Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku)
#MuslimahTimes — Seseorang dihadapkan pada dua pilihan makanan yang bisa disantapnya: mie Ayam atau spageti. Namun keduanya tidak ia sukai karena tidak sesuai dengan seleranya saat itu. Akhirnya ia memilih pilihan lain dari dua pilihan yang ada, yakni nasi padang.
Begitulah hakikatnya memilih. Ada kalanya kita perlu melihat hal lain di luar pilihan yang sudah tersaji, karena mungkin saja ada pilihan lain yang lebih baik dari yang kita harapkan.
Seperti halnya memilih pemimpin. Jika ada dua orang pemimpin namun secara nyata keduanya tidak memenuhi kualifikasi sebagai calon pemimpin yang digariskan syariat, lantas tidak perlu memaksakan sebuah pilihan. Memakai asas ‘daripada’. Hingga akhirnya memilih yang dirasa lebih kecil mudharatnya. Sungguh hal tersebut adalah sebuah kekeliruan berpikir.
Seorang muslim semestinya mampu berpikir benar, sesuai dengan syariat Islam saja. Apalagi dalam soal memilih pemimpin. Tidak boleh asal pilih. Sebab hakikatnya memilih pemimpin berarti juga menentukan masa depan kita, masa depan bangsa, masa depan peradaban. Bahkan masa depan akhirat kita. Ya, jika kita salah dalam memilih pemimpin, tentu akan ada pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak atas apa yang telah kita pilih. Misalnya, kita memilih pemimpin yang telah nyata kezalimannya. Atau kita memilih pemimpin yang tidak menerapkan syariat Islam.
Pakailah standar hukum syara dalam memilih. Bukan sekadar perasaan dan akal semata, apalagi pakai konsep ‘daripada’.
Meski pun dianggap kecil mudharatnya, tapi jika faktanya dia tidak menerapkan syariat Islam. Untuk apa? Sedangkan hakikatnya pempimpin adalah wakil umat untuk menerapkan hukum syara dalam seluruh lini kehidupan.
Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya.”
Sedangkan Imam Al-Kamal Bin Hammad Al-Hanafi berkata, “Tujuan pertama dalam penegakkan imamah (kepemimpinan) adalah untuk menegakkan agama. Maksudnya adalah menegakkan syi’ar-syi’ar agama sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, yaitu dengan memurnikan segala ketaatan kepada Allah, menghidupkan sunnah-sunnah, dan menghilangkan bid’ah agar seluruh manusia bisa sepenuhnya menaati Allah Ta’ala.” (Al-Musamarah Syarh Al-Musayarah, hal. 153)
Jadi memilih pemimpin bukan sekadar menempatkan seseorang di tampuk kekuasaan, tapi mengamahkan sebuah perwakilan di pundaknya untuk menegakkan agama.
Jika masih ada yang menggunakan dalil “mengambil yang lebih sedikit mudharatnya” dalam memilih, sungguh hal itu juga tak dapat dibenarkan. Karena sejatinya kaidah memilih yang lebih sedikit mudharatnya hanya berlaku pada hal-hal khusus saja. Misalnya sesuatu yang apabila kita tidak memilih sama sekali, maka dapat berujung pada terancamnya jiwa, bahkan hilangnya nyawa. Misalnya ketika kita tersesat di hutan dan kita kelaparan lantas hanya ada babi hutan yang dapat dimakan, maka memakan babi hutan adalah pilihan yang dibenarkan syariat untuk menolak kemudorotan yang lebih besar, yakni kematian.
Sedangkan dalam konteks memilih pemimpin, masih ada opsi lain yang dapat kita usahakan, yakni memperjuangkan tegaknya sistem Islam di tengah-tengah kita. Dengan sistem itulah akan terlahir pemimpin bervisi akhirat yang insyallah akan menerapkan syariat Islam secara sempurna. Itulah hakikatnya fungsi pemimpin yang digariskan syara. Wallahu’alam bi shawab……