Oleh. Helmiyatul Hidayati
(Seorang Blogger Pro dan Mahasiswa FISIP Ilmu Komunikasi UT Jember)
#MuslimahTimes –– Entah bagaimana drama Korea selalu memiliki magnet tersendiri bagi para penikmatnya. Drama besutan negeri ginseng ini selalu mendapat tempat di hati. Tidak terkecuali drama yang tayang pada tahun 2014 silam ini.
Dengan judul Pinocchio, para pecinta drama korea dibuat berpikir tentang seorang anak yang hidungnya menjadi panjang setiap kali dia berbohong. Tapi dalam drama yang naskahnya ditulis oleh Park Hye Run ini, Pinocchio yang dimaksud adalah sebuah sindrom yang membuat pengidap Pinocchio cegukan setiap kali ia berbohong. Agak mirip. Intinya setiap kali berbohong ada “alarm” yang muncul.
Drama yang dibintangi oleh dua bintang populer Korea, Lee Jong Suk (Sebagai Choi Dal Po) dan Park Shin Hye (Sebagai Choi In Ha) ini berkisah mengenai suka duka di dunia Pers. Di mana Pers kini menjadi pilar ke-4 Demokrasi dari total 5 pilar setelah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Selain itu kini ada pilar ke-5 yakni Media Sosial.
Secara kasarnya, lewat drama ini kita akan disuguhkan bagaimana para jurnalis mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan suatu informasi. Termasuk bagaimana faktor “eksternal” dan “internal” bisa berpengaruh terhadap suatu penyampaian informasi.
SINOPSIS
Ki Ha Myung terpaksa mengubah identitasnya menjadi Choi Dal Po setelah ia kehilangan keluarganya akibat sebuah insiden kebakaran. Ayahnya adalah seorang petugas pemadam kebakaran yang meninggal di lokasi kejadian. Tidak lama setelah insiden itu, akibat peran media dan pemberitaan, ayah Ki Ha Myung menjadi “kriminal” sehingga membuat sang ibu tidak tahan dan akhirnya memilih bunuh diri. Ki Ha Myung kecil pada waktu itu akhirnya terpisah dari kakaknya, Ki Ja Myung.
Ketika menjadi Choi Dal Po, ia memiliki seorang keponakan yang usianya sebaya dengannya yaitu Choi In Ha, yang memiliki cita-cita menjadi reporter seperti ibunya yang merupakan seorang pembaca berita terkenal di Seoul.
Ketika mereka telah dewasa, mereka pindah ke Seoul dan sama-sama menjadi wartawan di dua kantor berita yang berbeda. Karena kantor berita mereka selalu bersaing, otomatis membuat mereka pun bersaing dalam mencari berita eksklusif.
Dari sini kita akan diperlihatkan bagaimana perjuangan para wartawan mendapatkan berita. Setiap hari mereka selalu datang ke pos polisi, berkeliling hingga tidak tidur dan tidak mandi, banyak terjaga, makan seadanya, kadang pula sering dimarahi oleh atasannya, dsb.
Namun, perjuangan demi perjuangan mencari berita akhirnya mengantarkan Choi Dal Po pada masa lalunya. Termasuk bertemu dengan kakaknya, Ki Ja Myung. Sayangnya dia telah menjadi pembunuh untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Ahn Chan Soo, teman SMA duo Choi tiba-tiba menjadi “kriminal” akibat pemberitaan oleh kantor berita MSC yang dimulai oleh Song Cha Ok (dia ibu In Ha) setelah insiden kebakaran di sebuah pabrik. Persis seperti yang menimpa Ki Ho Sang, ayah Ja Myung dan Ha Myung.
Tak pelak ini membuat Choi Dal Po dan Choi In Ha berusaha mengungkap kebenaran, yang akhirnya mengarah pada sebuah kasus korupsi dan suap yang dilakukan beberapa senator dan pengusaha kaya raya, Park Ro Sa.
Ending cerita ini berakhir bahagia dengan “jatuhnya” Park Ro Sa. Akhirnya diketahui bahwa arus berita diubah atas permintaan dia untuk mengalihkan perhatian publik atas kesalahan yang dilakukan dalam perusahaannya, baik dalam kasus kebakaran yang menyebabkan kematian Ki Ho Sang maupun yang menempatkan Ahn Chan So sebagai polisi lalai.
SISI LAIN (1)
Drama 20 episode ini memiliki sub-judul karya-karya terkenal dunia untuk menggambarkan jalan cerita atau karakter di setiap episodenya. Misalnya, Sub judul di episode 9 adalah Si Peniup Suling, menggambarkan Ki Ja Myung yang menjadi sorotan media karena kebaikannya, lantas karena pemberitaan ia pun menjadi tenar sebagai “pahlawan”, semua yang dia lakukan menjadi inspirasi dan teladan masyarakat (Persis si Peniup Suling, yang selalu dituruti segala perintahnya). Padahal ia menyimpan sebuah aib besar karena sudah membunuh orang.
