Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Generasi)
#MuslimahTimes — Bicara cinta, banyak sekali pendeskripsian tentangnya. Ada yang masuk akal dan ada pula yang tidak. Ada yang apa adanya dan ada pula yang berlebihan. Semua miliki deskripsi masing-masing tentang apa itu cinta. Sebab itu, bahasa ‘cinta itu gila’, ‘cinta itu buta’, ‘cinta itu manis’, dan lainnya tentu sudah tak asing lagi di telinga.
Kini, rasa cinta sangat identik dengan pacaran. Setiap orang yang berpacaran, ketika ditanya tentang kenapa ia berpacaran, maka jawabnya pasti karena cinta. Bagaimana tidak, kata ‘aku cinta padamu’ selalu menjadi kunci orang-orang untuk melakukan hubungan yang bernama pacaran.
Beberapa waktu yang lalu, jagat maya diriuhkan dengan viralnya video tanya jawab Tsamara Amani. Ia mengomentari tentang kampanye dari komunitas ‘Indonesia Tanpa Pacaran’. Ada beberapa pernyataannya yang ramai dikomentari, dua diantaranya “sekarang kalo loe ngelarang orang pacaran, terus kalo orang saling jatuh cinta, disuruh ngapain? Disuruh mendem gitu?”, “Loe bisa bayangin kekeringan hidup loe tanpa cinta gak? Kering, kering, kering. Kayak kekeringan di gurun pasir tau gak”. Dua pernyataan di atas punya kesimpulan yang sama, yakni ia menyatukan antara cinta dan pacaran. Seakan-akan keduanya adalah satu paket yang tidak bisa dilepaskan.
Tapi apakah benar cinta dan pacaran selalu satu paket? Kalau benar, mengapa ada banyak sekali kasus kekerasan atas perempuan yang justru di awali dengan pacaran?
Sebagaimana yang tercatat dalam catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2018 yang berjudul ‘Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme’. Dalam catatan tersebut, disampaikan bahwa pelaku kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terbanyak dalam lingkungan pribadi adalah pacar. Yakni sejumlah 1.528 kasus kekerasan seksual dilakukan oleh pacar, dibawahnya ada ayah kandung yakni sejumlah 425 kasus dan seterusnya.
Data ini berkorelasi positif dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang mencuat akhir-akhir ini. Salah satunya yang dialami oleh EA, seorang gadis SMP di Lombok Timur yang harus kehilangan nyawanya setelah diperkosa bergilir oleh pacar dan tiga orang lainnya. Hal yang membuat miris adalah korban diperkosa oleh teman pacarnya dalam keadaan luka-luka dan pingsan setelah jatuh dari motor (tribunnews.com, 1/1/19). Selain EA, ada banyak lagi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacar ataupun bermula dari pacaran, seperti kasus penyekapan, pembunuhan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Pun akibat buruk dari aktivitas pacaran tersebut, seperti hamil di luar nikah, bunuh diri setelah ditinggal pergi, atau aborsi atas janin yang terbentuk diluar ikatan pernikahan. Semua kasus-kasus di atas adalah bentuk dari kesengsaraan yang menimpa akibat aktivitas pacaran. Nah, jika cinta diartikan sebagai perasaan tulus menyayangi seseorang, apakah semua kasus-kasus di atas mampu mewakili atasnya?
Cinta hakiki tak mungkin menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan. Lalu mengapa hal nahas tersebut terjadi pada ikatan yang mengatasnamakan cinta? Salah satu jawaban yang paling masuk akal adalah bahwa kita masih belum mampu membedakan antara cinta dan hawa nafsu. Mereka memperturutkan hawa nafsu yang ada dengan balutan kata-kata indah bernama cinta. Yang sayangnya sebagian besar wanita masih mudah saja terbius dengan kata dusta itu.
Islam menjelaskan rasa cinta kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan dari fitrah (naluri) berkasih sayang. Ia merupakan fitrah yang pasti ada dalam diri semua orang. Jadi rasa cinta dan mencintai adalah hal yang wajar. Hanya saja hal tersebut tidak lantas menjadikan segala sesuatu yang berhubungan dengannya atau mengatasnamakannya menjadi boleh untuk dilakukan. Pacaran salah satunya.
Tak ada dalil spesifik yang menyebutkan bahwa kata pacaran, baik dalam Alquran maupun hadis. Namun banyak sekali dalil yang menjelaskan keharaman aktivitas yang ada di dalamnya.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ : 32)
“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur : 30 )
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Mencinta tak harus berpacaran, Islam memiliki aturan khusus terkait dengan rasa itu. Islam memberikan solusi terbaik berupa pernikahan untuk orang-orang yang sudah siap menjalankannya. Adapun untuk yang belum, maka baginya disyariatkan untuk berpuasa. Hal tersebut adalah yang terbaik dan lebih menjaga diri juga keturunan dibanding aktivitas mengumbar hawa nafsu yang bernama pacaran.
Abdullah Ibnu Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq Alaihi)
Sungguh indah aturan Islam, yang tentunya akan lebih indah saat ia diterapkan secara keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari. Semua kesengsaraan dan penderitaan yang disebutkan, sungguh tak akan muncul dari ikatan cinta yang hakiki. Sebab cinta yang hakiki tak pernah menuntut apapun, melainkan justru akan menuntun para pencintanya kepada Sang Pemilik Cinta, Pencipta makhluk dan seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Adapun mencintai-Nya tak akan menjerumuskan siapapun kepada penderitaan, melainkan Ia akan memasukkannya ke dalam Surga yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
Wallahu A’lam bis Shawab