Serangan Fajar dalam Demokrasi itu Wajar!
Oleh : Yulida Hasanah
(Pemerhati Masalah Sosial Politik, tinggal di Kabupaten Jember)
Muslimahtimes.com-Ketika detik detik pesta demokrasi semakin dekat, sudah lumrah rakyat mulai bersiap menghadapi serangan fajar. Saking biasa terjadi 5 tahun sekali, rakyat miskin yang jumlahnya mayoritas di negeri inipun tak merasa risih atau tabu dengan jurus jitu para calon-calon pemimpin yang mengikuti pertarungan politik untuk meraih suara terbanyak.
Dan menjadi berita yang tidak mengagetkan rakyat, bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengamankan uang sejumlah Rp 8 miliar dari Anggota DPR Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso yang diperuntukkan sebaggai dana ‘Serangan Fajar’Di mana uang tersebut sudah dibagi dalam pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu dalam 400 ribu amplop putih dan dikemas di 82 kardus besar dan dua plastik kontainer. (Tribunnews.com)
Walaupun Ketua DPP Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengklaim, Golkar tidak pernah memberikan semacam instruksi, imbauan atau perintah kepada semua kader yang menjadi calon legislatif untuk melakukan serangan fajar. Namun, inilah fakta bahwa politik uang akan terus mewarnai pemilu di negeri ini. Negeri demokrasi yang tak bisa lepas dari money politik.
Pertanyaannya, apakah serangan fajar yang terjadi adalah kesalahan yang sifatnya pribadi bagi setiap calon legislatif maupun calon pejabat negeri?. Ataukah kebiasaan buruk tersebut memang terlahir dari sistem politik demokrasi yang dipakai di negeri ini?
Demokrasi Mahal!
Kita tak bisa memungkiri bahwa kasus Bowo bukanlah satu-satunya kasus money politic yang pernah terjadi. Sebab Bowo adalah bagian kecil dari kasus-kasus serangan fajar atau suap untuk meraih kekuasaan di antara ribuan kasus money politic yang ada.
Sebagaimana yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang bahwa tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan. Total tercatat ada 152 kasus yang sudah ditangani selama tahun 2018. Dan melakukan 157 kegiatan penyidikan dan 178 penyidikan dan kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun kasus sisa penanganan perkara pada tahun sebelumnya. (okezone.com)
Dari data tersebut, mengapa tidak ada yang bertanya mengapa kasus-kasus yang sama semaki hari semakin besar dan mengapa masalah ini seakan sulit untuk diatasi seakan menjadi masalah yang wajar terjadi berulang-ulang kali?. Inilah pertanyaan yang butuh jawaban tuntas.
Mahyudin mengakui Wakil Ketua MPR demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berbiaya mahal. Dia mencontohkan, ketika ditawari maju menjadi gubernur Kaltim, dia menghitung sedikitnya perlu Rp 50 miliar untuk menjadi calon gubernur. Dia berujar uang sebesar itu lebih baik untuk membuat kebun sawit.
“Jika dikaitkan banyak kepala daerah berurusan dengan hukum karena kasus korupsi, kita akui bahwa demokrasi kita mahal,” katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/10/2018).
Pengakuan Wakil Ketua MPR di atas tak bisa dielakkan. Sebab faktanya memang Demokrasi itu mahal, dan selamanya tidak akan pernah murah apalagi gratis. Mengapa?
Dalam demokrasi, adalah modal atau uang yang paling mempengaruhi kepentingan manusia. Terlebih kedaulatan itu sendiri diletakkan di tangan rakyat yang notabene adalah manusia yang tak lepas dari kekeliruan. Jadi, mahalnya demokrasi itu dikarenakan ulah tangan manusia. Manusialah yang bebas menentukan mahar politik yang harus dikeluarkan demi kekuasaan. Maka juga menjadi wajar jika dalam sistem demokrasi yang menuhankan suara manusia ini muncul perselingkuhan antara elit politik dengan pemilik modal (para kapital). Selanjutnya terciptalah yang namanya lingkaran syaitan demokrasi money to politic, politic to money.
Maka, selama menjadikan kedaulatan hukum diberikan kepada manusia, bermimpi negeri ini akan bebas dari suap dan korupsi.
Ganti Demokrasi, Terapkan Politik Islam
Demokrasi memang tidak bisa lagi dipertahankan. Jika tidak ingin menciptakan banyak politikus-politikus yang hanya haus akan kekuasaan dan menjadikan uang sebagai modal kemenangan, maka hal yang harus dilakukan adalah mengganti sistem demokrasi yang ada hari ini dengan sistem Islam.
Mengapa harus sistem Islam? sebab, dalam Islam kedaulatan diletakkan hanya di tangan Asy-Syari Sang Pembuat Hukum, yaitu Allah SWT. Dan Allah telah mengutus Rasul-Nya untuk menjadi rule model pelaksaan sistem politik anti suap dan anti money politic.
Sebagaimana sabda Nabi Saw :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah saw bersabda: “Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada hari kiamat, Allah tidak akan membersihkan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air melebihi kebutuhan dalam perjalanan dan tidak memberikannya kepada musafir (yang membutuhkannya). Kedua, laki-laki yang membaiat seorang pemimpin hanya karena dunia. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembaiatannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu ashar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal barang itu belum pernah ditawar sekian oleh orang lain.” (HR. al-Bukhri dan Muslim).
Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani al-Syafii berkata dalam Fath al-Bari: Pada dasarnya orang membaiat pemimpin itu bertujuan agar ia melakukan kebenaran, menegakkan batasan-batasan Allah, melakukan amar maruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, barang siapa yang menjadikan pembaiatannya kepada pemimpin karena harta yang diterimanya tanpa melihat tujuan utama, maka dia telah mengalami kerugian yang nyata dan masuk dalam ancaman hadits di atas, serta ia akan celaka apabila Allah tidak mengampuninya. Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang tidak bertujuan mencari rida Allah, tetapi bertujuan mencari kesenangan dunia, maka amal itu rusak dan pelakunya berdosa. Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq-Nya.
Dan sungguh, menjadi Pemimpin di dalam Islam itu bukanlah jabatan untuk permainan atau sebuah kesenangan yang menjadikan semua orang tergiur untuk mendudukinya. Sebaliknya, Rasulullah SAW. mengingatkan umatnya bahwa menjadi pemimpin itu adalah amanah yang berat, maka yang memikulnyapun haruslah orang-orang yang kuat.
Pernah suatu hari sahabat Abu Dzar al-Ghiffari memohon kepada Rasulullah SAW. untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin di daerah seperti sahabat lainnya. Abu Dzar berkata, Wahai Rasulullah, tidakkah engkau hendak menggunakan (jasa)-ku?
Namun, Rasulullah SAW yang mengetahui karakter para sahabatnya mengetahui bahwa Abu Dzar tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Wahai Abu Dzar, engkau itu lemah (dalam kepemimpinan), dan kepemimpinan itu ialah amanah dan akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat.
Ini adalah salah satu bukti (dalil) bahwa dalam kepemimpinan politik Islam, ketaatan untuk menerapkan hukum Allah sajalah yang menjadi tujuan diangkatnya seorang pemimpin maupun pejabat pemerintahan yang lain. Dan inilah yang menjadikan sistem politik Islam menjadi sistem politik paling agung dan terbukti mampu menaungi umat dengan keberkahan Allah SWT dari langit dan bumi. Wallaahu a’lamu bi ash shawab[]