Penulis: Punky Purboyowati S. S
(Anggota Komunitas El Mahira Jombang)
MuslimahTimes— Kasus sindiran bagi penista agama kembali mengemuka di media sosial. Dalam akun twitter Ahmad Dhani ia menuliskan, “Yg menistakan Agama si Ahok… yg di adili KH Ma’ruf Amin”…ADP. Karena tulisannya itu ia dilaporkan dan dijerat pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE dan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (m.tribunnews.com/28/1/2019). Kasus serupa dialami sebelumnya oleh Buni Yani. ia mengunggah video pidato Ahok dan memotong durasi video serta menambahkan caption ‘PENISTAAN TERHADAP AGAMA?’ tanpa ijin Pemprov DKI Jakarta. (bbc.com/13/1/2017). Namun sebenarnya letak permasalahannya bukanlah pada ujaran kebencian atau pencemaran nama baik, tetapi lebih kepada sikap penguasa yang anti kritik demi mempertahankan hukum demokrasi sekuler agar dapat melanggengkan kekuasaannya.
Kebebasan berpendapat adalah hak semua warga negara. Itulah paham yang ada dalam sistem demokrasi. Namun kebebasan berpendapat faktanya tidak bisa memberikan keadilan hukum yang berarti. Sebab, payung hukum lebih berpihak kepada kepentingan penguasa, sedangkan rakyat harus tunduk tanpa bisa melawan sekalipun menempuh jalur hukum.
Cuitan Ahmad Dhani dan yang serupa adalah bukti sikap kepedulian mereka terhadap penguasa negeri ini. Namun sayangnya standar baku penguasa dalam menyikapi kepedulian rakyatnya sangat tidak bijak. Mengapa disaat rakyat berkeluh kesah terhadap situasi negeri ini dan penguasa yang lebih memihak asing daripada rakyatnya, dianggap telah membuat kebencian dan pencemaran nama baik hingga menyeret mereka ke pengadilan? Tidak peduli atas kata-kata kritik kepedulian, negara membungkam rakyat dengan UU ITE-nya dan membuatnya jera.
Ini menunjukkan betapa dzalimnya penguasa menindak seseorang yang sedang menjunjung tinggi kebenaran dan melawan ketidakadilan. Seperti tatkala ada ormas Islam yang lantang menyuarakan kedzaliman penguasa, rezim ini sigap mengeluarkan perpu ormas demi membungkam kritik terhadapnya. Sedangkan kelompok lain yang telah nyata bersikap intoleran, membiarkan aset negara dijual, membuat kegaduhan dengan persekusi dan kriminalisasi ulama dibiarkan bebas berlenggang hanya sebab modal jargon “NKRI harga mati.” Ironis!
Demikianlah fakta yang ada. Selama sistem pemerintahan masih berasas pada Demokrasi Sekuler maka keadilan pasti memihak hanya kepada seseorang/kelompok tertentu saja. Pastinya kepada mereka yang sejalan dengan kepentingan para penguasa. Wajar bila kemudian terjadi diskriminasi. Dari sini maka jelas, tidak ada harapan dari penguasa saat ini untuk menjadi pelayan rakyat dan mengurusi rakyatnya dengan keadilan yang setara.
Hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan seorang penguasa sebagai pelayan umat. Dalam hal kepemimpinan, Islam ditegakkan semata-mata untuk mengurusi umat. Oleh karena tidak mudah dalam mengurusi umat, maka perlu adanya muhasabah atau kritik terhadap penguasa dari rakyatnya ketika penguasa berbuat dzalim. Karena tidak dipungkiri, manusia tidak lepas dari kesalahan sekalipun telah menerapkan hukum Islam secara kaffah.
Manakala muhasabah dijadikan kunci utama perbaikan diri penguasa, niscaya tidak akan terjadi kedzaliman di negaranya sendiri. Penguasa akan mencintai rakyatnya dan sebaliknya rakyat akan mencintainya. Tidakkah kita merindukan hal semisal ini?
Semoga, negeri ini dapat segera berbenah untuk dapat menerima muhasabah dari rakyatnya. Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim sudah sepatutnya menjadikan muhasabah atau kritik kepada penguasa sebagai keharusan. Demi terwujudnya perbaikan negeri agar sesuai dengan tuntunan Syariat Islam. Meraih keridaan Allah Swt. untuk mendapatkan kehidupan yang penuh keamanan di dunia dan meringankan beban siksa di akhirat.
Wallahu a’lam[]