Oleh: Herlina
(Aktivis Muslimah)
#MuslimahTimes –– Indonesia sebagai negara maritim dan negara agraris sangat membutuhkan ketersediaan lahan basah yang dapat menggerakkan perekonomian. Lahan basah yang ada di Indonesia meliputi sungai, sawah, danau, rawa, dan laut. Dikutip dari Mongabay (2/2/2016), lahan basah yang dimiliki Indonesia cukup besar yakni sekitar 40 juta hektar atau 20% dari luas daratannya. Secara langsung dan tidak langsung, lahan basah berperan penting dalam berbagai hal khususnya pada sektor pertanian, perikanan, dan transportasi.
Di era modern sekarang ini, pembangunan kota yang semakin berkembang dengan dinamis dikhawatirkan akan menggeser keberadaan lahan basah. Menurut Global Wetland Outlook (dalam Trubus, 1/10/2018), dalam 45 tahun terakhir ini tercatat sekitar sepertiga lahan basah di Bumi telah hilang. Setelah tahun 2000, laju penurunan jumlah lahan basah di dunia terjadi secara signifikan. Penurunan tersebut salah satunya disebabkan karena meningkatnya populasi penduduk. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara manusia menggunakan lahan basah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.
Lahan basah yang kian menyusut dapat membawa kerusakan, di antaranya bencana banjir rob dan penurunan permukaan tanah yang akan semakin sering terjadi. Di samping itu, penyusutan lahan basah juga dapat mempersempit habitat asli satwa liar yang hidup di lahan basah seperti burung air.
Perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki hubungan kerja sama dengan negara asing dalam tingkat internasional. Misalnya ketika Indonesia ikut menandatangani Konvensi Ramsar pada 1991, beberapa situs lahan basah di Indonesia dilindungi oleh negara. Di antaranya yaitu Pulau Rambut, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Sembilang, Taman Nasional Danau Sentarum, Rawa Aopa Watumohae, Taman Nasional Wasur, dan Tanjung Puting (timesindonesia.com, 1/2/2019).
Konvensi Ramsar berisi perjanjian multilateral untuk melindungi lahan basah yang penting bagi dunia internasional. Konvensi tersebut menekankan pengelolaan lahan basah, termasuk satwa yang hidup di dalamnya (BeritaSatu, 5/11/2015).
Bergabungnya Indnesia pada konvensi tersebut jelas menunjukkan bahwa pemerintah berlepas tangan dalam hal pengelolaan lahan basah. Hal ini tentu menguntungkan pihak-pihak asing yang ingin memanfaatkan kekayaan alam di negeri kita secara mudah. Situs-situs yang dikelolanya dipilih karena dapat meningkatkan nilai ekonomi negara asing tersebut. Jika pengelolaannya diserahkan pada negara asing maka hasilnya pun akan dinikmati oleh pihak asing pula. Sedangkan di luar dari situs tersebut, masih banyak kawasan lahan basah di Indonesia yang luput dari perhatian.
Sebagaimana dilansir RRI.co.id (10/1/2019), bahwa ternyata petani lahan basah di Belu masih bergantung pada curah hujan yang rendah. Petani tidak dapat menanami sawahnya dengan segera karena ketiadaan air. Hal tersebut diperburuk dengan tidak berfungsinya sumber air irigasi yang disebabkan karena material lumpur tertumpuk dan mengendap dalam waktu yang lama sehingga belum bisa dikeruk.
Bila kondisi seperti itu terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan lahan pertanian akan mengalami kekeringan dan akhirnya terdegradasi. Menurut Dedi Nursyamsi‒Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian‒jika lahan sawah memasuki masa degradasi, maka produktivitas dapat menurun 50%-60%. Untuk memperbaiki perlu alih fungsi lahan menjadi perhutanan. (Republika.co.id, 4/12/2018).
Dampak yang terjadi di kemudian hari adalah meningkatnya angka pengangguran.
Sebagai suatu negeri yang kaya, sudah seharusnya Indonesia mandiri dalam hal pengelolaan sumber daya alam di negerinya sendiri. Dalam hal ini, pemerintah harus lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat. Pemerintah wajib membiayai seluruh keperluan yang dibutuhkan oleh petani, mulai dari perlengkapan hingga distribusi hasil panennya. Sawah yang merupakan lahan basah tak boleh diprivatisasi dan dimonopoli oleh pihak-pihak asing. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah, bahwa jangan sampai pembangunan yang tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan keberadaan lahan basah kian menyusut.
Dalam pandangan Islam, kekayaan alam di suatu negeri harus dikelola oleh negara, dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Salah satunya dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Said berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram”. Abu Said berkata, “Yang dimaksud adalah air yang mengalir”. Syeikh Al Albani di dalam kitabnya “Shahih at Taghrib wa at Taghrib” menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas adalah shahih.
Islam yang hadir ke tengah-tengah umat tidak hanya mengatur ibadah ritual kaum muslimin semata, namun juga mengatur seluruh aspek kehidupan yang akan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, suatu negeri akan dipenuhi oleh keberkahan dari Allah SWT hanya bila Islam diterapkan secara keseluruhan.
Wallahu alam bish shawwab