Oleh: Emma LF – Aktivis ForMind (Forum Muslimah Indonesia)
Konsep tentang syariat Islam telah memenuhi ruang-ruang diskusi publik. Tak dipungkiri, menjamur diskursus tentang syariat Islam di Indonesia mulai dari kajian-kajian yang dikemas asyik dan seru oleh kalangan milenial hingga bentuk forum yang lebih serius dari itu. Contohnya Hijrah Fest tahun 2018 yang masih hangat diperbincangkan di mana banyak generasi muda berbondong-bondong menghadirinya. Kita bisa lihat bahwa generasi muda kita mulai melek tentang syariat dan bukan sekadar ikut-ikutan.
Bagaimana dengan konsep syariat Islam yang lebih dalam dan serius, khususnya tentang Islam dalam konteks kenegaraan (dalam hal ini khilafah)? Kita juga melihat fenomena bahwa konsep Khilafah mulai dilirik oleh banyak kalangan. Istilah khilafah semakin membumi justru setelah ormas Islam yang mendakwahkannya yaitu Hizbut Tahrir Indonesia dicabut status badan hukumnya. Masyarakat semakin penasaran apa itu Khilafah? Konsep Islam kafah yang seperti apakah Khilafah itu mulai didiskusikan di banyak forum-forum kajian, baik online maupun offline.
Namun kemudian ada upaya untuk membenturkan konsep Khilafah dengan humanisme. Dengan kata lain, ada kekhawatiran sebagian kalangan bahwa syariat Islam dan Khilafah akan membuat kehidupan manusia menjadi tidak bebas dan tidak manusiawi. Masih ada islamofobia bahwa syariat islam dan Khilafah akan menciptakan ruang publik yang tidak manusiawi. Benarkah hal itu? Bagaimana kemudian pandangan syariat Islam terhadap konsep Khilafah itu sendiri?
Apakah Khilafah Itu?
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia. Khilafah didirikan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam dengan pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukum yang disyariatkannya. Khilafah didirikan untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan mengenalkan dan mendakwahkan Islam sekaligus berjihad di jalan Allah.
Khilafah disebut juga dengan Imamah dan Imarah al-Mu’minin. Jabatan Khilafah merupakan jabatan duniawi, bukan jabatan ukhrawi. Khilafah ada untuk menerapkan agama Islam terhadap manusia dan untuk menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia. Khilafah secara pasti bukanlah kenabian.
Kenabian merupakan jabatan ilahiah; Allah memberikannya kepada siapa yang Ia kehendaki. Dalam kenabian, nabi atau rasul menerima syariat dari Allah melalui wahyu, sementara Khilafah merupakan jabatan manusiawi; di dalamnya kamu muslim membaiat orang yang mereka kehendaki dan mereka mengangkat seseorang yang mereka inginkan dari kaum muslim sebagai khalifah.
Khalifah Setelah Rasulullah saw. Tidak Ma’shum
Rasulullah Muhammad SAW. adalah seorang penguasa yang menerapkan syariat yang didatangkan kepadanya. Beliau memangku jabatan kenabian dan kerasulan, dan pada waktu yang sama juga memangku jabatan kepemimpinan atas kaum muslim dalam melaksanakan hukum-hukum Islam.
Adapun Khalifah sesudah Rasulullah saw. yang memangku jabatan Khilafah adalah manusia dan mereka bukanlah nabi. Karena itu, boleh jadi sesuatu terjadi pada mereka seperti juga terjadi pada manusia secara umum; baik berupa kesalahan, kekeliruan, kelupaan, kemaksiatan maupun yang lainnya, karena mereka adalah manusia. Mereka tidaklah ma’shum (terpelihara dari dosa) karena mereka bukan nabi dan bukan juga rasul. Rasulullah saw. telah memberitahukan bahwa Imam/Khalifah mungkin saja berbuat salah, mungkin juga melakukan perbuatan yang bisa membuat marah manusia, baik kezaliman, kemaksiatan dan yang lainnya. Bahkan beliau memberitahukan bahwa bisa saja terjadi kufran bawahan (kekufuran yang nyata) dari Imam/Khalifah, yang dalam kondisi ini ia tidak boleh ditaati tapi sebaliknya harus diperangi (Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, 2005).
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bahwa Beliau pernah bersabda: “Imam/Khilafah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Karena itu, jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat adil maka ia akan memperoleh pahala, dan jika ia memerintahkan selain itu maka ia akan mendapatkan dosanya (HR Muslim).
Dari hadis tersebut bisa kita pahami bahwa Imam/Khalifah itu tidak ma’shum, ada kemungkinan berbuat khilaf bahkan bisa saja memerintahkan selain ketakwaan kepada Allah. Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abdullah, yaitu Ibn Mas’ud, yang mengatakan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya setelah masaku akan datang suatu keadaan yang tidak disukai dan hal-hal yang kalian anggap mungkar.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah saw., apa yang engkau perintahkan kepada seseorang di antara kami yang menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kalian harus menuanuaikan hak (baca: kewajiban, ed.) yang telah dibebankan atas kalian dan meminta kepada Allah hak yang menjadi milik kalian.” (HR Muslim)
Aisyah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Hindarilah oleh kalian hukuman-hukuman atas kaum Muslim semampu kalian. Jika memang ada peluang (bagi terdakwa untuk bebas, ed.) maka lepaskanlah dia. Sebab, sesungguhnya Imam/Khalifah yang salah dalam mengampuni (terdakwa) adalah lebih baik daripada yang salah dalam memberikan hukuman (HR at-Tirmidzi).
Dari hadis-hadis tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa Imam/Khalifah bisa berbuat salah, lupa, atau bermaksiat. Namun Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslim agar senantiasa menaati Imam/Khalifah selama ia memerintah sesuai dengan Islam, tidak melakukan kekufuran secara terang-terangan dan tidak menyuruh berbuat maksiat. Dengan demikian, para Khalifah setelah Rasulullah saw. adalah manusia biasa yang mungkin berbuat salah. Mereka bukan orang yang ma’shum, artinya mereka bukanlah para nabi.
Ruang Publik yang Manusiawi
Dengan demikian, Khilafah bukanlah negara teokrasi (dawlah ilahiyah). Khilafah adalah negara manusiawi (dawlah basyariyyah) di mana yang memerintahnya adalah manusia biasa yang dibaiat oleh kaum Muslim dalam rangka menerapkan syariat Islam secara kafah di muka bumi. Jika Khalifah berbuat salah atau zalim, akan ada institusi dalam struktur negara Khilafah Islamiyah yang akan memrosesnya secara hukum. Karena kedaulatan tertinggi dalam negara Khilafah ada di tangan hukum syariat Islam, bukan di tangan Khalifah sehingga Khalifah tidak bisa berbuat sesukanya secara otoriter. Khilafah akan tetap bisa menjadi ruang publik yang manusiawi. Wallahu a’lam bishshawwab. []