Oleh: Endang Setyowati
(Member Revowriter)
#MuslimahTimes –– Hampir setiap tahun, kita selalu disibukkan dengan pro-kontra impor bahan pangan. Mulai dari beras, bawang merah, gula, daging sapi, kedelai bahkan jagung.
Sebagaimana yang diberitakan di TEMPO.CO (10/01/2019), Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basr, mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan dua tahun belakangan ini.
“Menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di Dunia. Praktik rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan,” ujar Faisal Basri seperti dikutip dari cuitan di Twitter-nya @FaisalBasri , Selasa, 08/01/2019.
Melalui cuitannya itu, Faisal Basri juga mengunggah infografik berupa grafik batang berjudul “Principal Sugar Importing Countries in 2017/2018” yang bersumber dari Statista. Cuitan itu hingga kini menuai 334 komentar, disukai oleh 3.500 orang dan di-retweet hingga 3.100 kali.
Dari grafik batang itu terlihat sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton).
Volume gula yang diimpor Indonesia itu juga melampaui negara seperti Malaysia (2,02 juta), Nigeria (1,87 juta ton), Korea Selatan (1,73 juta ton), dan Arab Saudi (1,4 juta ton).
Tak hanya mengkritik soal volume impor, Faisal Basri juga mempersoalnya tingginya harga eceran gula di Indonesia selama Januari 2017 hingga November 2018. “Harga eceran gula di Indonesia 2,4 hingga 3,4 kali lebih mahal dari harga gula Dunia selama Januari 2017 sampai November 2018. Impor gula rafinasi membanjir. Pemburu rente meraup triliunan rupiah. Mengapa semua diam?” cuit Faisal, Senin 07/01/2019.
Disisi lain, sebuah paradoks begitu nyata terlihat. Ketika impor pangan begitu menggila, nyatanya pangan dalam negeri mengalami surplus luar biasa. Tercatat, Kementerian Pertanian (Kementan) berhasil mencapai target peningkatan produksi padi dan jagung yang dicanangkan pemerintah. Hal ini bisa terlihat dari data secara nasional sepanjang tahun 2018.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo Gatot Irianto meyampaikan, produksi padi tahun 2018 mencapai 83,04 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan 48,3 juta ton beras. Angka ini tercatat masih surplus dibandingkan dengan angka konsumsi sebesar 30,4 juta ton beras. Begitu juga dengan jagung, pada periode yang sama produksinya mencapai 30,05 juta ton Pipilang Kering (PK), sedangkan perhitungan kebutuhan sekitar 15,58 juta ton PK.
“Secara nasional selama setahun di 2018 bisa disimpulkan bahwa surplus padi dan jagung sudah bisa kita capai. Namun, tentu jika diturunkan datanya spesifik per daerah dan periode tertentu ada yang kekurangan, tapi bisa ditutupi dari daerah lain yang punya kelebihan produksi. Hal ini akan sangat terkait dengan masalah distribusi,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, iNews.id (12/01/2019).
Jelas sudah, kehadiran bahan pangan impor semakin menyulitkan petani untuk menjual hasil panennya. Miris, kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak serius soal urusan pangan. Padahal pada 2014 silam, Presiden RI pernah berjanji stop impor demi kesejahteraan rakyat. Namun faktanya? Sungguh, ini adalah kegagalan rezim yang nyata-nyata transparan di depan mata telanjang.
Gagalnya rezim ini dalam mewujudkan kedaulatan pangan bukan serta merta disebabkan oleh rezim itu semata. Lebih detail lagi, adalah karena rezim yang ada masih menggunakan sistem kapitalisme. Sistem yang memiliki paradigma batil Neoliberal untuk mengelola pangan dan pertanian.
Secara otomatis, paradigma ini telah meminimalisasi peran pemerintah dalam mengurusi hajat rakyat. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi.
Sementara pemenuhan hajat rakyat di serahkan ke pasar (Korporasi). Akibatnya korporasilah yang menguasai seluruh rantai pangan dari produksi hingga kepada para konsumen. Mengerikan!
Selain itu, kebijakan impor pangan ini sebagai bukti bahwa pemerintah tidak melindungi petani lokal dari terjangan impor pangan. Sehingga saat panen raya maka harga jadi murah yang mengakibatkan kerugian bagi para petani.
Pertanian sebagai salah satu pilar penting dari kemandirian pangan. Kadang bukannya dapat perhatian, tapi malah hanya jadi ajang pencitraan. Beraneka ragam bantuan, malah jauh dari sasaran. Apa gunanya bantuan alat-alat pertanian yang tujuannya untuk memacu laju pendapatan, jika saat hasil panen melimpah justru petani terbanting sadis? Bersaing dengan produk impor yang laku laris. Sadis!
Pada dasarnya Indonesia memiliki potensi produk pangan yang tersebar luas di setiap pelosok daerah dan bermacam-macam hasil pangan yang begitu luar biasa. Sayangnya untuk saat ini, para pemangku kebijakan di Indonesia masih salah kaprah dalam menanganinya.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan peradaban Islam yang pernah ada. Di dalam Islam, akan dijamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, penipuan maupun monopoli.
Hal ini bukan berangkat dari akal semata. melainkan bersumber dari wahyu-Nya. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,”
(QS. At-Taubah 9: 34).
Sedangkan untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang punya visi jelas. Pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis dan bukan hanya sebagai regulator. Serta dibutuhkan pula sistem ekonomi yang adil bukan ekonomi yang pro kapitalis.
Dan di dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Tentu saja, semua ini dapat terwujud ketika sistem Islam itu ada dan menjalankan syariah Islam secara kaffah. Karena sungguh, hanya dengan Islam kaffah saja petani kita bisa peroleh sejahtera. Sebagaimana yang pernah ada pada dahulu kala.
Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah: Profesi yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya. Sesungguhnya pertanian adalah profesi terbaik karena mencakup 3 hal. (1) pekerjaan yang dilakukan dengan tangan, (2) dalam pertanian terdapat tawakkal dan (3) Pertanian memberikan manfaat yang umum bagi manusia, binatang dan burung. Masya Allah, semoga kita semua segera merasakan keberkahan dari langit dan bumi dengan kembalinya apa yang telah dibisyarohkan Nabi Saw., “Khilafah ‘ala minhajjin nubuah”. Sehingga tidak akan ada lagi yang kelaparan. Tidak ada pula petani yang dililit kesengsaraan akibat impor pangan. Wallahu a’lam[]