Oleh: Emma LF (aktivis ForMind/ Forum Muslimah Indonesia)
MuslimahTimes– Luar biasa tantangan dakwah bagi para ulama yang “lurus” di dalam sistem demokrasi. Mereka harus siap difitnah, ditinggalkan oleh para pengikut dan “fans”. Harus siap dicari-cari kesalahannya. Sebagaimana yang menimpa ustaz Abdul Somad, Lc, MA. Beliau difitnah melalui akun twitter @saididu yang telah diretas oleh hacker.
“Rumah UAS di JL. Kamboja Ds. Rimbo Panjang Km.20 Kec. Tambang , Kab. Kampar hasil pemberian dari PRABOWO untuk mendukung paslon PAS . Pantaskah Ulama seperti ini ? Mulut Seorang Ulama harusnya konsisten tidak berubah hanya demi HARTA Duniawi#UASDibayarPrabowo (pic.twitter.com/9wVIQW0dG6).”
Demikian cuitan dari akun twitter pribadi Muhammad Said Didu (@saididu) pada April 13, 2019. Beliau salah seorang anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang dihack sejak debat Pilpres kelima. Ini terjadi setelah Ustaz Abdul Somad secara jelas menunjukkan pilihannya pada pasangan Capres-cawapres Prabowo-Sandi.
Saat ini, para ulama yang lurus itu memang langka. Dalam sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk menang dalam pemilu, para ulama kita harus kuat untuk tidak kompromi terhadap kebatilan. Sistem demokrasi memang bermasalah sejak lahirnya. Tak ada patokan yang tegas dan jelas dalam sistem buatan manusia ini. Yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa dibenarkan. Ulama yang lurus harus berani berada di garda terdepan menyampaikan kebenaran.
Ustaz Abdul Somad adalah salah satu ulama yang mukhlis. Apa yang beliau lakukan sebenarnya memberikan teladan kepada ulama yang lain tentang bagaimana sikap yang seharusnya diambil oleh seorang ulama kepada penguasa. Namun pelajaran lain, ketika ulama ikut arus dan masuk dalam pusaran politik praktis, ulama harus siap menerima getah demokrasi. Salah satunya menjadi sasaran fitnah dari lawan politik.
Demokrasi yang kotor dan korup meniscayakan para pemainnya juga ikut terkotori, sebagaimanapun pemainnya berusaha sekuat tenaga menjaga diri agar tetap “bersih.” Begitulah jika masuk kedalam sistem. Akan terwarnai. Ulama yang lurus tidak akan mampu bertahan lama dalam kubangan lumpur demokrasi.
Seorang ulama harus tegas mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Seorang ulama tidak boleh membohongi umat dan dirinya sendiri dari kebenaran ajaran Islam. Tak haus kekuasaan, atau mengubah sikapnya hanya karena iming-iming duniawi.
Seorang ulama adalah pewaris para Nabi. Tanggung jawabnya begitu besar. Di tangannya nasib umat ini kedepan ikut ditentukan. Jutaan umat di belakangnya mengikuti perkataan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)
Seorang ulama harusnya kita muliakan. Bukan dihina, dimata-matai bahkan dijadikan alat politik untuk mendulang masa dalam politik pragmatis demokrasi.
Namun, begitulah demokrasi yang kejam. Saat kekuasaan ada di tangan atau mendapatkan suara yang diinginkan, tidak jarang kemudian para ulama diabaikan. Bukan hanya personalnya tapi juga ajaran Islam dan ujaran kebaikannya. Habis manis, sepah dibuang.
Kemunduran taraf berfikir umat Islam terhadap hazanah ilmu Islam saat ini telah sedemikian nyata. Kaum muslimin di berbagai belahan dunia masih juga terpuruk dan belum bisa bangkit. Kegemilangan cahaya Islam selama 1300 tahun dalam naungan sebuah Negara Adidaya Khilafah Islamiyah masih menjadi mimpi kaum muslim untuk dilanjutkan kembali pada kali kedua. Sebagaimana hadis masyhur:
“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih).
Dalam upaya tegaknya kembali dienullah ini peran ulama sangatlah besar. Para ulama membina umat, menguatkan kaum muslim dengan pemikiran Islam kafah, dan menunjukkan bagaimana metode kebangkitan umat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah menjaga para ulama kita yang lurus dalam kebaikan yang terus-menerus. Meneguhkan mereka dalam kebenaran. Sungguh menyedihkan jika kemudian tiada orang alim yang menjaga umat ini. Umat Islam terombang-ambing dalam keraguan dan kesesatan. Tak bisa membedakan mana yang haq (benar) dan batil (salah). Na’uzubillah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala juga senantiasa menjaga para ulama kita dari fitnah orang-orang zalim. Dan semoga orang-orang yang zalim itu disibukkan Allah dengan kezalimannya sendiri sampai hari kiamat. Wallahu a’lam bish-shawwab. ()