Oleh : Shita Istiyanti
MuslimahTimes— Jumat berdarah terjadi di New Zealand, 15 maret 2019 pukul 13.40 waktu setempat. Masjid Al Noor di Christchurch dan Linwood Avenue diberondong tembakan brutal oleh teroris bengis yang menewaskan setidaknya 40 orang dan melukai 20 lainnya.
Dikutip dari Kompas.com Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Jumat (15/3/2019) menyatakan bahwa pelaku secara barbar menyiarkan secara langsung serangan berdarah itu melalui akun media sosialnya. Dalam video tersebut terlihat bagaimana pelaku dengan sangat brutal menyerang jamaah masjid yang hendak sholat jumat menggunakan senapan mesin selama lebih dari 6 menit. Saksi mata juga melihat pelaku sempat kembali ke mobil untuk mengambil amunisi, lalu masuk lagi ke masjid untuk kembali melakukan penembakan ( www.tribunnews.com ).
Dilansir dari Harian New Zealand, Herald melaporkan bahwa pelaku merupakan seorang pria Australia yang telah menulis manifesto berisi ideologi ekstrim kanan yang anti Islam dan anti imigran.
Tragedi ini tak hanya menghebohkan dunia, tapi benar – benar menyayat hati kaum muslim. Lagi-lagi umat Islam disuguhi tragedi memilukan, namun dunia hanya menganggapnya hal biasa karena pelakunya “hanya” kelompok bersenjata dan dunia menyebutnya “penembakan bersenjata”, tidak disebut sebagai teroris. Bahkan media maya dipaksa bungkam akan kejadian ini dengan melarang untuk menyebarkan video yang diunggah oleh sang teroris. Indonesia pun tak kalah agresif, Mentri Kominfo Rudiantara melarang penyebaran video ini dengan dalih mengandung aksi kekerasan dan melanggar UU No 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahkan segala cara ia kerahkan, instansinya sudah bekerja sama dengan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lainnya untuk mengatasi peredaran konten ini. Sudah sekitar 500 unggahan yang dihapus dari berbagai platform sampai sore ini,” kata dia lewat akun Twitter @rudiantara_id, Jumat (15/03/2019).
Hal sebaliknya sangat berbeda ketika yang menjadi pelakunya adalah kaum muslim. Tak segan-segan dunia langsung melabeli “teroris” walau pelaku sebenarnya belum dipastikan, hanya sebatas dugaan.
Dunia dalam sistem kapitalisme memang tak adil. Tragedi berdarah yang menyerang kaum muslim sebenarnya tak hanya sekali ini saja, puluhan kali aksi teror bahkan genosida yang menghilangkan nyawa kaum muslim tak bisa disembunyikan dari mata dunia. Sebut saja pembantaian Muslim Rohingya, genosida Muslim Uyghur, hujan bom di Palestina yang tak kunjung usai, kaum muslim di Bosnia, Suriah dan negara muslim lainnya yang sudah merenggang ribuan nyawa saudara kita. Namun dunia seolah bungkam tak berdaya, buta matanya dan tuli telinganya. PBB terbukti gagal, sebab masalah ini sejak lama. ASEAN tidak berkutik, Indonesia hanya sekedar menyesalkan. Dunia juga hanya bisa mengecam tanpa aksi nyata. Berbeda halnya jika aksi teror ini terjadi pada segelintir orang di dunia Barat.
Tertumpahnya darah kaum muslim seolah tak berharga di mata dunia. Populasinya banyak tapi tak memiliki taji dalam diplomasi. Ketika aktivis Islam menyuarakan solusi seolah hanya dianggap angin lalu, hanya resolusi tanpa aksi, dunia tak merespon. Fakta ini semakin menguatkan keharusan kaum muslim memiliki junnah atau perisai yang akan melindungi mereka dari rasisnya sistem kapitalisme, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Junnah itu tak lain adalah Khilafah, karena dengan khilafah kaum muslim dunia akan terhimpun bersatu padu dalam satu kepemimpinan yang akan menjadi kekuatan besar kaum muslim dan menghentikan sluruh kezaliman di muka bumi. Hanya Khilafah yang akan menjamin terselamatkannya jiwa-jiwa dan kehormatan kaum muslim dan mengembalikan peradaban mulia pencetak generasi emas yang akan merahmati siapa saja. Wahai kaum muslimin khilafah adalah kewajiban, sudah 95 tahun kita tanpa khilafah. Mau sampai kapan?
[Mnh]