Oleh. Shafiyyah Fia
(Ketua Forum Tokoh dan Intelektual Muslimah Babel)
#MuslimahTimes — Keluarga memiliki peran yang sangat penting di dalam lingkungan, masyarakat dan Negara. Di Indonesia, pembangunan keluarga diamanatkan dalam UU N0.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar aman, tentram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Ketahanan Keluarga menjadi su-urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang diatur dalam UU no.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib untuk menyelenggarakannya.
Baru-baru ini, tepatnya 24 Januari 2019, DPRD Kota Pangkalpinang bersama Dinas Sosial PP dan PA Kota Pangkalpinang melakukan kunjungan kerja ke DPRD Kota Depok Provinsi Jabar. Kunjungan ini dalam rangka membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Ketahanan Keluarga. Ikut serta juga, Wakil Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Kota Pangkalpinang, Rio Setiady. Ia menuturkan bahwa Raperda ini adalah inisiatif dari DPRD Kota Pangkalpinang guna memberikan sebuah alternative solusi bagi maraknya kekerasan maupun kasus asusila terhadap anak dibawah umur. “Raperda ini, nantinya akan bersanding dengan Perda Perlindungan Anak dan Perda Kota Layak Anak” katanya (babelpos.co)
Pangkalpinang tidak sendiri, Kabupaten Bangka juga berusaha untuk merancang Perda Ketahanan Keluarga. Salah satu upaya penunjang yang mereka lakukan adalah berusaha menjadikan Bangka sebagai Kota Layak Anak. Masih di bulan yang sama, tepatnya 26 Januari 2019, Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bangka, Boy Yandra mengatakan “Bangka optimis mewujudkan KLA”. Kabupaten Bangka telah memiliki beberapa program dalam rangka mewujudkan KLA tersebut, dan sudah berjalan seperti Pengarus utamaan Pemenuhan Hak Anak (PUHA), Penguatan Kelembagaan, Perluasan Jangkauan, Membangun Jaringan, Pelembagaan dan Pembudayaan KLA, Promosi Komunikasi Informasi dan Edukasi (PKIE) serta melakukan Sertifikasi dan Apresiasi kepada sekolah ramah anak (klikbabel.com).
Pada tahun 2017 yang lalu tepatnya 13 Juli, ketika membuka pertemuan Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Keluarga di Toraja Utara Provinsi SulSel, Menteri PP dan PA, Yohana Yambise mengatakan bahwa ketahanan keluarga perlu ditingkatkan didalam pembangunan keluarga agar mampu menghadapi berbagai tantangan menuju terciptanya keluarga yang sejahtera dan tantangan era globalisasi. Untuk membangun sinergi berbagai bidang pembangunan dalam rangka mempercepat pelaksanaan UU No.52 tahun 2009, Kementerian PP dan PA telah menerbitkan PerMen PP dan PA No.06 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan Keluarga.
Apa yang menjadi kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya sangat penting untuk ditelaah sebab keluarga adalah yang paling terdampak atas kebijakan itu. Menjalani fungsi keluarga yang ideal berdasarkan peran masing-masing sangatlah sulit dalam kondisi hari ini. Kontruksi keluarga kian hari kian rapuh bahkan ketahanan keluarga Indonesia kian rentan akibat berbagai gempuran.
Kerapuhan keluarga terlihat dari berbagai indikator, seperti :
- Angka perceraian meroket. Berdasarkan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung periode 2014-2016 perceraian di Indonesia trennya meningkat. Dari 344.237 perceraian tahun 2014, naik menjadi 365.633 perceraian 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3% per tahunnya.
- Tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Catatan Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya 2106, yang mencatat 259.150 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini merambah semua kalangan, dari anak-anak hingga tua renta, laki-laki dan perempuan. Maraknya perbuatan seks menyimpang, Elgebete menghantui pemuda dan anak-anak, serta bebasnya pergaulan lawan jenis melanda pasangan yang sudah menikah.
