Oleh: Khusnul Aida
Aktivis Dakwah di Pasuruan
MuslimahTimes— Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata
Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati
Setidaknya penggalan syair lagu era 80-an tersebut pantas ditujukan kepada pemimpin Negeri ini. Bagaimana tidak, selama 4 tahun lebih kepemimpinan Pak Jokowi, rakyat merasa kenyang dengan kebohongan pemimpinnya. Berbagai macam ketimpangan, ketidakadilan, bahkan kedzaliman semakin tak terkendali di pemerintahan Jokowi.
Janji-janji yang diumbar 4 tahun silam sebelum terpilih, untuk membawa Indonesia lebih adil, makmur dan sejahtera, tidak terealisasi hingga saat ini. Dengan berbagai programnya dan slogan “kerja…kerja…kerja,” saat ini masih segelintir rakyat Indonesia yang merasakan kesejahteraan. Tidak heran jika rakyat telah hilang kepercayaan.
Bukti kebohongan rezim ini sangatlah banyak. Tak terkecuali, saat debat babak ke-2 Pilpres 2019 yang dilaksanakan pada 17 Februari lalu, dengan tema Energi, pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup. Dalam debat yang berlangsung selama 3 jam tersebut, paslon 01, kubu petahana dengan lancar menyebutkan beberapa data yang tidak sesuai atau tidak akurat. Setidaknya bisa disebut ada 8 kebohongan yang tampak, yakni :
1. Impor jagung
2. Konflik agraria
3. Kunjungi nelayan
4. Produksi sawit
5. Kebakaran hutan
6. Irigasi
7. Jalan desa
8. Sanksi pembakar hutan
Semua data yang telah disampaikan oleh Jokowi menuai kontroversi. Tentu saja para pendukungnya memberikan tepuk tangan dan penghargaan atas kinerjanya, tanpa mengoreksi kevalidan data. Namun tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa data yang telah disebutkan tidak sesuai. Diantaranya tentang impor jagung misalnya, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia import jagung hanya 180.000 ton. Dengan bangga, Jokowi juga mengklaim ada produksi 3,3 juta ton yang dilakukan petani. Data tersebut dibantah oleh BPS, impor jagung sepanjang 2018 mencapai 737,22 ribu ton dengan nilai US$ 150,54 juta. Betapa besar angka data yang telah dipangkas oleh Jokowi.
Tentang konflik agrarian, Jokowi juga dengan bangga menyampaikan bahwa tidak ada konflik untuk pembebasan lahan infrastruktur, karena pemerintah mengklaim telah memberikan ganti untung lahan, bukan ganti rugi. Pernyataan ini pun dibantah oleh konsorium Pembaruan Agraria, disebutkan telah terjadi 659 kasus konflik lahan pada tahun 2017. Diantaranya pembangunan jalan tol Kuala namu, PLTA Waduk Cirata, Pembangkit Listrik Tenaga Bumi Daratei Martaloko, perluasan lahan Bandara Sultan Hasanudin, Bandara Dominique Edward Osok, Kertajati, dan lainnya. Nah, tersingkap kembali kebohongan Jokowi.
Terkait dengan isu lingkungan, presiden lagi-lagi dengan bangga menyatakan bahwa selama 3 tahun terakhir tidak terjadi kebakaran hutan. Sementara Greenpeace menyebutkan bahwa sejak tahun 2015 telah terjadi kebakaran hebat hutan dan lahan hingga saat ini. Bahkan di tahun ini, di bulan februari terjadi kebakaran di Riau. Sebagai bukti, dicantumkan link sebuah artikel portal berita yang menyebutkan seluas 497,7 hektare lahan di Riau dilalap jago merah. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati juga membantah jika tak ada kebakaran hutan selama 3 tahun terakhir. Data titik panas yang diolah WALHI menunjukkan dari 8.617 titik panas sepanjang 2018 berada di lahan gambut.
Terkait sanksi terhadap pelaku pembakar hutan, Presiden menyebut bahwa selama 3 tahun terakhir tidak ada pembakaran hutan, dikarenakan pemerintah telah menindak dengan tegas para pelakunya. Disebutkan bahwa sudah ada 11 perusahaan yang diberi sanksi denda sebesar Rp.18,3 T. Dilain pihak, Greenpeace menyebutkan bahwa belum ada dari 11 perusahaan yang disebutkan membayar ganti rugi ke Negara.
Meskipun setelah debat Jokowi mengklarifikasi, namun tetaplah ketidakvalidan data yang terlanjur disampaikan pada seluruh rakyat Indonesia menguatkan persepsi publik bahwa pemimpin Negeri ini memang hobi berbohong.
Demikianlah mental para pemimpin dalam sistem kapitalisme. Demi mencapai tujuan yang di inginkan, menghalalkan segala cara termasuk dengan pangkas memangkas data kegagalan kinerjanya. Demi meraup suara, data tidak akurat disebutkan. Demi pencitraan dan dukungan, tanpa malu merevisi pernyataan.
Sistem ini memang menjunjung tinggi kebebasan, diantaranya adalah kebebasan berperilaku yang didalamnya termasuk perilaku tidak jujur alias berbohong. Berbohong dalam sistem ini tidak perlu dipermasalahkan. Sah-sah saja. Apalagi yang menyampaikan kebohongan adalah pemimpin. Sejuta pembelaan akan dilakukan oleh para pendukung dan penjaga sistem ini. Demi menutupi kegagalan kinerjanya.
Dalam pandangan Islam, fenomena suka berbohong adalah perbuatan buruk yang harus dijauhi. Berbohong mengantarkan pelakunya pada perbuatan dosa -dosa yang lebih besar. Terlebih dilakukan oleh seorang pemimpin. Karena setiap perbuatan apalagi kepemimpinan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rosululloh bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang Allah minta dia mengurusi rakyat, dia mati pada hari dia menipu/mengkhianati rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya” (HR.Bukhori -Muslim).
Selama sistem kapitalisme ini tegak, maka akan tetap tercetak para pemimpin yang suka berbohong dan berkhianat meski pada rakyatnya sendiri. Saatnya kembali kepada sistem Islam yakni Khilafah, yang terbukti sukses melahirkan pemimpin kelas dunia dan tercatat dalam tinta emas peradaban seperti Umar Bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid, Muhammad Al Fatih dan seterusnya.
[Mnh]