Oleh.Nia Amalia
Negeri ini baru saja menggelar pesta demokrasi lewat Pemilihan Umum pada 17 April lalu. Agenda ini tidaklah murah karena menelan biaya yang cukup fantastis yaitu Rp. 24,9 triliun. Kiini masih terus berlangsung proses rekapitulasi suara hingga 22 Mei mendatang. Namun sangat disayangkan, ditengah proses rekapitulasi suara, banyak ditemukan indikasi kecurangan yang terjadi.
Badan Nasional Pemenangan (BPN) Prabowo-Sandiaga melaporkan, ada 1.200 kasus yang mencerminkan indikasi kecurangan kepada Bawaslu dan pihak-pihak lain (tirto.id, 20/4/ 2019). Di lapangan ada banyak indikasi kecurangan tersebut, misalnya di Sumbar ada satu gudang kertas suara terbakar, di Sumut seorang bupati mengundurkan diri. Di Nias ada bupati marah karena C1-nya disimpan oleh seseoran Di berbagai tempat ada polisi-polisi &merebut dan mengambil paksa C1. Hal itu semua merupakan bentuk kecurangan yang terjadi di deputar pelaksanaan Pemilu. Dari pola terjadinya nampak bahwa ketidakjujuran itu terjadi secara massif, terstruktur dan sistematis.
Ditambah dengan peristiwa tragis yaitu banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang sakit dan meninggal, pasca pelaksanan Pemilu. Baik petugas (KPPS). Hingga saat ini, jumlah petugas KPPS meninggal sebanyak 287 orang, sementara yang sakit mencapai 2.095 orang (kompas.tv, 29 April 2019).
Dalam ilusi demokrasi, pemerintahan mutlak ada di tangan rakyat. Dikenal dengan jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah yang memimpin sebuah negara demokrasi dipilih oleh rakyat, melalui suara terbanyak. Itulah mengapa, calon penguasa mengejar perolehan suara terbanyak pada pemilu. Demi meraih kekuasaan, mereka rela menghalalkan segala cara, dengan melakukan berbagai macam kecurangan.
Alhasil, benarlah yang dikatakan oleh pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin.
“Orang-orang yang memberikan _vote_ (suara) tidak menentukan hasil dari Pemilu. Namun orang-orang yang menghitung _vote_ itulah yang menentukan hasil dari Pemilu”.
Jika seperti ini yang terjadi, maka jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat akan menjadi “jauh panggang dari api”, tidak pernah bisa terwujud. Asa yang ditanam rakyat akan janji–janji wakilnya menjadi hampa. Mereka tidak bisa berharap bahwa Pemilu benar-benar menjadi sarana untuk melakukan perubahan, sekalipun hanya perubahan rezim.
Selain itu, hukum yang berlaku di negara Demokrasi adalah hukum buatan manusia. Hukum ini dibuat oleh perwakilan rakyat (yang dipilih melalui proses pemilu) dan dijadikan sebuah hukum yang mengikat dalam bentuk Undang-Undang. Itu menjadi alasan bagi partai politik untuk meloloskan calon legislatifnya (caleg ). Mereka yang rerpilih aka menduduki jabatan legislatif sehingga mereka mempunyai hak menetapkan atau membuat hukum.
Jabatan dan kekuasaan inilah yang sangat menggiurkan bagi para korporasi dan rezim untuk melanggengkan penjajahan sistemisnya dalam segala aspek (politik, ekonomi, maupun sosial budaya). Hal ini dapat kita saksikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, tetapi lebih kepada para korporasi. Misalnya saja dalam bidang ekonomi : Utang luar negeri RI yang terus melonjak, pada akhir Januari 2019 tercatat mencapai Rp. 5.366 triliun. Kran impor pangan yang masih saja mengalir deras (seperti beras, jagung, gula, garam, bawang putih) bahkan disaat Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim produksi dalam negeri mengalami surplus. Investasi asing yang terus masuk dengan bebas ke Indonesia dan menguasai sektor-sektor vital negara, seperti listrik, gas, dan air yang menduduki peringkat tertinggi dengan 4,4 miliar kucuran dana investasi asing (katadata.co.id, 1/2/2019).
Semua ini bertolak belakang dengan negara Khilafah. Meski kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap ditangan rakyat, Khalifah bisa berkuasa jika mendapatkan mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya. Akan tetapi, akad antara rakyat dengan khalifah adalah akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim.
Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi. Tidak ada pemisahan kekuasaan, sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan Khalifah. Khalifahlah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Selebihnya, representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance.