Oleh: Halida
8o juta viral!! Ya, angka 80 juta hingga kini masih viral. Terlebih ketika nominal tersebut digunakan untuk menimbang harga seorang perempuan. Sudah tentu dari sisi gendernya. Secara kodrati, tak kita pungkiri perempuan memang memiliki daya tarik di seluruh tubuhnya. Inilah yang tak jarang menjadikannya dihargai dengan sejumlah uang. Meskpun, hal itu dilakukan dengan strategi eksploitasi diri.
Boomingnya angka 80 juta telah memunculkan polemik beraroma liberal. Perempuan yang mampu membandroli dirinya seharga 80 juta untuk dinikmati dalam 2 jam dipandang mampu menaikkan harga dirinya. Dia diangggap lebih memiliki value dibanding perempuan biasa. Perempuan biasa yang dimaksud adalah perempuan yang dianggap terpenjara di ranah rumah tangga.
Perempuan tipe biasa ini dipandang mudah sekali untuk dimiliki. Dengan modal seperangkat alat sholat atau bahkan sekadar ucapan bismillah, perempuan “dirumahkan” bak dalam sangkar. Hanya dijatah uang belanja semampu suaminya, namun perempuan tersebut harus beraktivitas multitasking sejak membuka mata hingga seluruh anggota keluarga memejamkan mata.
Dalam kacamata liberal, inilah realitas ketakberdayaan perempuan. Hal tersebut dipandang tak berharga. Bahkan Dala kacamata liberal, perempuan di posisi seperti ini memiliki value yang lebih rendah. Liberalisme juga mendefinisikan bahwa semua yang dilakukan perempuan dalam keluarga nyaris tak memiliki “harga” dan bahkan sia-sia. Karena, perempuan tersebut tak mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah dari rutinitasnya dalam berkeluarga. Benarkah pandangan ini?
*Harga Rutinitas Perempuan dalam Keluarga*
Keluarga adalah miniatur masyarakat. Di sanalah cikal bakal sebuah generasi. Sepanjang sejarah keemasan Islam, sejak masa Nabi Saw., posisi keluarga selalu mendapatkan perhatian utama. Karena, melalui keluarga inilah kualitas generasi pemimpin masa depan dipertaruhkan.
Islam telah menyiapkan separangkat aturan yang sempurna dalam hal ini. Ada pembagian hukum dalam menjalankan bahtera keluarga. Allah Swt. telah menunjuk lelaki (suami) sebagai nahkodanya. Sebagai nahkoda tentu suami harus menjadi pemimpin sekaligus penanggung jawab (qowwam) dalam keluarga. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita…. (QN An Nisa 34)
Sebagai qowwam, suami harus memiliki visi yang jelas dalam membangun keluarganya. Visi yang tak dibangun berdasarkan nafsu syahwatnya. Tetapi, visi yang telah ditentukan oleh Tuhannya. Visi keluarga yang menjadi bentuk penghambaan kepada Penciptanya. Visi itu seperti yang tertuang dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.at-Tahrim:6)
Inilah visi setiap keluarga yang beriman kepada Allah Swt. Suami memiliki tugas utama untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari api neraka. Tentu saja, ini tugas yang sangat berat.
Sebagai pemimpin, suami juga bertanggung jawab atas penafkahan istri sekaligus anak-anaknya. Inilah yang mengharuskan suami untuk tidak memilih perempuan sembarangan sebagai istrinya. Karena, suami harus memastikan bahwa istrinya kelak mampu menjadi sekolah pertama dan utama bagi keturunannya. Hal ini tentu tak akan ditemukan pada perempuan yang di benaknya hanya materi dan materi. Perempuan yang telah terkontaminasi pemikirannya dengan liberalisme kapitalis dan hedonis tak akan mampu menjalankan peran istri sebagaimana yang tertera dalam QS At-Tahrim ayat 6. Perempuan yang memiliki kekuatan imanlah yang layak dipilih. Karena, dia akan mampu mengiringi suami menjaga keluarga sebagaimana yang diamanahkan Alquran. Rasul Saw. mewasiatkan kepada para lelaki untuk memilih istri bukan sekadar cantik, apalagi sekadar cinta.
“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim).
Perempuan beriman akan mampu membersamai suami menjalankan amanahnya sebagai istri. Dia akan selalu siap menanggung beban perintah Tuhannya. Tugas “al umm wa robbatul bayt” ( ibu dan pengatur rumah tangga) yang tertera dalam Quran dan Sunnah Nabi tidaklah dianggap sebagai sebuah beban. Apalagi, memandangnya sebagai tugas yang memenjara mereka dalam sangkar yang bernama rumah tangga. Karena itu, bagaimana Rasul Saw. bertitah dalam hal ini serta bagaimana para shohabiyat menjalankan ketaatan ini, itulah yang menjadi tuntunan mereka. Itulah ibrah (teladan) bagi mereka.
