Oleh : Ifa Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Keumatan)
#MuslimahTimes –– Perhelatan politik menjelang Pemilu 2019 kian memanas. Kubu petahanan Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun pesaingnya Prabowo Subianto-Sandiago Uno terus berusaha menunjukkan kelebihan masing-masing. Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk meraup suara. Mulai dari bagi-bagi angpau, menyebar foto berkunjung ke pesantren, menyebar foto menjadi imam sholat para kyai, pamer foto infrastruktur jalan tol, dan masih banyak lagi. Di pembuka tahun ini, mengawal masa kampanye pertengahan bulan ini muncul juga ide untuk mengetes paca calon capres dan cawapres untuk membaca Al-Qur’an secara terbuka.
Ide tes membaca Al-Qur’an yang dicetuskan oleh Ikatan Dai Aceh bagi para capres dan cawapres menuai pro dan kontra di kalangan team kemenangan masing-masing capres tokoh masyarakat ataupun di masyarakat secara umum. Sebagian masyarakat berpendapat setuju dengan ide ini, dengan anggapan bahwa untuk menguji kualitas calon pemimpin juga untuk mengakhiri polemik tanda tanya soal keislamam bagi Capres dan Cawapres. Ada juga yang tidak setuju karena tidak relevan dan terlalu masuk dalam ruang privat.
Ketika saya mendengar tes baca Al-Qur’an saya langsung terbayang anak-anak SD yang harus dites bacaan Al-Qur’an nya ketika masuk ke sekolah yang baru. Terbayang juga anak-anak usia 3-5 tahun yang belajar dan menghafal Al-Qur’an di Rumah Tahfidz Balita. Pada se-usia mereka memang wajar mengenalkan Al-Qur’an untuk dipelajari cara membaca yang benar atau menghafalkan. Karena jika diajari makna Al-Qur’an secara mendalam baik terjemah, tafsir, atau bagaimana mengamalkan Al-Qur’an pastilah mereka belum mampu. Karena saat usia tersebut mereka masih dalalm proses berkembangnya proses berfikir.
Nah, jika tes baca Al-Qur’an ini diperuntukkan untuk level presiden atau kepala negara, apakah ini relevan? Apakah ini cocok? Yang pada hakikatnya seharusnya level negara itu yaa sudah level bagaimana menerapkan aturan syariat yang ada di dalam Al-Qur’an. Saya justru khawatir jika tes membaca Al-Qur’an akan dijadikan sebagai batu loncatan agar memenangkan suara dalam pemilu dengan mengabaikan isinya. Apalah artinya lancar dalam membaca Al-Qur’an bagi seorang kepala Negara, tapi mereka menolak apa yang diajarkan Al-Qur’an. Apalah artinya jika Al-Qur’an hanya dibaca tetapi para capres-cawapres tidak mau mengambil solusi Islam untuk mengatur tata Masyarakat Indonesia, bahkan justru ada rasa islamophobia kepada Islam, bahkan represif terhadap dakwah Islam?
Ide-ide seperti ini sebenarnya menjadi salah satu bukti bahwa dalam sistem demokrasi saat ini Al-Qur’an hanya sebatas menjadi alat dalam permainan politik untuk memenangkan persaingan di satu sisi, dan keberadaannya dianggap tidak penting di sisi yg lain. Terlebih jika itu hanya sebagai ajang untuk menonjolkan politik identitas, semisal pembuktian bahwa dia seorang muslim, meski di belakang publik justru mendukung kepada kemenangan kaum kafir bahkan melegalkan kebebasan orang-orang yang tidak beragama. Semoga kita dihindarkan dari pemimpin yang demikian. Na’udzubillahi min dzalik.
Al-Qur’an yang mulia adalah firman Allah SWT. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril, baik lafadz maupun maknanya. Membacanya merupakan ibadah, sekaligus merupakan mukjizat yang sampai kepada kita secara mutawatir. Allah SWT menghadirkan petunjuk berupa Al-Qur’an agar manusia tidak tersesat dari jalan-Nya. Maka bagi siapa yang menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupannya, Allah SWT menjamin hidupnya akan berada di dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah SWT : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus….” (Q.S Al-Isrâ`: 9).
Begitu juga dalam ayat yang lain, “Dan sebenarnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) untuk mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang beriman ”. ( Q.S Al-A’râf : 52). Demikianlah, Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia. Tentu saja Rahmat ini akan diwujudkan jika isi Al-Qur’an dilaksanakan dalam seluruh segi kehidupan. Memang, membaca Al-Qur’an adalah berpahala, namun tuntutan Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tapi harus difahami untuk diamalkan.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia sudah seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bukan sebatas aksesoris keislaman semata. Justru tugas pemimpin negara tak hanya sekedar dituntut untuk membacanya akan tetapi wajib mengaplikasikan isi Al-Qur’an secara kaffah dalam mengurusi rakyatnya. Dalam islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah tanggung jawab. Oleh karena itu besarnya tanggung jawab dan tugas seorang pemimpin di dalam Islam, Allah SWT mempersiapkan balasan yang besar bagi mereka yang mampu menunaikannya dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang Allah akan dinaungi dalam naungan-Nya pada hari tidak perlindungan kecuali dari-Nya. Dan diantaranya adalah imam yang adil.” (HR Bukhari Muslim). Sebaliknya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa kepemimpinan bisa jadi penyesalan di hari kiamat. Beliau berkata kepada Abu Dzar terkait kepemimpinan, “Sesungguhnya (kepemimpinan) itu adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang menunaikan amanah tersebut sesuai haknya dan menjalankan kewajibannya.” (HR Muslim).
Seorang pemimpin dalam islam memiliki tugas mengimplementasikan Al-Qur’an dengan cara menerapkan syariatNya dan kalimat Allah menjadi yang tertinggi dan ibadah hanya diperuntukkan untuk Allah. Pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara kaffah akan Allah turunkan keberkahan di negeri kita tercinta ini, seperti firman Allah SWT: “Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari di langit dan bumi”. (QS Al-Araf :96)
Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak sepatutnya hanya digunakan sebagai ajang untuk meraup suara dalam pemilu. Tapi sejatinya yang lebih penting pada capres-cawapres ditanya mau apa tidak kalau mengambil ekonomi Islam dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, misalnya. Bukan hanya sebatas tes superfisial “membaca” Al-Qur’an. Maka, mari kita campakkan sistem demokrasi sekuler yang jelas secara nyata hanya menjadikan agama sekedar permainan saja bukan sebagai pedoman hidup. Sudah saatnya kita beralih kepada hukum Al-Qur’an untuk menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bishowab