Oleh : Tri Silvia (Pemerhati Masyarakat)
MuslimahTimes– Pesta demokrasi baru saja selesai. Semua pihak dibuat tegang menunggu hasil rekapitulasinya. Hasil survey dan quick count telah keluar, namun banyak pihak yang meragukan kebenarannya. Pasalnya, berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh paslon 02, mereka sebenarnya telah menang telak 60 : 40. Maka tak aneh, mereka langsung melakukan deklarasi kemenangan di kediaman paslon 02.
Selain dari drama kemenangan yang terjadi, berbagai gonjang-ganjing pun banyak bermunculan pada pemilu kali ini. Peristiwa bercecerannya KTP elektronik jelang pemilu. Banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) politik uang oleh KPK (tak tanggung-tanggung pelakunya mulai dari caleg tingkat daerah hingga petinggi partai tertentu). Ketidakjelasan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan aturan pemilihan di berbagai wilayah Indonesia. Hilangnya ribuan surat suara hingga banyaknya surat suara yang sudah dicoblos terlebih dulu.
Berbagai peristiwa di atas alhasil membuat riuh pesta demokrasi kali ini.
Namun, selain peristiwa-peristiwa yang tampak di permukaan, banyak pula peristiwa yang samar bahkan cenderung tidak diangkat ke permukaan. Yakni terkait dengan banyaknya korban yang berjatuhan pasca pemilu 2019 kemarin. Bahkan jika dibandingkan, korban tahun ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia pada pemilu tahun ini terus bertambah hingga total 272 orang. “Jumlah bertambah, anggota wafat 272 dan sakit 1.878,” ujar komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik, kepada wartawan, Sabtu (27/4/2019).
Berdasarkan data tersebut, total petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit berjumlah 2.150 orang. Data diambil per pukul 18.00 WIB. Jumlah anggota KPPS yang wafat bertambah 42 orang. Sedangkan jumlah anggota KPPS yang sakit bertambah 207 orang sejak pendataan pada Jumat (26/4) petang. Penambahan jumlah yang cukup signifikan ini disebabkan oleh banyaknya kasus yang tidak dilaporkan sedari awal. (m.detik.com, 27/4/2019)
Banyaknya korban yang berjatuhan mengundang simpati dari para tokoh bangsa, termasuk Effendi Gazali selaku tokoh yang mengajukan Judicial Review atas pemilu serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.
Selaku pengaju Judicial Review untuk Pemilu Serentak, Effendi Gazali menyatakan penyesalannya atas pengajuan Judicial Review jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. “Sejak dua tahun lalu kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014, daripada Pemilu Serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan Presidential Threshold!”
Effendi Gazali mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem pemilu yang ada. Jangan sampai pengorbanan mereka sia-sia hanya karena bangsa ini terus dipaksa dengan pilihan hanya dua pasangan, atau bahkan calon tunggal, yang bisa dipastikan lebih tajam konfliknya dengan ujaran kebencian di era media sosial ini. “Akibatnya tidak banyak waktu kita sebagai bangsa tersisa untuk melaksanakan manajemen pemilihan umum yang lebih tenang, tertib, dan memikirkan sungguh-sungguh kesejahteraan pemilih dan pelaksana pemilu,” kata Effendi Gazali. (tribunnews.com, 24/4/2019)
Selain dari kasus petugas yang meninggal dunia dan sakit, rumah sakit jiwa di berbagai daerah pun telah mempersiapkan ruangan dan tenaga medis tambahan untuk para caleg stress pasca pemilu. Tidak disebutkan jumlah atau adanya caleg-caleg tersebut, namun dari jauh-jauh hari persiapan telah dilakukan.
RS Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor telah mempersiapkan 20 ruang tambahan, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) di Sungailiat menyiapkan dua psikiater dan empat psikolog yang bertugas di RSJ Babel untuk mengantisipasi jika terjadi lonjakan pasien. Rumah Sakit Khusus Jiwa (RSKJ) Soeprapto Bengkulu menyiapkan 300 kamar untuk menangani calon legislatif yang mengalami stres ringan atau pun berat pasca pemilu dan mempersiapkan ahli kejiwaan untuk berkonsultasi. (Berbagai sumber)
Hal semacam ini tentunya tidak akan terjadi ketika Daulah Khilafah diterapkan di tengah-tengah umat. Pasalnya, Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin begitu menghargai jiwa manusia. Tidak hanya jiwa, kehormatan, keamanan dan pendidikan pun sangat dihargai dan dijamin sepenuhnya oleh negara. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis, yang artinya:
“Sesungguhnya hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah, dari pada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Nasa’i 3987)
Jaminan atas jiwa dan kesehatan benar dijamin oleh negara. Jangankan para petugas yang mengerjakan tugas negara, rakyat yang sakitpun akan dijamin oleh negara.