- Lapangan kerja makin sulit. Hasil riset Tim Institute for Development Economics and Finance (INDEF), rata-rata tambahan penduduk bekerja selama 2015-2017 mencapai 2.127.221 jiwa pertahun. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2011 2.868.457 jiwa. Data tersebut mencerminkan penurunan signifikan ketersediaan lapangan kerja. Sehingga kepala rumah tangga “suami” mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi kaum laki-laki, menambah rentetan masalah dalam keluarga. Jika pendapatan seorang suami tidak mencukupi, tren yang berkembang memaksa perempuan meninggalkan rumah dan anak-anak untuk bekerja. Bukan hanya 1 atau 2 orang saja, tapi jutaan perempuan terjuan ke dunia kerja untuk ikut menopang kebutuhan keluarga. Satu pabrik industri biasanya memuat ratusan ribu perempuan didalamnya. Karena ibu tidak ada di rumah, anak-anak terampas hak kasih sayangnya. Pun ketika suami mendapati istrinya tidak di rumah, yang terjadi adalah konflik. Maka sudah tentu, kehancuran pernikahan bisa dimulai dari bertambahnya tanggung jawab perempuan diluar rumah dan ini juga hancurnya sebuah keluarga.
Isu ketahanan keluarga menjadi perhatian pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam(OKI) di Jeddah, Arab Saudi yang bertujuan untuk melakukan kaji ulang kebijakan, strategi dan tantangan dalam isu institusi keluarga dan pernikahan di Negara anggota OKI. Serta mengembangkan kebijakan dan rencana aksi untuk mempertahankan nilai dan norma pernikahan dan institusi pernikahan sebagai inti upaya pembangunan termasuk dalam pencapaian Sustainable Development Goal’s (SDGs). Ini harapan yang disampaikan Menteri Yohana dan menjadi motivasi bersama dalam melaksanakan pembangunan ketahanan keluarga Indonesia.
Sekilas, kalau kita perhatikan kebijakan Negara merupakan solutif yang dianggap mampu mengatasi kerapuhan keluarga. Tapi pada kenyataannya kebijakan Negara tersebut lahir dari ide-ide global yang berbenturan dengan ideologi Islam. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada masyarakat dunia adalah HAM, kebebasan dan kesetaraan gender. Mari kita coba kritisi beberapa program dan kebijakan tersebut :
- Program KLA melalui pengesahan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada Konvensi Hak Anak (KHA). Negara yang sudah meratifikasi KHA mempunyai konsekuensi untuk mensosialisi dan membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak. Negara harus membuat laporan periodik setiap 2 tahun setelah meratifikasi, selanjutnya setiap 5 tahun. Bahkan PBB membuat suatu badan khusus untuk memonitor pelaksanaan KHA di tiap Negara. Dengan demikian ratifikasi KHA merupakan cara untuk memaksa dan mengontrol Negara di dunia termasuk Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ditetapkan dunia global.
- RUU PKS, RUU ini muncul didasari tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Upaya menghentikan kekerasan seksual dengan mengusung kebebasan seksual ibarat mengaduk lumpur. Makin memperkeruh masalah, kekerasan seksual akan makin marak seiring kebebasan seksual makin digemakan.
- UU No.52 tahun 2009 pasal 1 ayat 11 dijelaskan pengertian ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Negara abai dari tanggung jawabnya dengan mereduksi fungsinya hanya sekedar pembuat regulasi dan bukan sebagai penanggung jawab penuh dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Negara berposisi sebagai tujjar (pebisnis) yang selalu berhitung untung rugi setiap melakukan proses pelayanan terhadap kebutuhan rakyatnya.
Terwujudnya keluarga ideal merupakan dambaan setiap orang. Siapapun akan berharap rumah tangga yang dibangunnya dipenuhi suasana tentram, saling cinta, berkasih sayang dan damai. Terlebih jika berbagai kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan di syurga dunia.
Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal dalam masyarakat yang sudah jauh dari nilai-nilai Islam seperti sekarang ini bukanlah perkara mudah. Padahal keluarga adalah cikal bakal peradaban, sebagai rumah tinggal dan tempat bernaung kaum perempuan dan generasi. Sebuah adagium menyebutkan bahwa kebangkitan peradaban itu berasal dari rumah, sehingga apa yang menjadi kebijakan Negara akan mempengaruhi isi rumah.
