Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Revowriter Sidoarjo
#MuslimahTimes –– Sejak Sabtu 1 Juni banjir melanda Konawe, Sulawesi Utara (Sultra) . 2000 jiwa di Latoma Konawe terancam kelaparan karena belum mendapatkan bantuan makanan dan air bersih. Sungai Konaweeha meluap, puluhan rumah di Konawe terendam banjir. Hujan deras yang terus menguyur Kabupaten Konawe, mengakibatkan debit air di Bendungan Wawotobi naik melewati ambang batas waspada berdasarkan standar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe (ZONASULTRA.COM, UNAAHA 9/6/2019). Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Konawe, Ameruddin. Putusnya akses, diperaparah lagi dengan rusaknya jembatan yang menghubungkan Ibukota Unahaa dengan wilayah tersebut, menjadi penyebab masyarakat belum mendapat bantuan.
Banyak pihak berspekulasi penyebab bencana ini terjadi. Meskipun Gubernur Sultra Ali Mazi menepis rumor yang telah beredar di masyarakat terkait dengan penyebab banjir Konawe Utara adalah akibat praktek penambangan dan menisbatkan bencana tersebut sudah kehendak Yang Maha Kuasa (m.liputan6.com, 14/6/2019).
Namun Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara Saharudin justru memberikan data dan fakta yang tak bisa diabaikan begitu saja. Sepanjang 2009 sampai 2012 sudah terdapat 71 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Utara dan 68 di antaranya merupakan izin pertambangan nikel, sisanya izin pertambangan batu kapur, emas, kromit dan kelapa sawit. Hingga kawasan hutan yang habis karena sudah ditambang dan dibuka mencapai 38.400 hektare (Tirto.id, 13/6/2019). Kondisi tersebut diperparah karena sebagian besar tambang di Konawe Utara beroperasi secara ilegal alias tidak berizin dan tidak tercatat. Hal ini diakui Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Lukman Abunawas. Ini terjadi sejak Konawe Utara menjadi daerah otonomi baru (DOB). Banjir yang terjadi kali ini merupakan yang terparah dan meluas hingga 6 kecamatan (zonasultra.com, 11/6/ 2019).
Begitu parahnya negeri ini, hingga wilayah yang kaya sumber daya alam tak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat yang tinggal diatasnya. Nasib rakyat menguap tanpa kejelasan kapan berakhir. Kesepakatan demi kesepakatan kaum kapitalis telah melunturkan dedikasi penguasa sebagai pelayan umat. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana memperkaya diri sendiri. Izin usaha pertambangan kerap kali digunakan sebagai “jualan” oleh para pejabat di daerah, termasuk kepala daerah. Terlebih menjelang dan sesudah Pilkada.
Penguasa dalam sistem politik demokrasi secara fakta bukanlah pelayan umat. Periayah urusan umat, yang setiap saat tenaga dan pikirannya tercurah demi terwujudnya kesejahteraan rakyatnya. Namun ia adalah hamba bagi pengusaha, kekuasaan yang ia miliki bertekuk lutut dihadapan pengusaha. Pesta politik pemilihan wakil rakyat yang kelak duduk di kursi pemerintahan maupun parlemen hanyalah tipu muslihat kepada rakyat.
Suap menyuap menjadi lahan basah untuk mengeruk kekayaan sebuah wilayah tanpa memikirkan dampaknya bagi kelestarian lingkungan. Puluhan ribu jiwa seakan menjadi tumbal bagi kesuksesan mereka. Penanganan korban bencana berjalan lambat, fokus penguasa bukan pada kesengsaraan mereka namun pada kelanjutan bisnis mereka yang disebabkan oleh bencana tersebut. Padahal ketika rakyat kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga dan mata pencaharian, saat itulah saat genting yang seharusnya segera dipulihkan oleh penguasa. Hal itu pulalah yang kelak akan menyeret penguasa ke neraka karena dalam keadaan menipu rakyatnya.
Dalam Islam, tentu di pundak seorang khalifahlah nasib seluruh umat. Dengan berlandaskan akidah dan ketakwaan, maka khalifahlah penerap syariat. Ia sadar adalah dosa jika rakyat dalam keadaan menderita tanpa segera dicarikan solusi. Negara Daulah akan mengadakan revovery mental terhadap korban bencana alam, selain menyediakan seluruh sarana dan prasarana tercanggih dan tercepat untuk menanggulanginya.
Kedepannya kholifah akan mencanangkan berbagai program antisipasi bencana. Mulai dari edukasi tentang bencana, pentingnya menjaga kelestarian alam hingga pada tataran sistem ekonomi dimana ada kejelasan antara kepemilikan individu, masyarakat dan negara. Hal ini sangat krusial, karena jika individu rakyat baik muslim maupun non muslim yang dibiarkan memiliki kepemilikan umum atau negara maka yang terjadi adalah ketimpangan dan ketidak adilan.
Padahal kapasitas negara terhadap kepemilikan umum dan negara adalah sebagai wakil rakyat dalam ranah pengelolaan. Dimana hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas umum seperti masjid, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya. Jelas ini adalah solusi yang manusiawi. Karena menentramkan hati, memuaskan akal dan sesuai fitrah manusia itu sendiri.
Maka butuh perubahan pemahaman yang benar, bahwa sistem aturan yang hari ini berlaku tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan, karena berasal dari pembuat aturan yang lemah dan terbatas yaitu manusia. Masyarakat harus paham, bahwa tak ada tawaran dalam hal ketaatan kepada Allah. Mengamini sistem hari ini sebagai solusi adalah sama halnya keluar lubang biawak masuk lubang harimau. Dan fasik di hadapan Allah. Wallahu a’lam biashowab.
Sumber Foto : Liputan6.com