Oleh : Shita Ummu Bisyarah
MuslimahTimes– Kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia menjadikannya sebagai primadona bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya. Potensi Indonesia sebagai negara tujuan invstasi dari tahun ke tahun semakin membaik, terbukti pada tahun 2018 Indonesia disebut sebagai negara ke-2 terbaik untuk investasi setelah Filipina menurut hasil survey usnews.com terhadap 21.000 orang. Hal ini dikarenakan banyaknya pemangkasan UU yang membuat regulasi Indonesia sangat bersahabat untuk para investor.
Dilansir dari TEMPO.CO 17/12/2018 Presiden Jokowi mengizinkan asing menguasai 100 persen saham di 54 Industri. Beliau meluncurkan paket kebijakan ke 16 dengan memberikan relaksasi kepada investor asing berupa daftar negatif investasi (DNI).
Harapannya dengan melepas 54 bidang usaha ke asing dapat meningkatkan nilai investasi asing ke Indonesia. Tidak hanya itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal juga menargetkan total investasi yang masuk pada tahun 2019 sebesar Rp 792.3 triliun.
Dapat kita lihat bagaimana negara ini sangat tergantung kepada investasi asing hingga melakukan banyak cara agar mengukuhkan bahkan menambah jumlah investasi asing di Indonesia. Dalihnya ingin menggenjot produksi dalam negeri yang kian merosot dengan cara menghadirkan para investor sebagai pemodal, karena negara tak punya cukup modal untuk menggenjot produksi dalam negeri. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan memperbanyak investor asing merupakan peluang melimpahnya produksi dalam negeri atau bahkan ancaman?
Faktanya investasi asing yang ditawarkan ke Indonesia bukanlah murni investasi, namun hutang luar negeri. Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).
Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).
Pada Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia yang diselenggarakan di Indonesia kemarin pemerintah menawarkan 80 proyek dari 21 BUMN senilai USD 42 miliar atau sekitar Rp 630 triliun kepada investor. Sebanyak 19 proyek senilai USD 13,5 miliar atau Rp 202,5 triliun (kurs Rp 15.000 per Dolar AS) disepakati (Radarbogor.id, 16/10/2018). Alhasil utang luar negeri Indonesia semakin menumpuk. Sedangkan aset – aset berharga negara di sektor tambang, kelistrikan dan SDA lainnya dicaplok oleh asing. Dalihnya investasi untuk menggenjot ekonomi tapi faktanya malah menjual Indonesia ke asing.
Logika sederhananya seperti ini. Indonesia saya ibaratkan seseorang yang memiliki kebun mangga berbuah lebat dan ranum siap panen dimana kebun tersebut adalah sumber penghidupan keluarganya. Karena keterbatasan piranti dan ilmu memanen mangga, maka kebun itu diberikan ke orang lain untuk dipanen dan orang tersebut hanya diberi 1% dari hasil panennya. Apakah masuk akal?
Jelas hal itu tidak masuk akal sama sekali. Seandainya tidak bisa memanen, orang tersebut bisa membayar orang untuk memanen, atau membeli galah untuk memanennya. Jika tidak ada uang, bisa meminjam galah, atau sebodoh – bodohnya orang mungkin dia akan bekerjasama bagi hasil dengan presentasi yang wajar dimana dia jauh lebih besar. Jelas disini bukanlah investasi yang terjadi, tapi penjajahan.
Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme Neoliberal pada saat ini. Sangat terlihat dari kebijakan – kebijakan negara yang mandul terhadap rakyat namun sangat pro terhadap asing. Pejabat negara yang seharusnya memiliki peran penting untuk mengurusi rakyat dan mengubah kondisi negeri menjadi lebih baik, malah justru menjadi perpanjangan tangan penjajah. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar sekali pun.
Seharusnya ini dapat membuka mata kita bahwa benar “No Free Lunch” di atmosfir kapitalisme. Karakter liberal telah menjadi ciri inheren ajaran yang mendewakan kebebasan ini. Akibatnya kebebasan untuk memiliki dan menomorsatukan kepentingan individu menjadikan kegiatan ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian. Oleh karena itu, jamak terjadi jika perekonomian berjalan dengan cara menindas yang lemah dan memfasilitasi pihak yang kuat.
Kapitalisme sangatlah munafik, berwajah manis namun memiliki segudang agenda dibalik sikap manisnya untuk semakin menancapkan cakarnya pada negara jajahannya. Dia tidak akan rela melepas negara yang telah dia jajah. Justru penjajahan gaya baru ini ( neoimperealisme ) lebih kejam, karena tidak hanya kekayaan permukaan bumi Indonesia yang dijajah. Tapi juga hingga ke perut bumi bahkan pemikiran rakyat, yang membuat rakyat semakin bodoh dan menjadi mesin – mesin pencetak rupiah bagi tuannya. Jelas kapitalisme merupakan ideologi yang bobrok dan tidak layak diterapkan di negeri ini. Wahai rakyat sadarlah, segala bentuk penjajahan diatas dunia harus dihapuskan!