Umat harus menagih janji Presiden Joko Widodo yang menyatakan pembangunan fisik saja tidak cukup dan peran keluarga sangat penting. UU No.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Negara telah memberi definisi keluarga. Ketahanan keluarga ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar individu dan berfungsinya komponen keluarga. Namun kebijakan tersebut merupakan harapan semu jauh dari solusi yang solutif. Program-program pemerintah sangat kontradiktif dengan komitmen ketahanan keluarga.
Rezim Jokowi-JK telah sampai di ujung masa kekuasaannya dan upaya Negara untuk menyelesaikan masalah ekonomi, sosial-budaya, krisis keimanan dan moral, tidak menyentuh akar masalah.
Masalah ekonomi – ini yang menjadi problem utama yakni distribusi kekayaan alam Indonesia yang di perut bumi, daratan dan lautan, tidak diselesaikan. Pemerintah membiarkan penguasaan kekayaan tersebut pada konglomerat, mereka difasilitasi berdagang hajat publik terhadap rakyatnya sendiri. Akibatnya kesenjangan ekonomi semakin jauh, segelintir orang semakin kaya dan rakus, namun mayoritas miskin. Mestinya pemerintah mengambil alih semua pengaturan kekayaan tersebut, mengelola dan mendistribusikannya. Bukan membiarkan keluarga tertatih-tatih bahkan mengais-ngais rezeki untuk bertahan hidup.
Masalah sosial budaya – alih-alih melindungi generasi dari nilai liberal dan gaya hidup hedonis, pemerintah justru menfasilitasi para pebisnis untuk mengiklankan produk dan nilai yang kontra produktif dengan pembinaan kepribadian generasi. Berbagai eksploitasi perempuan dibiarkan. Dan cenderung tidak berani menyelesaikan berbagai kasus penyimpangan seksual. Pemerintah hanya bisa menghimbau keluarga untuk menjaga sendiri anak-anak mereka. Padahal keluarga ini sudah ditimpa berbagai masalah akibat problem sistemik dan politik, ketiban lagi beban mesti menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kebijakan dan program penyelesaian masalah keluarga ini hanya mengobati syndrome saja, tapi tidak mengobati pangkal penyakit yakni kerusakan hukum sekuler liberal. Rezim telah gagal menjalankan fungsi hakikinya sebagai penanggung jawab utama kelangsungan hidup keluarga yang menjadi rakyatnya.
Dikatakan gagal, karena sejatinya, negaralah yang wajib menyelenggarakan perekonomian dan memfasilitasi seluruh kepala keluarga untuk menafkahi keluarga dengan ma’ruf. Tetapi Negara hari ini, tidak menjamin seluruh kepala keluarga mampu melakukan hal tersebut. Dan membiarkan mereka bebas berusaha di medan persaingan yang tidak adil. Negara juga mestinya menjaga iklim sosial budaya yang tidak membebaskan pergaulan antar lawan jenis.
Negara ini gagal, karena telah meninggalkan fungsi utamanya sebagai raa’in (pengatur langsung seluruh kepentingan rakyat) dan junnah (pelindung dan penjaga rakyatnya) dari berbagai keburukan.
Satu-satunya solusi adalah menciptakan masyarakat dan Negara yang diatur oleh tatanan syari’ah islam. Dalam Islam, keutuhan keluarga menjadi perhatian utama, bahkan menjadi tanggung jawab Negara. Tidak ada sistem dan aturan yang selengkap dan sesempurna Islam, sangat rinci mengatur urusan keluarga, mulai dari performa suami-istri, komitmen mereka dalam menjalankan kewajiban dan memenuhi hak pasangan, visi misi mendidik keturunan dan sebagainya. Termasuk merinci tanggung jawab masyarakat dalam memenuhi dan mendukung fungsi keluarga dan sebagai anggota masyarakat. Bahwa wajib ada kepedulian terhadap problem sesama, entah problem ekonomi, pergaulan, adab dan sebagainya. Dan Islam mengamanahkan Negara untuk menjalankan hukum-hukum yang terkait dengan penjagaan dan perlindungan keluarga berikut tugas dan fungsinya.
Sebab itu, kita wajib menyadarkan pemimpin dan masyarakat bahwa berbagai masalah yang menimpa keluarga dan bangsa ini karena tidak digunakannya syari’ah Allah sebagai solusi. Dan mewujudkan masyarakat Islam ini menjadi kewajiaban umat Muslim semua. Wallahu a’lam