Oleh Tari Ummu Hamzah.
#MuslimahTimes — Baru-baru ini banyak pejabat yang menyatakan jika tidak memilih paslon nomor urut satu, maka tidak boleh menggunakan jalan tol. Seperti yang diungkapkan oleh Walikota Semarang Hendrar Prihadi, yang mengajak masyarakat untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Hendrar bahkan meminta masyarakat tak menggunakan jalan tol bila tak mau mendukung pasangan nomor 01 itu. Hal tersebut disampaikan Hendrar saat menghadiri silaturahmi Jokowi dengan Paguyuban Pengusaha Jawa Tengah (PPJT di Semarang Town Square, Semarang, Sabtu (2/2). (CNN.com)
Hal ini ditanggapi miring oleh Sekretaris DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Jawa Tengah, Umar Hasyim, beliau mengatakan bahwa pernyataan Walikota Semarang Hendrar Prihadi yang meminta masyarakat untuk tidak menggunakan jalan tol jika tidak mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’aruf Amin adalah lucu dan berlebihan. Menurut Umar, pembangunan jalan bebas hambatan di Jawa Tengah sudah digagas sejak era Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto Minggu (3/2/2019). (Kompas.com)
Klaim terhadap pembangunan infrastruktur yang hanya digagas oleh pasangan paslon adalah sesuatu yang berlebihan. Bahkan bisa dikatakan sesat. Sebab infrastuktur yang dibangun oleh pemerintah juga hasil dari oenatiakn pajak oleh rakyat. Belum lagi ketika insfrastruktur tersebut telah selesai dikerjakan, contohnya jalan tol. Masyarakat masih harus membayar tol dengan biaya yang tidak sedikit. Sebab biaya masuk tol sangat dirasakan oleh perusahaan logistik maupun ekspedisi. Akhirnya beberapa perusahaan logistik mengalihkan rutenya ke jalan pantura, tidak melewati tol Trans Jawa.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham. Truk logistik yang dari Jakarta menuju Surabaya yang melewati tol Trans Jawa, harus mengeluarkan biaya untuk tol sebesar Rp 1,5 juta, jika ukuran truknya makin besar bisa mencapai Rp 2 juta (detikFinance.com), Senin (28/1/2019).
Inilah bukti jika pemerintah tidak memihak urusan rakyat. Hanya demi kepentingan segelintir elit politik dalam negeri, mereka mengklaim hasil yang rakyat yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, adalah hasil kerja mereka saja. Ini juga merupakan bukti bahwa jalan tol yang dibangun pemerintah sebagai praktik bisnis dengan rakyat, bukan pelayanan masyarakat. Memang benar jika pihak swasta lah yang menjadi kontraktornya, tapi bukan berarti harus masyarakat yang menutupi biaya konstrusinya dengan memasang tarif tol yang mahal. Pembiayaan itu menjadi tanggungan pemerintah.
Di samping itu, demokrasi telah menciptakan pelaku politik yang mementingkan pencitraan diri dan keberpihakkannya terhadap elit politik. Akibatnya mereka sering menyatakan pernyataan yang tidak memihak kepentingan rakyat.
Berbicara soal infrastruktur, tentu Khilafah telah berhasil mempersembahkan pelayanan masyarakat yang nyaman. Pada masa kekhilafahan, pemerintah bisa membangun infrastruktur dengan dana dari Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana dari masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah proyek pembangun rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul.
Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya. Hal yang sama juga bisa kita temukan pada proyek saluran air bersih di Jalur Armina (Arafah-Mina-Muzdalifah). Di sini bisa kita temukan Qanat Zubaidah (Jalur Air Zubaidah). Zubaidah adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dari Khilafah ‘Abbasiyyah. Bahkan, proyek ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah (Situ) dan ‘Ain Zubaidah (Mata Air Zubaidah)-nya. Proyek ini pun dibiayai oleh istri sang Khalifah.
Inilah beda antara sistem Islam dan sistem kufur. Di mana sistem Islam menciptakan infrastruktur yang memadai dan seratus persen dibiayai oleh pemerintah, yang bertujuan untuk kepentingan ummat, bukan untuk ajang berbisnis. Sehingga pembangunan infrastruktur tidak lagi harus memalak rakyatnya.