktuasi nilai tukar Rupiah ke USD yang tak menentu semua pihak harus menahan penggunaan dolar. Pemerintah sendiri telah merevisi tarif Pajak Penghasilan (PPh) 22 untuk 1.147 barang impor dalam rangka pengendalian barang masuk.
Dari pihak Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, Deputi Senior Gubernur BI mengatakan, Kedepan, Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar, didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.
Padahal, yang patut dicermati dari persoalan merosotnya rupiah terhadap dollar adalah apa yang dikemukakan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie, rupiah tak pernah menang melawan dollar AS. Yang terjadi adalah percepatan atau tidak oleh karena sejak republik ini berdiri, rupiah itu tidak pernah tidak merosot.
Menurut Kwik, nilai tukar rupiah akan terus kalah dengan dollar AS selama impor Indonesia lebih banyak dibanding ekspornya. “Republik kita tidak pernah mampu sejak lahir sampai hari ini untuk menciptakan devisa dengan cara melakukan ekspor dengan perolehan ekspor dalam valuta asing yang lebih besar daripada impornya. Impornya selalu lebih besar dari ekspornya,” tuturnya.
Disinilah perlunya kita kritis terhadap problematika sistemik bangsa ini. Sejak kemerdekaan, arah perpolitikan bangsa ini tak pernah lepas dari pengaruh Luar Negeri tak terkecuali dalam hal mata uang.
Saat itu, Amerika menjadi negara adidaya baru yang menghentikan penggunaan sistem uang emas dengan US Dollar. Dengan begitu, dolarlah yang merajai aset internasional di pasar. Sistem uang emas yang dipakai sejak dahulu kala, kemudian dianggap tidak dapat digunakan lagi di dunia.
Kurs pertukaran mata uang pun berubah-ubah secara drastis, dan mulailah muncul ketidakmenentuan kurs mata uang yang pada akhirny amenyulitkan kondisi perekonomian Negara-negara yang berkiblat ke AS dalam mengatur politik dan perekonomian negaranya.
Padahal semua permasalahan yang terjadi akibat penggunaan sistem mata kertas tidak terjadi pada saat sistem uang emas berlaku secara internasional. Mata uang emas tidak pernah mengalami inflasi, atau nilainya turun terhadap mata uang lain, karena nilainya juga tidak tergantung pada mata uang negara lain.
Satuan emas dan perak merupakan kumpulan dari model uang Persia dan Romawi. Secara syariah Islam, telah banyak dalil yang menunjukkan bahwa uang harus berupa emas dan perak, atau standar moneternya berupa emas dan perak. Hal ini telah berlangsung sejak jaman Nabi saw, sepanjang Kekhilafahan Islam, hingga Perang Dunia 1. Dan hal tersebut merupakan solusi dari permasalahan mata uang saat ini.
Namun begitu, penerapan mata uang dinar-dirham tidak akan mampu dilakukan oleh negara yang secara politis tidak merdeka dari negara lain. Sehingga, yang perlu dilakukan adalah mengupayakan solusi komprehensif berupa penerapan syariat Islam yang kaffah untuk diterapkan di seluruh sendi kehidupan.