Oleh :Ifa Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Â
#MuslimahTimes — Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia melalui Kementrian Kesehatan dan jajarannya pada tanggal 25 Januari melakukan peringatan Hari GIzi Nasional (HGN). Hari Gizi Nasional ke-59 tahun 2019 mengangkat sub-tema “Keluarga Sadar Gizi, Indonesia Sehat dan Produktif” dengan Slogan “Gizi Seimbang, Prestasi Gemilang”. Puncak peringatan HGN ke-59 dilaksanakan melalui workshop pada tanggal 25 Januari 2018 di Kementerian Kesehatan RI. Acara tersebut akan dihadiri oleh lintas program, lintas sektor, mitra pemerintahan, organisasi profesi, organisasi sosial kemasyarakatan, dunia usaha dan media massa, disertai dengan pameran gizi dan kesehatan, serta bazar sayur dan buah di lingkungan Kementerian Kesehatan.
Dari tahun ke tahun acara peringatan HGN dilaksanakan, namun jika dianalisa ternyata belum bisa menyentuh ke akar permasalahan yang ada. Peringatan HGN pun seolah menjadi sekedar seremonial saja, karena fakta di lapangan kasus gizi buruk masih menjadi permasalahan yang belum terselasaikan secara tuntas. Padahal permasalahan gizi buruk pada balita adalah permasalahan yang serius, karena hal ini bisa mengancam keberlangsungan generasi mendatang. Mengapa saya katakan sebagai permasalahan yang serius?
Kekurangan gizi yang terjadi pada masa janin dan anak usia dini akan berdampak pada perkembangan otak dan rendahnya kemampuan kognitif yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dan keberhasilan pendidikan. Selain itu, kurang gizi yang dialami pada awal kehidupan juga berdampak pada peningkatan risiko gangguan metabolik yang berujung pada kejadian penyakit tidak menular pada usia dewasa, seperti Diabetes type Il, Stroke, Penyakit Jantung dan lainnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada menurunnya produktivitas yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan di masyarakat. Karena itu peranan gizi terutama 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) sangat penting dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada tantangan berbagai permasalahan gizi, yaitu masih tingginya prevalensi stunting, underweight, wasting dan anemia pada ibu hamil serta semakin meningkatnya obesitas pada dewasa (Riskesdas, 2018).
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat ada 9 juta anak yang mengalami stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita. Kondisi ini disebabkan kekurangan asupan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari janin hingga anak 2 tahun. Kondisi ini lebih berisiko jika masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan. Data-data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Seperti disebut dalam laporan Riskesdas terakhir, ada 30,8% atau 7,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting, dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek.
Dampak gizi buruk, baik langsung maupun langsung, terhadap anak tingkat kognitif yang lemah dan psikomotorik terhambat. Sehingga mengakibatkan kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga. Kemungkinan untuk terserang penyakit juga lebih besar karena rendahnya daya tahan tubuh. Secara umum ini menjadikan generasi berkualitas rendah. Maka, bisa saya katakan bahwa jika permasalahan gizi buruk ini tetap dibiarkan, akan sangat mengancam keberlangsungan generasi kita dan ketahanan Negara ini. Maka sangat perlu diketahui akar permasalahan yang mendasar sehingga bisa kita temukan solusi yang bisa menuntaskan permasalahan ini.
Sebagaimana ditunjukan oleh data lembaga pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization), bahwa satu dari tiga anak Indonesia adalah pengidap kekurangan gizi akut (stunting) dan sekitar 20 juta jiwa terkategori rawan pangan. Diperkuat oleh data GHI-Global Hunger Index Indonesia yang dilansir lembaga International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa kelaparan di Indonesia selama dua tahun terakhir naik ke level serius. Sementara penurunan proporsi balita penderita stunting dan gizi buruk bergerak sangat lambat. Maka dari sini bisa kita amati bahwa ada anak-anak di Indonesia yang masih dalam kondisi kekurangan makan yang memprihatinkan, sehingga menyebabkan kondisi mereka dalam kondisi gizi yang buruk.
Padahal kalau kita amati, Indonesia memiliki sumber ketersediaan pangan yang mencukupi. Dari luasnya lahan pertanian menunjukkan bahan makanan pokok di Indonesia cukup memadai. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan masyarakat untuk membelinya sangat beragam. Ketika harga pangan dipatok dengan harga tinggi, maka dipastikan ada sekelompok masyarakat yang tidak mampu untuk membelinya. Faktanya, memang kondisi masyarakat Indonesia  mengalami ketimpangan perekonomian yang luar biasa. Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran. Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Menurut dia, hal ini menjadi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan.