Sub judul episode 16 adalah Pakaian Baru Sang Raja, yang merupakan dongeng karya H. C Anderson mengenai seorang raja yang sombong dan sangat memperhatikan penampilannya. Suatu ketika ia memesan baju pada 2 penjahit yang sebenarnya penipu. Para penipu itu tidak membuatkan baju untuk sang Raja namun tetap mengatakan bahwa baju yang mereka buat adalah yang paling bagus dan mewah. Orang-orang yang tidak sesuai dengan jabatan mereka dan orang yang bodoh tidak akan bisa melihat kain itu.
Para menteri yang takut kehilangan posisinya pun mengiyakan bahwa sang raja memakai pakaian paling bagus, sang raja pun merasa takut dianggap tidak cocok menjadi raja bila mengatakan tidak bisa melihat pakaian itu. Hingga akhirnya seorang anak kecil datang dan dengan kepolosannya mengatakan bahwa sang Raja memang tidak mengenakan pakaian apapun. Mendengar ucapan jujur itu seisi kota pun ramai membicarakan bahwa raja tidak mengenakan apapun.
Pada episode 16, menggambarkan kantor berita YGN, tempat Choi Dal Po bekerja tidak terpengaruh dengan arus berita yang dibuat Song Cha Ok (yang mengkambinghitamkan Ahn Chan So) dan tetap fokus pada pencarian penyebab kebakaran yang terjadi.
SISI LAIN (2)
Pada Episode 7, Song Cha Ok mengatakan bahwa “Berita seringkali dibandingkan dengan bawang, karena setiap kali sebuah lapisan dikupas, akan mengungkap lapisan berikutnya. Ketika kau mengupas bawang (semakin jauh), kau akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.” (Nb: Dialog tidak persis seperti ini)
Selain berita yang benar, masyarakat harus diberikan berita yang mereka butuhkan. Dalam drama Pinocchio digambarkan bahwa dalam setiap insiden kebakaran, yang dibutuhkan oleh keluarga korban atau polisi yang mengusut kasus adalah penyebab kebakaran.
Namun sayangnya, masih di dalam drama ini, arus berita diubah sehingga “berita yang dibutuhkan” tersebut bergeser ke berita-berita lain yang sebenarnya tidak penting. Sehingga, ketika penyebab kebakaran telah ditemukan, tidak ada yang merasa bahwa itu adalah hal yang penting untuk dibahas. Dalam hal ini perusahaan yang memiliki kesalahan menjadi terjaga kredibilitasnya.
Baik di drama maupun di dunia nyata, pengalihan isu kerap kali terjadi, dan itu semua bisa dilakukan oleh media arus utama, yang mana sekarang banyak dikuasi oleh penguasa dan pengusaha.
Sayangnya setiap narasi hoax yang muncul dari media-media arus utama (dan media sosial) tidak memiliki sindrom Pinocchio, alias tidak memiliki alarm yang bisa “cegukan” setiap kali berita hoax muncul. Sehingga seringkali ini membuat masyarakat dalam kebingungan.
Namun di dalam kebingungan ini, satu hal yang pasti, bahwa media mainstream dikendalikan oleh penguasa lewat birokrasi, perizinan dan tekanan. Dan semua berita media mainstream memposisikan penguasa sebagai lakon utama dan oposisi sebagai antagonis (doniriw).
Di era teknologi informasi seperti sekarang ini, media mainstream akhirnya mendapat saingan berat yakni media sosial yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Opini begitu cepat berkembang di media sosial. Sehingga bila suatu opini itu bertentangan dengan opini yang disampaikan media utama, maka hal ini bisa menyebabkan cacat informasi, opini yang diinginkan bisa jadi hancur atau tidak terbentuk.
Puncaknya, dalam rangka menanggulangi hoax, beberapa hari lalu pemerintah melakukan pemblokiran media sosial instagram, facebook dan whatsapp. Seakan-akan informasi yang bukan dari media utama bertebaran hoax. Padahal berita dari media utama juga tidak menjamin bebas hoax. Belum lagi di balik pemblokiran itu ada banyak dampak negatif seperti kerugian hingga milyaran rupiah dalam bisnis jual beli online dan terhambatnya aktivitas lainnya.
Seharusnya dalam menanggulangi hoax, pemerintah berfokus pada upaya penyaringan hoax atau membuka layanan masyarakat dan menyaring informasi serta edukasi masyarakat. Karena pemblokiran media sosial hanya akan meruntuhkan kepercayaan publik pada negara, karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi hanya berpihak pada kepentingannya sendiri (kholda).
Wallahu a’alam..