Oleh : Nay Beiskara
(Revowriter Jatinangor)
.
#MuslimahTimes — “Kemarin ada seorang presiden petahana di sebuah negara antah berantah, datang ke sebuah pesantren antah berantah. Kemudian bapak kiai yang sudah sepuh itu diminta memohon doa, sengaja oleh malaikat dimasukkan ke lisan kiai yang sangat alim tadi, ternyata menyebut nama lain. Ini pertanda dari langit insyaallah.” (Dewan Kehormatan PAN Amien Rais)
***
Pernyataan di atas merupakan salah satu reaksi atas revisi doa Mbah Moen yang menuai polemik. Pasalnya, Pengasuh Ponpes Al Anwar ini salah mengucap nama saat berdoa (Detik.com, 03/02/2019). Pihak pro Petahana menyangkal bahwa doa yang dipanjatkan kyai kharismatik itu ditujukan untuk Prabowo. Masduki Baidlowi (Ketua Bidang Infokom MUI) menyatakan, salah sebut nama oleh Mbah Moen sebagai sabqul lisan atau terselip lidah. Mbah Moen sendiri pun telah mengklarifikasi dengan menyebut dirinya sudah sepuh. Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi, Hasto Kristiyanto menilai bahwa doa Mbah Moen adalah bentuk perhatian orangtua terhadap anaknya, terlebih sebagai calon pemimpin (sindonews.com, 03/02/2019). Jelaslah bahwa mereka hendak menyatakan Mbah Moen berada di sisi Petahana.
Lain halnya dengan kubu oposisi. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Miftah Nur Sabri menilai kubu Jokowi panik hingga Ketum PPP Romahurmuziy membuat video klarifikasi soal Ketua Majelis PPP, Maimoen Zubair soal dukungannya dalam Pilpres (Merdeka.com, 02/02/2019). Mereka pun menyatakan bahwa ini adalah isyarat atau pertanda (Detik.com, 03/02/2019).
Terlepas dari sangkalan kedua kubu, di sini masyarakat dapat melihat jelas bahwa doa seorang ulama sepuh tengah menjadi rebutan. Bukan hanya doanya, tetapi juga suara politiknya. Dunia perpolitikan negeri zamrud ini kian memanas saja mendekati pilpres 2019. Baik kubu petahana maupun oposisi semakin rajin untuk soan ke banyak pesantren di seantero Indonesia. Terutama pesantren yang diasuh oleh ulama-ulama yang memang memiliki basis pengikut yang banyak. Hal itu mereka lakukan agar ulama-ulama itu mau mendukung dengan memberikan suaranya di pilpres mendatang.
/Suara Ulama Diperhitungkan/
Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota dalam dewan legislatif dan yudikatif dipilih berdasarkan suara mayoritas ini. Begitu pula pemilihan penguasa, baik langsung maupun tidak, ditetapkan oleh suara yang sama, yakni suara mayoritas rakyat. Menurut demokrasi, suara mayoritas adalah tolok ukur hakiki dari ungkapan kehendak rakyat. Ini pula yang menjadi ciri khas demokrasi.
Maka wajar, bila para calon penguasa melakukan berbagai cara agar bisa mendongkrak perolehan suaranya. Dan suara ulama merupakan salah satu sumbernya. Sebab itulah, suara ulama sangat diperhitungkan. Tujuannya tidak lain untuk meraih sebanyak-banyaknya suara. Apalagi telah diketahui bersama, bila berhasil meraih dukungan dari ulama, maka umat yang ada di belakangnya pun akan turut mendukung.
Sayangnya, suara ulama hari ini menjadi rebutan menjelang pemilu saja. Sedangkan, di waktu lain, bila tak ada kepentingan, maka suara ulama tak lagi didengar. Bahkan, cenderung diabaikan. Lebih parah lagi, ulama-ulama yang menyuarakan kebenaran, mengkritik dan memuhasabahi penguasa karena kezhalimannya malah dikriminalisasi dan dipenjarakan. Di satu sisi, ulama yang pro dimuliakan. Di sisi lain, ulama yang vokal mengoreksi dihinakan.
/Peran Ulama : Mengawal Kebangkitan/
Ulama berperan penting dan utama dalam mengawal kebangkitan Islam. Bukan hanya bertugas menyiapkan umat menyongsongnya, tetapi juga memuhasabahi pemerintah untuk kembali taat kepada Allah Ta’ala dengan menerapkan syariat-Nya. Namun hari ini, peranan itu dipangkas menjadi sekadar pendulang suara.
Ulama merupakan warasatul ‘anbiya (pewaris para Nabi). Di genggamannyalah tonggak kebangkitan Islam. Allah Ta’ala telah menyebut dalam Alquran, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 28).
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Tamimi, dari seorang lelaki yang telah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam, yaitu ulama yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah; ulama yang mengetahui tentang Allah, tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah; dan ulama yang mengetahui tentang perintah Allah, tetapi tidak mengetahui tentang Allah.
Ibnu Lahi’ah telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang yang mengetahui tentang Allah Yang Maha Pemurah dari kalangan hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, serta berpegang teguh kepada perintah-Nya, dan meyakini bahwa dia pasti akan bersua dengan-Nya dan Dia akan menghisab amal perbuatannya.
Ulama seperti inilah yang benar-benar takut kepada Allah SWT. Bagi mereka, penegakkan syariah sebagai hukum Allah bukanlah hal yang dapat ditawar lagi. Oleh karenanya, penting untuk mengembalikan peranan ulama sebagai pengawal kebangkitan. Merekalah yang kan menyiapkan umat untuk menerapkan syariat. Mereka yang kan memuhasabahi penguasa agar menghentikan tindakan zhalimnya. Mereka pula yang berada di garda terdepan untuk menyongsong kebangkitan Islam. Inilah sejatinya peran ulama, yakni sebagai pelopor sekaligus promotor kebangkitan.
Wallahua’lam bishshowwab.