Oleh: Emma LF
aktivis ForMind (Forum Muslimah Indonesia)
#MuslimahTimes — Pada tahun ini perhelatan akbar akan digelar. Rakyat Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara serentak untuk pertama kali. Namun sayang, pemilu masih menjadi ajang politik transaksional. “Lu jual gue beli”, begitu yang terjadi. Terjadi tukar-menukar barang atau jasa di antara para politisi dengan konstituen yang diwakili atau dengan partai politik. Menurut pelaku politik transaksional, tentu ini hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Padahal politik transaksional justru mencederai hakikat demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak? Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat justru menjadi ajang jual beli kursi kekuasaan dan berkutat pada penguasa dan pengusaha, an sich.
Politik transaksional muncul akibat dari mahalnya biaya pemilu atau biasa kita sebut “mahar politik”. Mahar politik yang high cost ini cenderung mendorong orang-orang yang telah menduduki kursi yang didapatkan melalui pemilu ingin mengembalikan ‘modal’ uang yang telah digelontorkan habis-habisan. Tingginya biaya politik inilah yang bisa memantik terjadinya skandal mega korupsi yang berulang terus di negeri ini, meskipun gonta-ganti presiden.
Mahar politik sebenarnya sudah tegas dilarang di negeri ini seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan adanya tiga bentuk sanksi bagi pelanggarnya. Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Kedua, terhadap pelaku yang terbukti membayar mahar politik maka KPU dapat membatalkan penetapan dirinya sebagai calon kepala daerah. Ketiga, partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda sepuluh kali lipat dari nilai yang diterima.
Selain pada persoalan pemilihan kepala daerah, mahar politik juga dilarang pada pemilihan presiden. Pada Pasal 228 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum dijelaskan bahwa partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Jika partai politik terbukti menerima imbalan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya. Meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang tegas sebagaimana tersebut diatas, kenapa pelanggaran terus bisa terjadi?
Demokrasi meniscayakan terjadinya politik transaksional. Jargon “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” mengandung unsur sekularisme yang menafikan adanya Tuhan. Tuhan ‘ditempatkan’ hanya di tempat-tempat ibadah sedangkan urusan negara dan pemerintahan menjadi urusan akal manusia yang tidak lagi memikirkan halal-haram. Yang menjadi ‘raja’ adalah uang dan kapital. Saling sikut antarpolitisi dan atau antarpartai politik sudah biasa terjadi. Negara menjadi seperti sepetak tanah yang siap di kavling-kavling dan nantinya menjadi milik penguasa dan pemilik modal (kapital). Rakyat cuma bisa gigit jari. Dampaknya? Rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah.
Demokrasi menimbulkan ketimpangan ekonomi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hasil penelitian Oxfam dan Infid (International NGO Forum on Indonesia Development) beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Indonesia menempati berpredikat negara terburuk ke enam dunia. Hal ini karena kesenjangan ekonomi yang semakin menganga terjadi di negeri ini. Laporan tersebut mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Sedangkan laporan lembaga keuangan Credit Suisse 2016 menyampaikan bahwa 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3% kekayaan Nasional dan 10% penduduk terkaya menguasai 75,7% kekayaan Nasional. Berbanding lurus dengan hal tersebut, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per April 2017 menyebutkan, sekitar 57,6% total simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh sekitar 0,12% masyarakat terkaya Indonesia (aceh.tribunnews.com, 10/08/2017).
Survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pemetaan kondisi, problem dan kinerja institusi demokrasi dalam bidang politik, para ahli menyatakan ada beberapa problem yang berpotensi muncul pada Pemilu Serentak 2019 nanti, antara lain: politik uang (89%), sengketa hasil pemilu (76,6%), ketidaknetralan birokrasi (66,2%), tidak menggunakan hak suara alias golput (53,1%), intimidasi dalam pemilu (46,2%), dan penggunaan kekerasan dalam pemilu (32,4%) (lipi.go.id). Besarnya angka golput di atas (53,1%) menunjukkan bahwa politik demokrasi menyisakan kekecewaan pada rakyat. Rakyat cenderung tidak lagi mempercayai para politisi karena siapapun pemimpinnya maka keadaannya tidak berubah menjadi lebih baik. Rakyat merasa hanya dipakai sebagai pendulang suara dan dilupakan begitu saja. Inilah yang disebut sebagai social inertia.
Demokrasi adalah ideologi transnasional, turunan dari ideologi sekular kapitalisme. Sebagaimana kita ketahui, demokrasi berasal dari Yunani dan kemudian dipakai oleh Amerika untuk melanggengkan hegemoninya atas negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Dengan konsep asalnya yang sekular itu, demokrasi anti Tuhan. Kebenaran demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak sehingga kebenaran menjadi relatif. Maka wajar saja jika kemudian ambisi-ambisi untuk meraih kekuasaan negara dilakukan dengan menghalalkan segala cara tanpa menghiraukan aturan agama. Social inertia semakin akut dan diperparah dengan tidak adanya pendidikan politik (siyasah) yang benar (sahih) di tengah-tengah masyarakat. Lalu masihkah kita berharap pada demokrasi? []