Selain itu, melihat kerusakan demi kerusakan yang terjadi, pastilah ada sesuatu yang salah pada sistem pemilihan umum yang dipakai sekarang. Kerusakannya tidak hanya pada paparan teknis, melainkan telah nampak mulai dari awal pembentukannya. Sistem demokrasi yang berpegang pada asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat membuat samar fungsi pemerintah. Belum lagi asas bahwa ‘suara rakyat suara Tuhan’, asas ini jelas-jelas menafikkan keberadaan Tuhan dan aturan-Nya terkait.
Sistem yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Bahkan dengan sikapnya yang menafikkan aturan Tuhan, maka sistem ini akan mengundang murka dari Allah SWT. Menjadi wajar kemudian banyak sekali musibah yang Allah turunkan atas kaum muslimin saat ini. Banjir, tsunami, gunung meletus, gempa bumi. Ini kemudian menambah duka kaum muslimin pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah terakhir di Turki pada 1924 M.
Sungguh Islam telah memiliki mekanisme baku tentang sistem pemilihan pemimpin. Mekanisme yang tidak memiliki celah kecurangan dan kezaliman di dalamnya. Mekanisme yang membawa ketenangan bagi semua pihak. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah bai’at.
Bai’at merupakan sebuah mekanisme yang diambil berdasarkan kitabullah, sunah Rasulullah dan ijmak sahabat. Adapun dalil terkait dengan bai’at ada banyak sekali, diantaranya :
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu hakikatnya adalah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. Al-Fath : 10)
“Kami telah membai’at Rasulullah saw agar senantiasa mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi ; agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq dimana saja kami berada tanpa takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela.” (HR. Al-Bukhari)
Bai’at atau janji setia atas pemerintahan dibuat sedemikian rupa agar tidak memakan waktu yang lama. Nama-nama calon yang telah memenuhi syarat in’iqod akan diumumkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Siapa saja yang keluar sebagai pilihan dari Ahl al-Halli wa al-‘ Aqdi, yang dengannya ia akan menjadi Khalifah maka umat wajib untuk membai’atnya dengan bai’at taat.
Terkait dengan waktunya, pemilihan Khalifah tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal tersebut dicontohkan oleh para sahabat saat Rasulullah saw wafat dan kemudian digantikan perannya oleh Abu Bakar ra sebagai Khalifah pengganti.
Sistem pemilihan seperti ini tentunya jauh lebih relevan dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Dengan adanya Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi dan waktu pemilihan yang hanya tiga hari tentunya akan mempermudah proses pemilihan dan yang lebih pasti akan menghilangkan kerugian atas harta, jiwa dan nyawa.
Namun, tak akan cukup penerapannya jika hanya sistem pemilihan pemimpin saja yang dipakai. Penerapan syariat Islam haruslah menyeluruh dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Sebab, penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan meningkatkan ketakwaan individu dan masyarakat. Hal yang secara otomatis akan menghilangkan kecurangan-kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan.
Banyak pihak yang mengusulkan untuk diadakan evaluasi atas pesta demokrasi yang telah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Dan memang benar harus ada evaluasi, tidak hanya terkait dengan teknis pemilihan di lapangan saja. Melainkan juga harus ada perubahan menyeluruh terkait sistem pemerintahan kenegaraan yang diterapkan. Sebab kerusakan tidak hanya ada di lini teknis lapangan melainkan ada di sistem yang dipakai.
Sistem demokrasi yang kini diterapkan sudah menumbalkan banyak sekali harta, jiwa dan nyawa. Oleh sebab itu, sistem tersebut sudah tidak layak lagi untuk diterapkan. Maka alangkah baiknya jika kita kembalikan otoritas jiwa dan negara kepada Sang Pencipta alam semesta, yang telah berikan seperangkat aturan yang tidak sekedar untuk dibaca namun juga diterapkan.
Wallahu A’lam bis Shawab