Adanya data ketimpangan distribusi kekayaan termasuk ketersediaan makanan bagi penduduk Indonesia ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan kesejahteraan penduduk Indonesia yang dinilai dari pendapatan per kapita adalah data di atas kertas yang tidak menggambarkan kondisi sebenranya. Inilah fenomena kondisi masyarakat Indonesia yang hidup di bawah sistem kapitalisme. Meski dibilang Indonesia berdasar pancasila, nyatanya justru ideologi kapitalisme lah yang menjadi ruh kehidupan tata negara kita. Dan efek buruk kapitalisme ini sungguh nyata saat ini.
Dalam sistem kapitalis, harga dijadikan sebagai pengendali tunggal distribusi barang di tengah masyarakat. Hargalah yang akan menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi, dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu orang yang sama sekali tidak mampu menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak mendapatkannya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Salah satu dampaknya adalah ancaman gizi buruk bagi anak. Dan nyata saat ini gizi buruk susah dituntaskan, karena solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar permasalahan yang ada.
Sebagaimana, program yang dicanangkan pada peringatan HGN tahun inipun belum menyentuh substansi akar permasalahan dari gizi buruk itu sendiri. Kita lihat program yang diberikan adalah bagaimana mewujudkan Gizi seimbang untuk ibu dan balita dan bagaimana pengetahuan makanan apa yang sangat diperlukan untuk mereka. Hal ini memang perlu diberikan agar masyarakat faham. Namun, apalah arti pengetahuan ini jika sebagian mereka yang berada pada kondisi gizi buruk nyatanya adalahmereka yang kesulitan untuk mendapatkan makanan, dikarenakan kondisi perekonomian yang terpuruk?
Maka, permasalahan gizi buruk ini tidak bisa jika dikembalikan kepada keluarga dan masayarakat saja dengan memberikan kesadaran mereka akan pentingnya menjaga kecukupan gizi terutama pada 1000 hari pertama kehidupan, namun perlu ada upaya serius dari negara untuk menangani permasalahan ini. Akan tetapi, permasalahan ini justru dianggap beban bagi negara di era kapitalisme sebagaimana tercantum dalam proposal peringatan hari Gizi nasional tahun ini. Dalam proposal tersebut disebutkan, “Berbagai masalah gizi tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup generasi mendatang dan menjadi beban negara akibat besarnya nilai ekonomi yang harus dikeluarkan sebagai dampak masalah kesehatan yang ditimbulkan”.
Bukanlah hal yang aneh sebenarnya ketika negara menyerahkan urusan masyarakat justru kepada individu ketika sistem yang dipakaiadalah sistem kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pemerintah sebagai fasilatator saja terhadap segala permasalahan yang ada di masyarakat. Berbeda dengan islam, dimana negara memiliki kewajiban untuk bisa menjamin kebutuhan pokok masing-masing individu di dalam negaranya. Tidak boleh pengukuran kesejahteraan hanya dirata-rata saja dalam masyarakat. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan yang harus dijamin oleh negara. Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dalam Islam,  pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw. bersabda :“Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian hanya sistem Islam yang mampu memberikan pelayanan sebaik baiknya kepada rakyat, salah satu diantaranya memberikan asupan gizi yang cukup bagi rakyatnya. Karena itu semua merupakan tanggung jawab negara. Dalam sirah pun di ceritakan bagaimana seorang khalifah umar bin khatab setiap malam datang tidak pernah tidur nyeyak. Hal ini terjadi karena beliau khawatirjika masih ada anggota masyarakatnya kelaparan. Maka tidak heran khalifah umar sering melakukan sidak ke rumah-rumah penduduknya untuk melihat bagaimana kondisi rakyatnya. Dan ketika mengetahui ada salah satu keluarga yang belum makan, beliau pun rela memanggul sendiri bahan pokok untuk diantar ke keluaga tersebut. Sungguh luar biasa fenomena yang mungkin jarang dilakukan oleh pemimpin negeri ini. Bahkan seringnya ketika pemerintah turun ke jalan adalah sekedar ajang pencitraan, karena nyatanya rakyat tidak mendapat solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Bahkan pemerintah dalam bingkai kapitalisme lebih memihak kepada para pemilik modal dibanding berusaha menyejahterakan rakyat.
Oleh karena itu,  jika kita ingin menyelamatkan generasi dari bahaya gizi burukdan mendapatkan keberkahan hidup maka solusi yang sangat rasional adalah campakkan sistem kapitalisme dan  terapkan islam secara menyeluruh. Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).
Allahu A’lam Bi Showab.