Seluruh waktu dan tenaga siap dia curahkan demi terjaganya keluarga dari api neraka. Sadar akan sifat fananya dunia, perempuan beriman akan mendekap keluarganya hingga ke surga. Dia hanya mau dibayar dengan sesuatu yang tak ternilai yakni Surga. Uang nafkah dari suami hanyalah rezeki yang akan dicukupkan untuk mengarungi kehidupan dunia yang tak abadi. Perempuan sholih seperti ini tak kan tergiur hanya dengan segebok uang, apalagi jika diperoleh dari cara yang haram. Demikianlah, hanya surga yang menjadi harga bagi rutinitas perempuan beriman dalam berkeluarga.
*Surga bagi Perempuan Berkeluarga*
Perempuan beriman senantiasa merindukan surga. Surga yang tak bisa dinominalkan dengan uang berapapun. Surga yang sangat luas tak berbatas adalah harapan masa depan setiap perempuan beriman.
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (TQS. Ali Imron 133).
Allah Swt. telah menjanjikan Surga dan ampunan bagi setiap perempuan yang tersibukkan oleh urusan rumah tangga. Segala hal yang melelahkan karena mengurus keluarga akan Allah balas dengan Surga dan ampunan dosa. Sebagaimana dalam nasihat Nabi Saw. kepada putri beliau, yang artinya:
“Fathimah wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti menetapkan pada setiap biji tepung itu kebaikan, menghapus kejelekannya, dan meningkatkan derajadnya. Fathimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan adalah keridhaan suami atas dirinya. Andaikan suamimu tak meridhaimu maka aku tak akan mendoakannya. Ketahuilah Fathimah, bahwa kemurkaan suami adalah kemurkaan Allah Swt. Fathimah, tidaklah wanita yang melayani suaminya sehari semalam dengan rasa suka dan penuh keikhlasan serta niat yang benar melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memakaikan kepadanya di Hari Kiamat dengan pakaian yang hijau gemerlap dan menetapkan baginya setiap rambut yang di tubuhnya seribu kebaikan. ”
Pada kesempatan yang berbeda, Rasul Saw. juga menasihatkan (yang artinya) :
“Fathimah, jika wanita mengandung anak di perutnya, malaikat pasti akan memohonkan ampunan baginya, dan Allah pasti akan menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapuskan seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit saat melahirkan, Allah akan menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah swt. Jika ia melahirkan bayi, maka keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya, dan tak akan keluar dari dunia dengan suatu dosa apapun. Di kuburnya ia akan ditempatkan di taman-taman surga. Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga Hari Kiamat ”
Ditambah lagi, kabar gembira dari Rasulullah ketika diprotes oleh kaum muslimah dengan Asma’ binti Yazid sebagai jubirnya. Asma mengatakan, ” Ya Rasulullah, aku mewakili kaumku intuk bertanya kepada engkau. Bukankah Allah mengutusmu untuk seluruh umat, baik laki-laki maupun wanita? Kami beriman kepadamu dan Tuhanmu, namun kami diperlakukan tidak sama dengan kaum laki-laki. Kami adalah golongan yang serba terbatas dan terkurung. Kerja kami hanyalah menunggu rumah kalian, memelihara dan mengandung anak kalian. Kami tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pahala sholat jumat, menengok orang sakit, merawat jenazah, berhaji (kecuali disertai mahram) dan amalan yang paling utama jihad fi sabilillah. Ketika kalian pergi berjihad, kami bertugas menjaga harta dan anak kalian, serta menjahit pakaian kalian. Apakah mungkin dengan itu kami memperoleh pahala dari amalan yang kalian lakukan?”
Rasulullah Saw takjub sekali mendengar pertanyaan Asma bin Yazid yang mewakili kaumnya. Tak disangka beliau Saw. memberikan kabar gembira dengan menyatakan, ” Asma’ pahami dan sampaikan kata-kata ini kepada kaummu. Pengabdianmu kepada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami-suami kalian (laki-laki)’.
Demikianlah balasan-balasan yang Allah Swt. siapkan bagi perempuan yang berkhidmad kepada keluarganya. Surga, pahala, ampunan, serta menghapus kejelekan-kejelekannya. Tentu ini semua tak sebanding dengan nominal 80 juta. Pada dasarnya, surga 80 juta hanyalah surga syahwat yang sangat fana, penuh keburukan dan berujung kerusakan dunia akhirat.
Wallahu a’lam.