Oleh: Fitriyani, S.Pd
(Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Masyarakat)
#MuslimahTimes –– Apa yang terlintas di benak tatkala mendengar kata “Indonesia”? Negeri khatulistiwa dengan penduduk mayoritas Muslim? Ramah? Kaya sumber daya? Baru-baru ini, agen perjalanan di Inggris, Lastminute.com, menuliskan bahwa Indonesia masuk dalam Negara Paling Santai di Dunia, atau Most Chilled Out Countries in The World (travel.tribunnews.com).
Indonesia masuk dalam daftar teratas jadi destinasi negara yang paling santai di dunia, mengalahkan Australia, Islandia, dan 12 negara lain di dunia (beritagar.id).
Hasil peringkat ini berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lastminute.com dan meninjau dari berbagai faktor. Mulai dari banyaknya cuti tahunan, faktor polusi suara, faktor cahaya (lingkungan), faktor Hak Asasi Manusia (HAM), budaya, dan banyak lokasi spa atau retreat lainnya. Laporan dari Lastminute.com ini kemudian membuat daftar 15 destinasi teratas sebagai negara paling santai di dunia. “Surga tropis Indonesia berada di posisi pertama, sebagian berkat spa dan pusat kebugarannya. Ada lebih dari 186 ruang hijau dan memiliki suhu rata-rata 25 derajat Celcius dan 54.716 mil dari garis pantai,” dikutip dari Lonely Planet.
Tentu kita patut bertanya, apa motif di balik pemberian gelar Indonesia sebagai negara paling santai? Santai biasa dimaknai dengan rileks, senggang, bebas, berleha-leha. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa penyematan gelar sebagai negara tersantai mengandung arti yang positif, termasuk ketersediaan sarana relaksasi, pariwisata yang memanjakan mata, dan ruang-ruang hijau. Lalu, apa selanjutnya?
Sebagaimana kita tahu, Indonesia, dengan penduduk mayoritas Muslim menjadi salah satu tumpuan harapan bagi kebangkitan Islam.
Untuk menuju ke sana, dibutuhkan upaya yang serius dan sungguh-sungguh. Kebangkitan dan perubahan minimal membutuhkan tiga hal; 1) menyadari bahwa kondisi saat ini belum ideal, 2) gambaran perubahan yang dicita-citakan, dan 3) usaha untuk merealisasikannya. Fakta bahwa umat masih mengalami problematika dan krisis multidimensi harusnya membuat umat tidak bisa bersantai-santai. Umat harus menyiapkan apa potensi terbaik yang bisa diupayakan untuk lepas dari segala keterpurukan.
Dengan adanya ‘pujian’ Indonesia adalah negara tersantai, seolah menggiring umat untuk menilai bahwa negeri ini sedang baik-baik saja, sehingga didorong untuk menyibukkan diri di sektor pariwisata, misalnya. Padahal, penggenjotan sektor pariwisata juga membawa dampak buruk yang tidak sedikit, seperti arus liberalisasi dan sekulerisasi yang makin deras.
Oleh karena itu, umat harus selalu waspada terhadap upaya yang memalingkannya dari agenda utama. Terus berjuang membangun kesadaran politik di tengah masyarakat, memaparkan buruknya pengurusan yang dilakukan para penguasa yang tidak berpegang pada Alquran dan As Sunnah, seraya meniti jalan untuk menegakkan institusi yang mampu membawa kerahmatan, kesejahteraan, keadilan, juga melawan upaya penjajahan. Wallahu a’lam bi ash shawab. []