Oleh.Ammylia Rostikasari, S.S (Komunitas Penulis Bela Islam)
…..
Namun kami mohon jangan serahkan kami pada mereka
Yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak cucu kami
Dan jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami
Karena jika Engkau tidak menangkan
Kami khawatir ya Allah
Kami khawatir ya Allah
Tak ada lagi yang menyembah-Mu
Ya Allah
Izinkan kami memiliki generasi yang dipimpin
Oleh pemimpin terbaik
Dengan pasukan terbaik
…..
Bait-bait puisi yang dibacakan seniman sekaligus pendukung Paslon 02, Neno Warisman, saat munajat 212 dibuat kontroversi (detiknews.com/22/02/2019).
Begitu banyak bibir mencibir, menyemai hujatan. Bagi mereka yang tunasastra, pastilah dengan mudah menafsirkan bait demi bait puisi dengan makna denotasi. Makna yang melekat langsung pada kata-katanya, tanpa menelaah sangkut paut dengan unsur lainnya.
Namun, ini bukanlah sebuah kearifan. Karena menafsirkan puisi tidaklah sama dengan memahami prosa juga editorial sebuah warta negara. Ada kiasan bahasa yang begitu beragam dalam puisi, yang tak lain sebagai konotasi.
Puisi panjang yang digaungkan pada 21 Februari sebagai perekatan ukhuwah alumni 212, tak lain adalah jeritan hati. Gejolak akal sehat yang menuntut untuk direalisasi calon pemangku kuasa negeri ini.
Saat harap telah meluap, mengingat negeri dan rakyat yang masih saja dalam situasi ngeri. Ngeri dalam ekonomi yang masih saja belum sejahtera. Politik yang masih saja penuh trik dan konflik. Interaksi sosial yang kian liberal. Begitu juga dengan agama yang masih dipandang sebelah mata. Di sanalah geram begitu tajam dirasa.
Mereka yang merasa peka, terasah logika, menginginkan sebuah perubahan yang berarti. Berharap ada situasi yang lebih harmoni di bumi pertiwi. Mendamba seorang pemimpin yang membawa rakyatnya pada sebuah pencerahan.
Namun, begitu disayangkan, pencerahan tak bisa didapat dalam sistem demokrasi yang mencengkeram negeri ini. Perubahan pun tak mungkin didapat dari seorang pemimpin, meski ia digambarkan sebagai sosok yang berpihak pada rakyat. Perubahan dan kebangkitan hakiki hanya akan diraih dengan ketaataan negeri dan penghuninya pada rambu-rambu Robbul Izzati.
Saat Perang Badar berkecamuk, semua terlaksana karena titah Allah Subhanahu wata’ala. Para fisabilillaah bergerak gagah agar mampu menegakkan kalimat Allah, tak hirau jumlah lawan yang berkali lipat banyaknya. Mereka memperjuangkan Islam sebagai agama juga pandangan hidup yang mulia.
Gejolak kebangkitan hakiki, tentu mesti sesuai dengan contoh Nabi Saw. Adanya tak bisa dipisahkan dengan wahyu Ilahi. Inilah yang seharusnya ditapaki umat yang menghendaki perubahan dan kebangkitan. Kembali pada Allah dan Rasul-Nya, bukan berlama-lama pada sistem ala logika manusia, yaitu demokrasi.
Sudah saatnya umat memaksimalkan akal sehat. Bukan sekadar berpikir mendalam, tapi mesti sampai pada berpikir cemerlang (mustanir) yang senantiasa melibatkan bahwa ada peran Allah di di balik segala sesuatu. Allah Swt. sebagai Sang Pencipta juga Sang Pengatur kehidupan manusia. Wallahu’alam bishowab.