Oleh : Ifa Mufida*
Empat tahun pemerintahan rezim saat ini, ternyata menoreh sejarah ketergantungan Indonesia kepada Cina yang luar biasa. Prestasi yang selalu dibanggakan rezim ini adalah keberhasilannya membangun infrastruktur Negara. Ambisi rezim ini ingin membangun infrastruktur mulai tercium saat kunjungan kerja ke Republik Rakyat China (RRC) 2 tahun lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta delegasi mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Xi Jinping dan delegasinya. Pembicaraan antara kedua kepala negara ini digelar di West Lake State Guest House, Hangzhou, Jumat 2 /9 /16. Pertemuan bilateral ini pun menghasilkan tiga kesepakatan salah satunya adalah investasi bidang infrastruktur (okezone.com)
Ketergantungan Indonesia akan Cina bisa diindra melalui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Bisa dibayangkan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membutuhkan biaya hingga USD 5,1 miliar (setara Rp 67,8 triliun dengan kurs Rp 13.300) di mana CDB (China Development Bank) menanggung pinjaman sebesar 75 persen dari total investasi. Sisa 25 persen berasal dari modal perusahaan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) (pinterpolitik.com).
Tentu saja ambisi rezim untuk membangun infrastruktur sejalan dengan misi OBOR (One Belt One Rode) Cina. Sejak diperkenalkan pada 2013 oleh Xi Jinping, OBOR telah berhasil merangkul 65 negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama mencapai USD$ 4.4 triliun. Indonesia sebagai salah satu negara target di Asia diestimasikan menerima total investasi sebesar USD$ 69.256 juta.
Padahal OBOR yang merupakan program Tiongkok adalah jalan mereka untuk melakukan ekspansi ke negara yang mau menjalankan program ini. Hal ini kita lihat dari ungkapan Deputi Menteri Mainland Affairs Council, Republik Tiongkok atau Taiwan, Tien-Chin Chang. Ia mengatakan, Pemerintah Tiongkok meminta agar negara-negara yang hendak dilibatkan dalam OBOR mengurangi proteksionismenya. Tetapi di saat bersamaan, OBOR dan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang dijanjikan, sebetulnya digunakan untuk mengalirkan produk Tiongkok dan tenaga kerja Tiongkok ke negara-negara tersebut (pinterpolitik.com).
Demikianlah, sekelumit fakta yang nyata bahwa memang Tiongkok terus melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang di dunia, tak terkecuali Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Nampaknya ketergantungan Indonesia ke Negara Cina Tiongkok sudah sangat luar biasa, hingga menjadikan nya tuli terhadap kondisi umat Islam di Xinjiang yang sedang diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah Tiongkok.
Sudah nyata fakta di hadapan kita atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Cina kepada etnis muslim Uighur. Pemerintah Cina disebut melakukan pelanggaran HAM secara massal dan sistematis terhadap kaum minoritas muslim di Xinjiang. Salah satu pelanggaran HAM yang paling dikhawatirkan adalah mengenai penangkapan etnis Uighur dan minoritas muslim di Xinjiang yang marak dilakukan otoritas Cina.
Berdasarkan kesaksian mereka, otoritas Cina terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu. Otoritas Cina memaksa muslim Uighur untuk meninggalkan agama mereka dan meyakini ajaran komunis, mereka dipaksa makan daging babi, mereka dilarang untuk puasa, dan masih banyak lagi deretan perlakuan keji dan kejam yang menjadinya lidah kelu dah hati ini menjerit.
Namun keadaan mereka tak membuat pemimpin negeri-negeri muslim di dunia bertindak untuk menolongnya. Termasuk pemimpin negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia yakni Indonesia, juga diam tak bersuara.
Peneliti Kebijakan Luar Negeri dan Politik Asia Tenggara dari International Institute for Strategic Studies (ISS), Aaron Connelly, menganggap isu Uighur ini sensitif bagi publik Indonesia sehingga Jokowi tak bisa cepat bersuara. Peneliti lembaga think thank Singapura itu menganggap Jokowi akan berpikir dua kali sebelum menyinggung Cina soal ini di depan publik, salah satunya karena kerja sama ekonomi terutama modal Beijing yang cukup besar tertanam di Indonesia. Connelly menganggap Jokowi masih ingin menarik lebih banyak inisiatif Cina untuk bekerja sama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Menurut Connelly, hal itu tak mungkin dilakukan jika Cina merasa tersinggung dengan Indonesia (cnn.indonesia).
Astaghfirullah, rezim seperti apakah ini? Apalah hebatnya infrastruktur yang diperoleh dengan cara berhutang. Terlebih jika cengkraman Investasi ini menjadikan negeri yang mayoritas Islam ini tuli dan tak punya hati. Ini adalah bukti bahwa investasi adalah salah satu jalan penjajahan. Investasi telah mencengkeram negara ini sehingga rezimpun tuli terhadap kekejaman Cina kepada muslim Uighur. Karena investasi telah membuat negara ini lemah. Padahal investasi diberikan bukan dengan cuma-cuma, melainkan Cina juga memperoleh keuntungan. Lalu untuk apa negara ini berdaulat jika hanya untuk menanggapi hal seperti ini saja tidak mampu?
Sebenarnya, pemerintah Indonesia dinilai punya posisi kuat untuk mendorong pemerintah Cina membuka informasi atas apa yang menimpa etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Agung Nurwijoyo, mengatakan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, anggota Dewan Keamanan PBB, dan juga memiliki hubungan bilateral yang baik dengan Cina, bisa memanfaatkan hal itu agar menjembatani persoalan yang dialami komunitas tersebut. Namun, nyatanya pemerintah Indonesia memilih diam dan tak mau tahu dengan dalih tidak mau mengintervensi urusan dalam negeri negara lain. Sungguh tragis nasib negeri ini, menjadi negeri terjajah atas nama investasi.
Akan berbeda jika dunia menerapkan sistem Islam, maka pemerintah menggunakan hukum syariat Islam untuk mengatur kehidupan bernegara. Bukan keuntungan materi yang dikejar tapi tuntutan akidah yang diutamakan. Dan dalam hal ini akidah menuntut kita sebagai muslim untuk peduli dan melindungi saudara seakidah yakni sesama muslim terutama yang sedang mengalami penindasan dan ketidakadilan.
Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di Bumi dan kerusakan yang besar.”(QS. Al-Anfal 8: Ayat 73).
Namun sayangnya terpecahnya kaum muslim dalam negara bangsa (nation state) telah menjadikan pemisah yang kejam. Ketika kaum muslimin yang seharusnya satu tubuh dan merasakan sakit jika bagian tubuh yang lain tersakiti, sekarang tidak bisa merasakan hal tersebut. Terlebih negeri-negeri muslim yang berada di bawah negara adidaya kapitalisme dan sosialis-komunis semakin nyata menjadi negeri yang tak berdaya. Hanya dengan mengemban ideologi Islam saja negeri-negeri Muslim akan bangkit dari keterpurukannya ini.
Sudah saatnya umat Islam untuk kembali menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara yakni Khilafah. Negara Islam inilah yang akan menyatukan umat Islam di dunia sehingga menjadi kekuatan yang bisa melindungi seluruh umat seutuhnya. Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia (HR al-Bukhari dan Muslim).”
Wallahu A’lam[]