Oleh Henyk Widaryanti (Dosen Swasta)
Janji adalah hutang. Untaian kata yang penuh makna. Bukan sekedar peribahasa. Janji ibarat seperti hutang yang wajib dibayar. Sebagaimana Allah berfirman dalam kitabnya
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.’ SQ. Al-Isra’: 34. ‘dan penuhilah janji Allah.’” (QS. Al-An’am: 152)
Sebagai seorang muslim, memenuhi janji adalah suatu kewajiban. Jika tidak, maka Al Qur’an menyebutnya sebagai munafik. Ini berlaku bagi siapa saja. Lantas bagaimana jika yang melakukan itu para birokrat?
//Tong kosong nyaring bunyinya//
Omong kosong tidak ada artinya. Bagaikan seorang sales yang menjajakan jualannya. Membesar – besarkan keistimewaan barangnya. Padahal hanya untuk memikat saja. Janji, janji, dan janji. Dari dulu hingga kini tidak terpenuhi. Sebut saja janji perumahan murah untuk para milenial, fasilitas jalan tol, dan lain sebagainya. Mereka menyatakan bahwa dengan adanya kemajuan infrastruktur akan mendongkrak roda ekonomi masyarakat (republika.com).
Lantas pertanyaan kecil terlintas “Rakyat yang mana?”.
Sudah menjadi rahasia umum meski perumahan untuk milenial itu murah, hanya para milenial berduit yang bisa mendapatkannya. Sebagaimana dengan fasilitas jalan tol, tidak semua masyarakat mampu membeli tiket masuk dan menikmati kenyamanan berkendara di atas infrastruktur itu. Mereka yang berkantong tebal bisa merasakan, selainnya hanya menjadi penonton setia. Bahkan dengan adanya fasilitas jalan tol, bukan meningkatkan pendapatan masyarakat, namun malah mengurangi omsetnya. Sebagaimana yang dituturkan oleh pemilik restoran (katadata.com).
Di sisi lain dengan adanya kemudahan akses transportasi berdampak adanya pertumbuhan industri di daerah sekitar memang benar. Namun industri tersebut bukanlah milik masyarakat setempat. Industri – industri yang berdiri milik para pemodal asing. Sedang rakyat hanya sebagai buruh di rumah sendiri.
Inilah bukti bahwa pertumbuhan ekonomi yang dimaksud tidak bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Hanya mereka yang bermodal besar yang menikmatinya. Rakyat semakin tidak terurus. Sedangkan para kapitalis semakin dielus.
//Akar permasalahan sesungguhnya //
Banyak orang menyatakan permasalahan yang terjadi saat ini karena individunya. Jika kualitas pemimpin itu baik, maka akan memperbaiki masalah yang ada. Namun kita sering kali lupa sebaik apapun seseorang, sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Ikan air tawar ataupun asin tidak akan mungkin bisa hidup selamanya di air keruh. Pemimpin yang amanah tidak mungkin diperoleh di sistem yang rusak. Di era milenial ini, demokrasi menjadi sebuah pilihan.
Tanpa disadari demokrasi telah berhasil menyihir rakyat untuk mempercayainya.
Kenyataannya sistem ini telah banyak melahirkan pemimpin – pemimpin yang tidak mampu memenuhi janjinya. Untuk menjadi orang nomor satu di sistem ini, diperlukan uang yang tidak sedikit. Jika berjuang sendirian dijamin tidak akan berhasil. Maka butuh penopang – penopang yang kuat untuk memenangkan posisi teratas. Penopang itu bukan rakyat jelata, tapi para kapital. Mereka yang memiliki segudang modal.
Tidak ada makan siang gratis. Para kapital akan mendukung mereka yang bisa memenuhi hajat menumpuk pundi – pundi uang melalui kebijakan. Hasilnya siapapun pemegang kebijakan akan mengikuti keinginan pemilik modal. Sebagai imbalan atas topangan yang telah diberikan di awal. Jelaslah sudah sistem yang dipakai saat ini tidak mampu melahirkan pemimpin amanah. Jika terus dipakai rakyat akan semakin terjerat.
//Islam memiliki solusi//
Sebagai agama yang sempurna. Islam memiliki standar dalam menyelesaikan masalah ini. Pemimpin bertugas sebagai raain (pelayan) dan junnah (perisai). Pemimpin bertugas melayani segala kebutuhan rakyat. Hingga memastikan tidak ada satupun rakyat yang belum terpenuhi kebutuhannya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Bin Khatthab. Demi melayani rakyat, beliau rela menghabiskan malam – malam diselimuti udara dingin. Beliau memastikan setiap rakyatnya terpenuhi kebutuhannya. Hingga ketika beliau mendapati keluarga yang kelaparan, beliau rela memikul gandum dan memasaknya sendiri untuk keluarga itu. Islam menjadikan pemimpin sebagai penggembala. “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Oleh karena itu Umar rela melayani rakyatnya karena yakin diminta pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.
Selain itu, pemimpin adalah perisai yang mampu melindungi rakyatnya. Ketika ada seorang muslimah yang dianiaya, maka Khalifah Al Mu’tasim Billah mengirim pasukan untuk menolong wanita tersebut. “Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [Hadis Riwayat Muslim, 9/376, no. 3428]
Begitulah Islam menjadikan pemimpin memenuhi amanah mereka. Bukan karena kekuasaan, suara atau harta yang ingin didapat. Tapi karena keimanan semata. Panggilan iman membuat para pemimpin Islam mengikuti segala perintah agama.