Oleh. Sepma Yunedi,S.Pd
(Tenaga Pendidik dan Aktivis Komunitas Muda Mulia)
#MuslimahTimes –– Wacana baca Al Quran bagi capres ke dua kubu mewarnai panasnya suasanya jelang pilpres. Hal ini bermula dari pernyataan salah satu pihak dari Ikatan Dai Aceh. Ikatan Dai Aceh mengundang dua kandidat calon Presiden RI untuk uji baca Al Quran. Salah satu alasannya karena dua Capres sama sama beragama Islam dan penting bagi umat Islam untuk tahu kualitas calon presidennya.
“Tes baca Al Quran bagi seorang calon pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik makin tahu kualitas calonnya. Membaca Al Quran adalah ibadah harian yang sangat lazim dilakukan oleh jutaan muslimin setiap hari di Indonesia. Saya yakin pak Jokowi dan pak Prabowo tidak ada masalah dengan itu,” ujar Ridlwan Habib peneliti radikalisme dan gerakan Islam di Jakarta (TribunNews.com).
Melihat rekam jejak pilpres di negeri ini tentang para capres dan cawapres notabene selalu beragama islam. Lantas kenapa wacana seperti ini muncul? Padahal pilpres sudah berjalan sejak lama dan semua calonnya muslim.
Pada pilpres kali ini memang tertangkap kesan seolah islami. Mulai dari cawapres yang diusung adalah kalangan ulama ataupun rekomendasi ulama. Hal ini wajar jika dikaitkan dengan kondisi negeri ini mayoritas muslim. Tentu ini erat hubungannya dengan pundi-pundi suara yang ingin diraih. Sederhananya, kedua kubu sedang berebut suara kaum muslim agar menang dalam pilpres.
Perebutan suara muslim ini hanya terjadi pada masa pemilu. Seolah satu suara muslim sangat berarti dan berpengaruh. Tapi coba lihat, pasca pemilu berlalu suara itu tak lagi dianggap dan tak berpengaruh. Umat islam harus segera menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat berkuasa para pemimpin yang orientasinya bukan meriayah/mengurusi umat tapi demi jabatan dan materi.
Lantas, bagaimana seharusnya muslim menyikapi wacana ini? Ada 3 kemungkinan sikap seorang muslim. Pertama, Terjebak menjadi pihak yang ikut melibatkan diri membuktikan paslon mana bacaan Al Qurannya paling bagus. Kedua, muslim yang cuek dengan wacana ini. Dilakukan silahkan, tidak dilakukan juga silahkan. Ketiga, muslim yang cerdas dengan melihat hakikat seorang pemimpim dalam islam tidak cukup dengan bacaan Al Qurannya saja.
Bagi pihak yang pro dengan wacana ini, kemungkinan mereka berharap bacaan Al Quran yang lebih baik bisa menjamin kebaikan saat dia memimpin. Pertanyaannya adalah apakah baiknya bacaan seseorang menjamin dia menjadi pemimpin yang baik? Tentu tidak. Baiknya perbuatan sesorang di pengaruhi oleh pemikiran dan pemahaman terhadap sesuatu. Jadi, disibukan dengan wacana ini adalah keliru. Jika Al Quran tadi hanya di baca saja dengan irama yang merdu tanpa menjadikan isinya sebagai pemikiran dan pemahaman untuk diterapkan maka tidak akan merubah apapun. Kehidupan kita tetap akan sama. Tidak diatur oleh isi Al Quran (islam).
Bagi pihak yang cuek dan apatis, kemungkin mereka sudah mendekati putus asa. Siapapun pemimpinnya. Bacaannya bagus atau tidak toh tak akan berpengaruh pada kehidupannya. Hidup akan berjalan seperti biasaya. Hidup tetap akan sulit dan sempit. Jadi tidak ambil pusing dengan wacana ini.
Bagi pihak yang peduli dengan perubahan umat, ia akan berfikir serius dan cemerlang. Bicara tentang perubahan ia adalah kewajiban yang harus diupayakan dan kebutuhan agar hidup menjadi lebih baik. Berubah menjadi lebih baik ditegaskan oleh Allah SWT di dalam Al Quran. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.ar-Ra’d:11)
Perubahan ini harus ke arah islam. Karena kondisi kita saat ini sungguh dalam keterpurukan, ketidak sejahteraan dsb. Sehingga perubahan hakiki itu menjadi kebutuhan umat. Tak hanya bagi muslim tapi juga non muslim. Karena islam itu rahmat bagi seluruh alam. Seperti yang Allah SWT tegaskan dalam Al Quran. “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Intinya. Tidak cukup pada uji baca Al Quran tapi juga uji terhadap kepastian mampu menerapkan isi Al Quran. Bukankah Al Quran tak cukup hanya di baca? Tapi juga harus diterapkan. Ada banyak ancaman Allah terhadap kita jika kita meninggalkan penerapan isi Al Quran diantaranya :
“Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Kemudian dalam ayat lain, Allah ta’ala juga dengan tegas menyebutkan bahwa orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. Firman-Nya:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah :44)
Ayat di atas menjelaskan bahwa isi Al Quran tak cukup hanya di baca tapi harus diterpakan. Tidak ada pilihan bagi seorang muslim dalam penerapan syariat karena sesungguhnya ia adalah kewajiban yang kelak akan dihisab. Apa lagi bagi seorang pemimpin.
Jika ia memimpin manusia dengan hukum diluar isi Al Quran, alangkah beratnya penghisabannya di yaumil akhir kelak. Sehingga upaya yang bisa kita lakukan adalah melakukan penyadaran kepada umat bahwa seorang muslim dalam memilih pemimpin tidak hanya memastikan pemimpinnya muslim, bisa baca Al Quran tapi juga memastikan dia menerapkan isi Al Quran.
========================
Sumber Foto : Pikiran Rakyat