Oleh Henyk Widaryanti
#MuslimahTimes –– Masalahnya bukan pada orang yang dikenai pajak terlalu sedikit, masalahnya adalah pemerintah menghabiskan terlalu banyak (Ronald Reagan).
Kalimat sederhana namun menusuk. Seakan berbicara bagaimana tatakelola rumah tangga suatu negara. Baru – baru ini tersebar suatu kabar bahwa para pegiat konten di dumay (dunia maya) akan dikenai pajak. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Oleh karena itu para Youtuber dan Selepgram pun akan dikenai pajak. Alasannya karena mereka juga mendapatkan penghasilan dari sana, 50 juta lebih bahkan ada yang ratusan juta.
Nasib yang sama akan dialami bagi pelapak dumay. Untuk mendaftar menjadi pelapak mereka harus menyertakan NPWP. Hal ini membuktikan bahwa setiap transaksi penjualan dan pembelian akan dikenai pajak. Besaran pajak yang dipungut pun bervariasi, mulai dari 0.5% – 10%. Tergantung pendapat para pelapak. Targetan ini diupayakan bulan april 2019 tercapai. Karena pemerintah ingin memenuhi anggaran untuk pendapatan Rp2.165.1 trilliun, dimana penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp.1,786,4 trilliun. (kompasiana.com)
Anggaran ini naik 20% dari sebelumnya dan dinilai cukup besar kenaikannya. Sehingga pemerintah perlu menggenjot pendapatan dari sektor pajak sebanyak – banyaknya. Jika hanya mengandalkan pendapatan dari SDA, tentu dirasa sangat kurang. Karena SDA hanya mampu menyumbang 275,4 triliun di tahun 2018, itupun masuk pada penerimaan bukan pajak. (kemenkeu.go.id)
//Katanya Merakyat, Tapi Pajak Meningkat//
Semakin terlihat bahwa pemerintah kini sedang kejar setoran. Berusaha melakukan apapun untuk memenuhi target pendapatan negara. Tidak hanya memperluas jaringan kena pajak, namun juga menaikkan tarif pajak. Setiap segmen hampir semua terkena pajak. Kini masyarakat taat pajak yang menjadi sasarannya. Padahal banyak juga orang – orang kelas atas memalsukan kekayaan agar luput dari tuntutan pajak.
Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi. Negeri seribu pulau, negeri surgawi. SDAnya melimpah, bahkan lautan ibarat kolam susu. Namun kekayaan SDA hanya mampu menyumbang 5% dari total pendapatan negeri ini. Padahal banyak tambang berdiri, banyak ikan di lautan, lahan pertanian masih cukup luas.
Beginilah jika hidup di era kapitalisme neoliberal. SDA hanya tinggal nama, kebanyakan telah berpindah tangan. Kini kekayaan itu dinikmati oleh asing. Rakyat hanya diiming – imingi. Atas nama investasi, semua dikirim keluar negeri. Bukan untuk rakyat sejati, namun demi dukungan menjadi politisi. Karena SDA tidak mampu diandalkan, maka pemerintah hanya memiliki satu jalan. Menggenjot pajak untuk mendobrak pendapatan.
//Pengelolaan Pendapatan Di Era Khilafah//
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam. Pengelolaan APBN didasarkan pada aturan Allah. Dalam khilafah, pendapatan biasa disebut dengan kas baitul mal. Pendapatannya tidak diambil dari pemungutan pajak. Bahkan negara meminimalisasi agar tidak menarik pajak. Adapun sumber utama kas baitul mal ada tiga.
Pertama, kekayaan individu, yakni berupa sedekah, hibah, zakat dsb. Kedua, kekayaan umum, seperti minyak bumi, tambang, gas alam, batu bara, hutan, laut dsb. Dan yang ketiga adalah kekayaan negara, seperti, jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur dsb. Masing – masing sumber tersebut akan dialokasikan untuk pengeluaran tertentu. Semua telah dibagi dengan jelas.
Khilafah menjadikan SDA sebagai kekayaan umum. Maknanya SDA adalah milik masyarakat. Sehingga pemanfaatan nya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mulai dari sandang, pangan, papan hingga fasilitas umum. Negara tidak berhak menjualnya kepada asing, ia hanya berhak mengelola. Agar dapat memenuhi semua kebutuhan rakyat, negara memaksimalkan pengelolaan SDA, dengan memunculkan pakar – pakar teknologi dan sekaligus menfasilitasi pembiayaan pengelolaannya. Sehingga pendapatan yang diperoleh bisa maksimal. Dari sini masihkah kita berharap pada ekonomi kapitalis neoliberalis?