Oleh. Bunda Emma
(Pemerhati Sosial, Surabaya)
#MuslimahTimes — Viral! Beredar video singkat acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah pada Jumat, 1 Februari 2019. Dalam video tersebut, seorang ulama yakni Kiai Maimun Zubair membacakan doa penutup pada akhir acara. Ulama yang akrab disapa Mbah Moen itu duduk di sebelah Jokowi dan membacakan doa yang di dalamnya menyebut nama calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto.
Bagaimana tidak viral, acara yang diselenggarakan oleh kubu paslon presiden nomer urut 01, yang duduk disebelahnya, tapi yang disebut dalam doa justru paslon presiden nomer urut 2. Alih-alih memaafkan kehilafan sang guru, sang santri justru meminta doa direvisi.
Ulama Dalam jerat Demokrasi
Begitulah drama yang akan terus mewarnai dalam sistem demokrasi. Belakangan, fenomena ulama menjadi politisi atau aktif dalam politik praktis seolah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah. Bahkan, ada kecenderungan sangat kuat dalam sistem demokrasi yang melibatka langsung warga, ulama digunakan sebagai legitimasi dukungan.
Tidak ada yang salah sejatinya jika ulama terjun dalam kekuasaan. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa agama dan kekuasaan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Maka semestinya antara kekuasaan dan urusan agama tidak terpisahkan, termasuk didalamnya ulama.
Hanya saja, dalam sistem demokrasi yang ada justru mengerdilkan peran ulama. Ulama hanya dijadikan sebagai simbol atau figur yang akan meraup banyak dukungan suara. Sementara ulama tidak terlibat dalam menyelesaikan masalah ummat dengan syariah islam.
Terlebih lagi saat ini, sistem yang diterapkan bukan hanya menyimpang, bahkan telah keluar dari jalan Islam. Demokrasi yang menjadikan kekuasaan membuat aturan di tangan manusia, jelas bertentangan dengan perintah Allah untuk hanya berhukum dengan hukum-Nya. Seorang ulama seharusnya menentang sistem ini dan berdakwah untuk mengembalikan sistem Islam. Bukan malah menerima jabatan dan melegitimasi kerusakan sistem dengan fatwa-fatwanya.
Teladan ulama salaf
Ketika Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi berkuasa di Iraq, ia bertindak sewenang-wenang dan zalim. Hasan al Bashri adalah termasuk sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.
Suatu ketika Hajjaj membangun istana yg megah dikota Wasith. Ketika pembangunan selesai diundanglah orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak manusia mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halaman yang luas. Beliau berdiri dan berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah, “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun membangun istana yang lebih besar dan lebih megah dari ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya.”
Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang yang mengkhawatirkan keselamatannya memintanya berhenti, “Cukup wahai Abu Sa’id, cukup….”. Namun Hasan al Bashri berkata, ” Wahai saudaraku, Allah telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tidak boleh menyembunyikannya.”
Hajjaj yang marah memerintahkan pengawalnya utk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al Bashri. Dibawalah Hasan al Bashri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al Bashri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang Muslim dan kehormatan seorang dai di jalan Allah.
Melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al Bashri, dia justru memperlakukannya dengan ramah dan membiarkan pergi dengan aman.
Mengembalikan Kemulian Ulama
Di dalam Islam, sudah sangat jelas ulama memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah mengabarkan bahwa ulama adalah hamba yang paling takut kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
Nabi Muhammad saw. bersabda: “Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.”(HR. Ibnu Hibban).
Karena kedudukan ulama di dalam Islam ini sungguh mulia, maka sudah selayaknya jika para ulama menjaga agar kedudukan mereka tidak tergeser. Yakni dengan mengembalikan peran ulama dalam politik yang seharusnya. Jangan sampai, para ulama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Justru ulama yang semestinya berada digarda terdepan dalam menggaungkan kembalinya kehidupan sesuai dengan Islam dalam naungan khilafah.