Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Anggota Revowriter Sidoarjo
Nasib mereka yang sakit kembali di uji. Setelah tahun 2017 lalu , BPJS Kesehatan mengeluhkan defisit hingga Rp 9 triliun. Sehingga mendorong mereka melontarkan wacana cost-sharing delapan penyakit kronis. Delapan penyakit tersebut yakni, jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, talasmis, sirosis, leukemia, dan hemofilia. Dimana kedelapan penyakit itulah penyebab begitu besarnya defisit karena pengobatan berlangsung lama ( JawaPos. Com, 26/11/2017).
Kemudian, terhitung mulai 1 Maret 2019 obat kanker usus tak lagi ditanggung BPJS. Yaitu kanker usus besar atau kolorektal. Hal itu mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/707/2028 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maruf menjelaskan hal ini karena kasus kanker usus dan pembiayaan obat jenis ini tidak berjumlah signifikan. Kisaran Rp 50 miliar sampai Rp 60 miliar setahun. Sementara gambaran biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2017 itu Rp 84 triliun. Sehingga pasien kanker usus masih bisa mendapatkan pengobatan dengan kemoterapi standar atau radioterapi . Dan sudah ada di Formularium Nasional ( Fornas) (TRIBUN-TIMUR.COM , 24/02/2019).
Padahal menurut guru besar kedokteran UI, Prof Aru Wisaksono Sudoyo, jumlah penderita kanker kolorektal (usus besar) sudah mencapai 10% dari semua jenis kanker atau sekitar 1,4 juta orang yang menderita penyakit tersebut. Diperkirakan, pada 2019, akan terjadi kenaikan angka kejadian kanker yang sangat besar di negara berkembang. Penderita penyakit kanker tersebut terus meningkat seiring dengan perubahan lingkungan dan gaya hidup. Bahkan, di Indonesia, kanker kolorektal sudah bercokol di urutan ketiga kanker yang paling sering menyerang, setelah paru dan payudara. Sehingga perlu penanganan yang serius, terkait juga pembiayaannya. Jika BPJS kesehatan sudah tidak menanggungnya maka jelas beban rakyat akan semakin berat.
Maka kita bisa melihat, ada perhitungan untung rugi yang itu berdasarkan standar hitungan data atau angka semata. Dimana ini adalah mekanisme kapitalisme. Ada manfaat yang diambil minus amanah. Dan ada ketimpangan bagi pengguna layanan kesehatan. Padahal kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.
Apapun alasannya, kewajiban ini tidak boleh beralih kepada pihak lain. Sayangnya, pemerintah hari ini justru berlepas tangan. Malah menggunakan sistem asuransi sosial dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Dengan alasan gotong royong dana ditanggung renteng antara yang kaya dengan yang miskin. Sekilas hal ini menggambarkan kearifan sebuah bangsa yang berakar pada budaya bergotong royong. Namun naif, karena rakyat Indonesia tidak semua memiliki kemampuan yang sama untuk membayar premi. Sehingga berakibat pada kemacetan pembiayaan dan penghapusan pelayanan dengan alasan difisit.
Penyebab defisitnya sebenarnya bukan semata dari ketidak konsistenan pembayar premi tapi lebih kepada buruknya pengelolaan sumber dana itu sendiri. Menurut UU, sebagian dari dana yang dikelolan BPJS kesehatan harus diinvestasikan dalam instrumen investasi dalam negeri ( www.cnnindonesia.com, 28/08/2018). Sehingga defisit terjadi karena mengikuti fluktuatif investasi itu sendiri.
Sistem bobrok ini harus diubah. Pemerintah harus mengambil alih kepengurusan. Agar tidak ada dampak yang lebih besar lagi. Memang dari segi pembiayaan akan membutuhkan dana yang besar. Karena selain jenis penyakit itu beragam, demikian pula macam pengobatannya. Islam telah menetapkan pos-pos tertentu dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya adalah hasil pengelolaan SDA yang menjadi kepemilikan umum, juga ada kharaz, jizyah, ghanimah, fa’i , usyur, pengelolaan harta milik negara dan lain-lain yang terkumpul di baitul maal. Semuanya akan mencukupi bagi negara untuk melayani kesehatan rakyat secara ma’ruf bahkan gratis.
Jelas hal ini tidak akan mungkin terwujud jika negara tidak beralih pada sistem Islam.
Kapitalisme hanya memperkaya satu pihak dan menindas pihak yang lain. Terlebih juga akan menjerumuskan pemimpin negara dalam api neraka karena kezalimannya kepada rakyat. Padahal ia diangkat adalah untuk mengurusi rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya yang dia urus” ( HR al- Bukhari)
Maka, sebagai kepala negara, Rasulullahpun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Kemudian ketika beliau menerima hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikannya sebagai dokter bagi masyarakat ( HR Muslim).
Sudah seharusnya kita mencampakkan sistem yang tidak manusiawi ini, dan kembali kepada syariat Allah. Agar fungsi kepemimpinan yang shahih benar-benar hadir untuk rakyat dan melayani seluruh kebutuhan rakyat secara tulus karena semata-mata sebagai bentuk ketaatan hamba Allah kepada Rabbnya. Wallahu a’lam biashowab.